Bapak Bupatiku. Terlalu banyak jika aku harus menceritakan semua, sumber daya pertanian yang dapat engkau kelola, tapi kau tidak peduli. Pohon Kakao, saya yakin juga jumlahnya berhektar-hektar di sini, tapi apa mau dikata, pohon tersebut juga sudah diserang buah menghitam dan membatu. Sehingga pada akhirnya, juga tidak dapat di panen oleh para petani.
Kini, petani di kampung kami hanya hidup pas-pasan. Padahal semua kekayaan pertanian itu jika bapak bupati punya kemampuan mengelolanya, bukan hanya petaninya yang kaya, tapi jelas akan menambah pendapat asli daerah kita.
Satu lagi pak. Semoga ini berita terakhir untukmu. Kami tinggal di daerah pegunungan. Saat kau mencalonkan diri sebagai Bupati, katanya jalan-jalan masuk ke daerah persawahan, kau akan memperbaikinya. Cukuplah melimpah hasil persawahan kami pak, berkarung-karung padi milik petani. Tetapi sungguh aku kasian kepada petani di sana, saat keluargaku, tetanggaku, bahkan aku terlibat di dalamnya, memikul padi yang berkarung-karung di daerah tanjakan, kami pada bercucur keringat menempuh perjalanan jauh, tidak ada kendaraan yang bisa masuk di lorong jalan ke daerah persawahan itu. Lagi dan lagi pak bupati, aku selalu miris melihat nasib kami sebagai petani. Tulang punggung kami terasa sakit, bahkan terasa ingin patah demi memikul jumlah padi yang berkarung-karung itu. Maaf pak bupatiku, bapak Sabirin. Ini memang hanya untuk kepentingan kami dari hasil sawah kami sendiri. Tapi andai kami tidak berpikir untuk menjualnya, apakah bapak bisa membanggakan Sinjai yang punya padi berlimpah.
Kubisikkan kepadamu, wahai bapak Bupatiku yang terhormat. Karena kampung kami sudah tidak semelimpah dulu pertaniannya. Banyak dari anak-anak tetanggaku, mereka semua ingin melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi, namun orang tuanya tidak mampu, karena hasil pertaniannya sudah tidak lagi sebanyak dulu.
Suatu waktu, aku pernah melihat anak tetanggaku; anaknya menangis karena orang tuanya melarang kuliah. Sang ayah berkata kepada anaknya: "mengertilah wahai nak, apa yang bisa kubiayakan untukmu kuliah, semua kebun lada kita sudah tidak ada, ada pohon kakao namun buahnya tidak ada yang dapat dipanen, jadi mengertilah, karena tidak mungkin kita punya ladang akan dijual, nanti kita mau hidup dari mana dan makan apa???".
Wahai bapak Bupatiku. Saat engkau memiliki hati nurani, aku hanya punya kemampuan mengetuk nuranimu melalui surat ini. Bangunlah kabupaten Sinjai menjadi indah, megah nan jaya, agar rakyatnya menjadi sejahtera. Salamku ke padamu, semoga engkau bisa menunaikan harapan-harapan kami, dan semoga pula  di panjangkan umurmu selalu, oleh Yang Maha Kuasa.
Salam hangatku, untukmu BPK Bupati: Sabirin Yahya.
Dari aku
Seorang anak petani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H