[caption id="attachment_362680" align="aligncenter" width="460" caption="Sumber Gambar: halapakistan.com"][/caption]
Seorang pujangga Islam yang lahir di Sialkat dari anak keturunan Brahmin di lembah Kashmir bernama Muhammad Iqbal, suatu waktu ketika sakit melanda hingga maut akan merenggutnya, terdendanglah sebuah sajak kehidupan. Sajak agar tetap lahir pujangga-pujangga baru dari dunia Islam.
Iqbal membacakan sajaknya: "Melodi Perpisahan Kau Menggema Atau Tidak/ Angin Hijaz Kau Berhembus Kembali Atau Tidak/ Saat-Saat Hidupku Kau Berakhir/ Entah Pujangga Lain Engkau Kembali Atau Tidak/ Selanjutnya;/ Kukatakan Kepadamu Ciri Seorang Mukmin/ Jika Maut Datang Akan Merekah Senyum Di Bibir."
Dalam sajak itu, kita akan melihat betapa rindunya seorang pemikir kontemporer bahwa kelak Islam dalam lintas generasi tetap konsisten (istiqomah) untuk selalu melahirkan pemikiran-pemikiran  bernasnya. Dan Tak pelak kemudian menjadi sebuah kemewahan, jika berhasil membukukan segala pemikiran bernas itu. Iqbal telah membuktikannya.
Filsuf dan penyair Islam itu telah mewariskan karya yang sangat berharga kepada dunia: The Development of Metaphysics In Persia; Bang I Dara; Asrar-I-Khudi;Â Rumuz-L-Bekhudi; Chidr-L-Rah; Tulu-I-Islam; Payam-I-Mashriq; Zabur-I-'Ajam; Javed Namah; The Reconstructions of Religious Thought In Islam; Dan The Reconstruction of Muslim Jurisprudence.
Andaikan tidak ada buku, mungkin kita tidak akan pernah mengenal peradaban. Mungkin kita tidak akan pernah merasakan mudahnya segala aktivitas dilakukan saat ini berkat kemajuan tekhnologi. Kita tidak akan pernah merasakan nikmatnya berselancar di dunia maya. Menggunakan gadget sekedar menyapa teman-teman dekat kita yang terpisahkan oleh jarak.
Perlu diketahui bahwa pesatnya kemajuan tekhnologi saat ini tidak bisa dilepaskan dari andil besar para pemikir Islam. Mulai dari pemikir Eropa hingga Barat sangat kenal dengan pemikir-pemikir Islam, seperti; Ibnu Rusyd (Averroes), Ibnu Sina (Avicena), Al-Khawarizmi hingga Al-Kindi yang ahli medik di zamannya.
Itulah sebabnya Seyyed Hossein Nasr (2006) akhirnya menarik kesimpulan "jika tak ada pemikir Islam, maka setiap tumpukan ilmu dan pengetahuan dari Yunani dan Romawi Kuno mungkin sudah mati. Islamlah yang kembali menghidupkan urgensi pengetahuan dalam beberapa catatan, sebagai bagian dari kerja untuk selalu membangun peradaban.
Di abad ke- 16 oleh kaum Kristianik dalam onderdil kerajaannya, menganggap bahwa mereka yang menaruh perhatian besar terhadap pengetahun dianggap pagan dan bisa mengancam gayibnya keyakinan agama pada waktu itu. Pengetahuan selalu dicap akan men-demistifikasi dan men-demitologi ajaran agama. Copernicus yang dengan teori Geosentrisnya akhirnya dipancang karena dituding melawan ajaran gereja. Senasib dengan takdir yang harus dilalui oleh Galileo pun harus menerima hukum mati karena dianggap melawan Genesis kitab perjanjian lama.
Tapi Islam sungguh tidak demikian. Islam tidak anti kemapanan. Para pemikir seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina mempelajari filsafat Plato dan ajaran Aristotelian, lalu membangunnya kembali dalam dimensi eksatologik dan spiritualis. Maka menjadilah ajaran-ajaran itu berfaedah, lengkap dengan kuncup, bunga dan buahnya, padahal dulunya "filsafat an sich" ibarat pohon tandus yang tidak pernah berbuah sama sekali.
Islam Vs Book Day