Seakan tiada hentinya Indonesia terus bergejolak dan memanas. Tentunya masih segar dalam ingatan kita, akan peristiwa berdarah dalam reaksi penolakan RUU KUHP dan UU KPK yang menelan 5 nyawa putra bangsa.
Kini bara itu kembali menyala. Pemicunya adalah RUU Haluan Ideologi Pancasila yang yang dianggap kontroversial. Penolakan keras dari berbagai elemen bangsa tak terhindarkan. Aksi demontrasi pun digelar di Jakarta dengan diwarnai pembakaran bendara berlambang palu arit dan salah satu Partai Politik tanah air.
Tentu hal ini menjadi persoalan baru dalam merespon suatu masalah. Dan publik dibuat bertanya dari manakah bendera palu arit itu berasal? Siapakah yang membuatnya? Adakah
mungkin bendera tersebut memang telah dipersiapakan oleh peserta aksi. Jika memang benar adanya, bagaimanakah hukum seharusnya bertindak. Apakah dibenarkan memproduksi, menyimpan dan membawa atribut/bendera organisasi atau partai politik terlarang? Jika tidak mengapa aparat yang memiliki kewenangan tidak menindak sebagaimana mestinya.
Selain itu ada hal yang layak juga kita cermati dengan seksama dan hayati dengan hati dan pikiran yang jernih serta dengan melepaskan sentimen pribadi pada golongan tertentu. Bagaimana prilaku tokoh politik, para wakil rakyat di DPR RI. Sungguh kita terus menerus disajikan oleh drama politik murahan. Bermain siasat, mencari keuntungan dalam kekacauan.
Ada benarnya yang dikatakan oleh sastrawan asal Inggris George Orwell bahwa "Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati." Hal inilah yang sedang dilakoni oleh tokoh-tokoh partai politik yang kini mendadak menolak apa yang telah disetujuinya. Penolakan dilakukan setelah mendapatkan penolakan dari berbagai elemen bangsa.
Politik lempar batu cuci tangan, kerap ditampilkan pada nuansa perpolitikan tanah air dewasa ini. Hal ini mungkin saja terjadi dikarenakan anjuran pemerintah untuk selalu cuci tangan agar terhindar dari virus corona.
Namun sepertinya anjuran itu juga terbawa kepada sikap politik para wakil rakyat yang duduk di senayan. Berlagak menjadi wakil rakyat dari partai politik yang bersih tanpa noda.
Prilaku politik seperti itulah yang kini dipraktekkan oleh partai-partai politik tanah air, bahkan ada parpol yang mengklaim bahwa partainya sejak awal menolak RUU HIP untuk diteruskan pada rapat paripurna agar disetujui menjadi RUU Inisiatif DPR.
Padahal berdasarkan Catatan Rapat Badan Legeslasi DPR RI dalam Pengambilan Keputusan Atas Penyususnan Rancangan Undang-Undang Tentang Haluan Ideologi Pancasila memuat bahwa 8 dari 9 fraksi menyatakan setuju atas RUU HIP untuk dilanjutkan sebagai RUU Inisiatif  DPR RI.Â
Apa-apa yang terjadi saat ini dan dipertontonkan kepada publik adalah bentuk dari politik munafik para tokoh politik yang diamanahi oleh rakyat untuk mewakili suaranya.