Sumber: tempo.co, hari-hari SBY sebelum menerbitkan Perppu Pilkada bersama dengan anggota Partai Demokrat
Sudah dua-tiga pekan, semua waktu kita tersita dengan polemik, Pilkada langsung ataukah Pilkada tak langsung (via DPRD). Terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mengeluarkan "peluru" terakhirnya (2/10/014). Yaitu dengan menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) untuk mencabut ketentuan "Pilkada tak langsung" dalam UU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Simak pula tulisan saya (SBY dan Taman Bermain Konstitusi)
Dua sekaligus Perppu diterbitkan SBY: Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014. Masing-masing Perpu tersebut untuk mencabut dan atau menambah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada), dan juga UU Â Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda (terutama mencabut ketentuan yang memberi kewenangan kepada DPRD untuk memilih Kepala Daerah).
Tentu dengan terbitnya Perppu yang mengubah UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (selanjutnya disebut Perppu Perubahan UU Pilkada). Hal tersebut memiliki dampak, akibat dan implikasi hukum, terhadap UU Pilkada sebelumnya yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Termasuk Perppu tersebut akan memiliki implikasi hukum, jika ada yang memperkarakannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) kelak.
Urgensi Perppu Pilkada
Kewenangan untuk menerbitkan Perppu bagi Presiden adalah kewenangan yang diberikan baik oleh Konstitusi maupun UU (UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Di dalam konstitusi (UUD NRI 1945) Pasal 22 ayat 1 ditegaskan "dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang".
Jika ditelurusuri lebih lanjut, penerbitan Perppu oleh Presiden, merupakan hak subjektifitas Presiden. Namum dalam penerbitan Perppu, Presiden tetap terikat oleh "adanya kegentingan yang memaksa".
Masalahnya, Baik dalam UUD NRI 1945 maupun dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, tampaknya tafsir dari termin "kegentingan yang memaksa" tidak ada penjelasan lebih lanjut atas maksud Pasal 22 ayat 1 UUD tersebut. Maksud kalimat itu, atau original inten-nya hanya dapat diketemukan melalui Putusan MK; Nomor 138/ PU-VII/ 2009, bahwa yang dimaksud syarat kegentingan memaksa untuk selanjutnya dapat diterbitkan Perppu, yaitu: (i) Adanya keadaan yaitu kebutuhan hukum yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (iii) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedural biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.
Melihat dari kasus penerbitan Perppu perubahan UU Pilkada yang telah diterbitkan oleh Presiden saat ini. Dan berdasarkan syarat penerbitan Perppu di atas. Sepertinya, alasan Presiden kemudian mengeluarkan Perppu yang mengubah UU Pilkada, paling tidak telah terakomodasi melalui syarat (i) yaitu, ada kebutuhan hukum yang mendesak. Dalam konteks ini, untuk menilai Perppu tersebut telah sesuai dengan persyaratan berdasarakan putusan MK itu. Maka harus diketahui lebih awal, apakah persyaratan itu bersifat alternatif atau kumulatif.
Ternyata, rumusan putusan MK dalam pertimbangannya, syarat itu dianggap bersifat alternatif sekaligus dapat bersifat kumulatif. Itu artinya, walaupun alasan kegentingan memaksa yang dapat mengakomodasi Perppu tentang UU Pilkada, hanya digunakan satu syarat, pada akhirnya "syarat kegentingan memaksa" atas Perrpu itu dikategorikan sudah terpenuhi..
Namun dibalik itu semua, yang paling signifikan dari penerbitan Perppu, urgensinya terletak pada "sifat keberlakuannya". Yakni, bahwa Perppu begitu pada saat diterbitkan, langsung pada detik itu juga, norma dari Perppu tersebut berlaku. Oleh karena itu, UU Pilkada yang sebelumnya mengatur ketentuan Pilkada via DPRD, kemudian ketentuan tersebut dicabut melalui Perppu dan menggantinya dengan Pilkada langsung. Berarti ketentuan yang berlaku dan mengikat untuk dijadikan sebagai patokan adalah Pilkada langsung.
Lebih lanjut kalau begitu, Perppu tentang Perubahan UU Pilkada yang kini (sekarang) sudah menganut Pilkada langsung. Dan Kalaupun sudah ada dari kemarin yang mengajukan gugatan ke MK atas RUU Pilkada, karena ketentuannya yang menganut 'Pilkada via DPRD-nya' berarti gugatan mereka "sia-sia" atau gugatannya menjadi ilusoir. Oleh karena apa yang diinginkan oleh pihak penggugat terhadap UU Pilkada, sudah terpenuhi melalui Perppu yang ada sekarang.
Cuma saja yang menjadi masalah dari sebuah Perppu, adalah keberlakuannnya bukan dalam masa waktu yang lama. Atau dengan kata lain "nafas keberlakuan Perppu" tergolong singkat, karena masa keberlakuannya akan diuji melalui persetujuan atau penolakan DPR dalam persidangan yang berikutnya (Pasal 52 UU Nomor 11 Tahun 2012)Â . Sementara untuk konteks Perppu atas perubahan UU Pilkada sekarang, sidang paripurna berikut, baru bisa diselenggarakan pada 1 Januari 2015 nanti. Artinya, masa keberlakukan Perppu tersebut akan berlaku dalam 3 bulan ke depan, sehingga jika ada penyelanggaraan Pilkada di Provinsi/ Kabupaten/ kota, tetap juga akan dilaksanakan dengan sistem langsung.
Implikasi Hukum
Berlakunya kembali Pilkada langsung berdasarkan Perppu perubahan UU Pilkada, tidak berarti Perppu tersebut, akan menjadi jaminan tidak membuka peluang untuk digugat ke MK. Terutama bagi pihak-pihak yang merasa "hak konstitusionalnya" dirugikan. Sebab tersedia dasar hukum, kalau Perppu dapat diajukan judicial review ke MK, yang berdasarkan pada Yurisprudensi MK, melalui Putusan  Nomor 138/ PU-VII/ 2009.Taruhlah misalnya, Koalisi Merah Putih merasa Pilkada langsung itu, menganggapnya tidak konstitusional, ataukah kelompok sipil mengganggap dengan hadirnya Pilkada langsung merasa haknya dirugikan atas Perppu tersebut. Mereka semuanya, masih dapat menggugat atau menguji konstitusionalitas Perppu tersebut.
Dalam situasi inilah, ketika Perppu perubahan UU Pilkada di ajukan judicial review ke MK. Akan memiliki beberapa impilikasi hukum, terutama bagi pembahasan Perppu itu nanti, pada sidang paripurna DPR.
Pertama, seandainya saja ada kelompok yang menggugat ke MK, Perppu perubahan UU Pilkada dan hanya mempersoalkan syarat formilnya (yaitu 3 standar/ syarat pembentukan Perppu saja), tidak menggugat materilnya Perppu itu (ketentuan pemilihan langsung-nya). Kemudian MK menganggap Penerbitan Perppu sudah konstitusional. Maka implikasinya, pembahasan Perppu tersebut di paripurna tetap dapat dilaksanakan, tetapi DPR tinggal hanya mempersoalkan materil (isinya) Perppu itu saja.
Kedua, jika judicial review Perppu tersebut, baik syarat formil maupun materilnya semua di uji konstitusionalnya oleh MK. Lalu MK, memutuskan syarat formil dan materilnya Perppu (Pilkada Langsung) semua terpenuhi (konstitusional). Implikasinya, berarti DPR tidak perlu lagi melakukan paripurna. DPR cukup dengan menguatkan putusan MK tersebut, melalui peng-UU-an Perppu, untuk selanjutnya disahkan oleh Presiden.
Ketiga, kalau MK menganggap Perppu, baik segi formil maupun materilnya tidak konstitusional. Maka implikasinya, Perppu batal dan DPR juga tidak perlu melakukan paripurna untuk pengujian legislatif Perppu itu. Dan konsekuensi lebih lanjut, kita kembali ke UU Pilkada  (UU Nomor 22 tahun 2014) yang menganut Pilkada via DPRD.
Keempat. Jika MK menilai Perppu telah memenuhi syarat formilnya, tetapi materil dari Perppu tersebut, yakni mekanisme Pilkada dianggap sebagai "open legal policy". Maka implikasinya, bagi pembahasan Perppu di DPR, paripurna tetap masih bisa dilaksanakan, dan lagi-lagi masalah Pilkada via DPRD atau Pilkada langsung, kemungkinan masih bisa dipersoalkan oleh fraksi di DPR.
Dari semua impiikasi tersebut, merupakan suatu hal  yang memang tidak dapat dihindari. Sebab MK "terlanjur" merasa memiliki kewenangan untuk menguji Perppu terhadap UUD NRI. Dan secara de facto, putusan MK adalah bersifat final. Sehimgga meskipun DPR berlindung dibalik fungsinya sebagai "legislatieve review" atas Perppu, mau tidak mau harus tunduk pada putusan MK. Di sinilah hukum memperlihatkan kedigdayaannya, kalau politik ternyata harus bertekuk lutut di bawah kekuatan hukum. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H