Mohon tunggu...
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Damang Averroes Al-Khawarizmi Mohon Tunggu... lainnya -

Hanya penulis biasa yang membiasakan diri belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Implikasi Hukum Perppu Pilkada

10 Oktober 2014   05:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:39 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih lanjut kalau begitu, Perppu tentang Perubahan UU Pilkada yang kini (sekarang) sudah menganut Pilkada langsung. Dan Kalaupun sudah ada dari kemarin yang mengajukan gugatan ke MK atas RUU Pilkada, karena ketentuannya yang menganut 'Pilkada via DPRD-nya' berarti gugatan mereka "sia-sia" atau gugatannya menjadi ilusoir. Oleh karena apa yang diinginkan oleh pihak penggugat terhadap UU Pilkada, sudah terpenuhi melalui Perppu yang ada sekarang.

Cuma saja yang menjadi masalah dari sebuah Perppu, adalah keberlakuannnya bukan dalam masa waktu yang lama. Atau dengan kata lain "nafas keberlakuan Perppu" tergolong singkat, karena masa keberlakuannya akan diuji melalui persetujuan atau penolakan DPR dalam persidangan yang berikutnya (Pasal 52 UU Nomor 11 Tahun 2012)  . Sementara untuk konteks Perppu atas perubahan UU Pilkada sekarang, sidang paripurna berikut, baru bisa diselenggarakan pada 1 Januari 2015 nanti. Artinya, masa keberlakukan Perppu tersebut akan berlaku dalam 3 bulan ke depan, sehingga jika ada penyelanggaraan Pilkada di Provinsi/ Kabupaten/ kota, tetap juga akan dilaksanakan dengan sistem langsung.

Implikasi Hukum

Berlakunya kembali Pilkada langsung berdasarkan Perppu perubahan UU Pilkada, tidak berarti Perppu tersebut, akan menjadi jaminan tidak membuka peluang untuk digugat ke MK. Terutama bagi pihak-pihak yang merasa "hak konstitusionalnya" dirugikan. Sebab tersedia dasar hukum, kalau Perppu dapat diajukan judicial review ke MK, yang berdasarkan pada Yurisprudensi MK, melalui Putusan  Nomor 138/ PU-VII/ 2009.Taruhlah misalnya, Koalisi Merah Putih merasa Pilkada langsung itu, menganggapnya tidak konstitusional, ataukah kelompok sipil mengganggap dengan hadirnya Pilkada langsung merasa haknya dirugikan atas Perppu tersebut. Mereka semuanya, masih dapat menggugat atau menguji konstitusionalitas Perppu tersebut.

Dalam situasi inilah, ketika Perppu perubahan UU Pilkada di ajukan judicial review ke MK. Akan memiliki beberapa impilikasi hukum, terutama bagi pembahasan Perppu itu nanti, pada sidang paripurna DPR.

Pertama, seandainya saja ada kelompok yang menggugat ke MK, Perppu perubahan UU Pilkada dan hanya mempersoalkan syarat formilnya (yaitu 3 standar/ syarat pembentukan Perppu saja), tidak menggugat materilnya Perppu itu (ketentuan pemilihan langsung-nya). Kemudian MK menganggap Penerbitan Perppu sudah konstitusional. Maka implikasinya, pembahasan Perppu tersebut di paripurna tetap dapat dilaksanakan, tetapi DPR tinggal hanya mempersoalkan materil (isinya) Perppu itu saja.

Kedua, jika judicial review Perppu tersebut, baik syarat formil maupun materilnya semua di uji konstitusionalnya oleh MK. Lalu MK, memutuskan syarat formil dan materilnya Perppu (Pilkada Langsung) semua terpenuhi (konstitusional). Implikasinya, berarti DPR tidak perlu lagi melakukan paripurna. DPR cukup dengan menguatkan putusan MK tersebut, melalui peng-UU-an Perppu, untuk  selanjutnya disahkan oleh Presiden.

Ketiga, kalau MK menganggap Perppu, baik segi formil maupun materilnya tidak konstitusional. Maka implikasinya, Perppu batal dan DPR juga tidak perlu melakukan paripurna untuk pengujian legislatif Perppu itu. Dan konsekuensi lebih lanjut, kita kembali ke UU Pilkada  (UU Nomor 22 tahun 2014) yang menganut Pilkada via DPRD.

Keempat. Jika MK menilai Perppu telah memenuhi syarat formilnya, tetapi materil dari Perppu tersebut, yakni mekanisme Pilkada dianggap sebagai "open legal policy". Maka implikasinya, bagi pembahasan Perppu di DPR, paripurna tetap masih bisa dilaksanakan, dan lagi-lagi masalah Pilkada via DPRD atau Pilkada langsung, kemungkinan masih bisa dipersoalkan oleh fraksi di DPR.

Dari semua impiikasi tersebut, merupakan suatu hal  yang memang tidak dapat dihindari. Sebab MK "terlanjur"  merasa memiliki kewenangan untuk menguji Perppu terhadap UUD NRI. Dan secara de facto, putusan MK adalah bersifat final. Sehimgga meskipun DPR berlindung dibalik fungsinya sebagai "legislatieve review" atas Perppu, mau tidak mau harus tunduk pada putusan MK. Di sinilah hukum memperlihatkan kedigdayaannya, kalau politik ternyata harus bertekuk lutut di bawah kekuatan hukum. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun