Sebuah ikrar yang menggambarkan komitmennya terhadap pengabdiannya kepada rakyat yang mungkinh jarang kita temui saat ini. Bapak 10 anak dan 4 orang cucu ini bukannya tak menganggap penting perbaikan kantor dan rumah jabatan gubernur. Namun hati kecilnya tak tega ketika dia bisa duduk di ruangan ber-AC dan berfasilitas lengkap, di sisi lain rakyatnya tinggal di tenda-tenda pengungsian. Atau, kinerja satuan kerja perangkat daerah (SKPD)-nya tak berjalan maksimal memberikan pelayanan kepada masyarakat, akibat gedungnya tak representatif. Itulah sebabnya, seorang Irwan Prayitno mengurungkan niatnya membangun rumah jabatan Gubernur yang baru tahun 2010 lalu. Padahal gambar telah siap, dana telah tersedia dalam APBD.
Dari segi kepatutan, rumah jabatan ini sudah tidak layak lagi ditempati, karena dibangun sejak tahun 1950an. Banyak atap yang bocor, plafon yang rapuh, malah toilet yang mampet dan lain-lain, namun tetap dinikmatinya bersama keluarga dengan ikhlas.
“Kalau saya mau, bisa saja yang dibangun duluan itu rumah jabatan gubernur. Tapi, bagi saya, pembangunan rumah masyarakat dan infrastruktur publik jauh lebih urgent dibandingkan membangun rumah jabatan ini. Sehingga, banyak SKPD yang berkantor di bedeng-bedeng, di rumah-rumah, serta bertumpuk-tumpuk pada satu ruangan pascagempa tersebut,” ujar suami Nevi Irwan Prayitno itu.
“Suatu kali, ada teman saya dari DPR RI datang berkunjung ke Sumatera Barat dan berkesempatan mampir ke rumah jabatan saya selaku Gubernur. Semua pada kaget dan mengatakan bahwa ini cocoknya sebagai rumah Camat. Namun, setelah jelaskan kondisi yang sesungguhnya, barulah mereka faham.” aku pria yang sudah menghasilkan 40-an buku dari berbagai bidang itu. Peryataan ini, membuat hadirin yang hadir saat peresmian rumah jabatan tersebut tertawa semua.
“Barulah setelah kondisi memungkinkan, di tahun 2015 rumah jabatan ini dibangun lagi dan itu bukan oleh saya sebagai Gubernur, namun dimulai oleh Plt. Gubernur saat itu, jadi saya hanya melanjutkan saja” imbuh beliau yang juga disambut dengan tepuk tangan hadirin.
Juga persoalan kantor Gubernur.
Sebetulnya, seorang Irwan Prayitno bukannya tak pernah ditawari kantor baru tepatnya di escape building (samping kantor gubenur). Malahan, waktu itu jajarannya sudah mempersiapkan ruang kantor plus segala perlengkapannya. Namun pas dirinya akan pindah ke ruangan itu, tanpa sengaja dia masuk ke aula di belakang kantor gubernur. Waktu itulah, dia melihat pemandangan tak biasa. Di sana masih banyak biro berkantor. Akibatnya, ruangan itu tak nyaman dijadikan kantor.
“Melihat kejadian itu, saya pun terenyuh dan mengurungkan niat berkantor di escape building. Hari itu juga, saya perintahkan staf untuk merenovasi ulang ruangan yang sejatinya dijadikan ruang kerja tadi, untuk digunakan sebagai tempat biro yang berkantor di aula pindah ke sana” tegas Irwan Prayitno.
Beliau mengaku enjoy-enjoy saja berkantor tidak dikantor Gubernur. Biarpun begitu, dia sempat tertegun pula mendengar pertanyaan anaknya yang mempertanyakan di mana sebenarnya kantor ayahnya. Soalnya, sehari-hari mulai bangun tidur, beraktivitas menjalankan roda pemerintahan, menerima tamu siapa saja, selalu di rumah dinas tersebut.
“Waktu itu, anak saya baru saja bertemu dengan wali kota Padang di ruang kerjanya. Dia melihat, kantor sang wali kota begitu bagus termasuk asesoris di dalamnya. Sedangkan ayahnya hanya berkantor di rumah. Namun setelah saya jelaskan, barulah dia memahami,” aku pria yang sudah menghasilkan ribuan pantun-pantun dalam setiap pidatonya.
Orang-orang di Dinas Prasarana Jalan dan Tata Permukiman (Prasjal Tarkim) mengamini alasan atasannya itu. “Beliaulah minta untuk mendahulukan pembangunan rumah masyarakat dan infrastruktur publik terlebih dahulu.h Sebetulnya bisa saja beliau minta kantor gubernur dibangun lebih dahulu, apalagi anggaran yang digelontorkan pascagempa itu memungkinkan untuk itu. Tapi, beliau tak ingin didahulukan,” sebutnya.