Mohon tunggu...
David Edison
David Edison Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Public Speaker

Alumnus STF Driyarkara Jakarta, Graduate 2014. Tertarik dengan masalah humanitas karena manusia pada kenyataan asalinya merupakan Subjek pada dirinya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pluralisme Keagamaan di Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis

28 Mei 2013   11:56 Diperbarui: 4 April 2017   17:24 6635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A.PENGANTAR

Globalisasi menimbulkan kesadaran kemanusiaan yang multidimensional karena dampaknya terhadap pemikiran, politik, ekonomi, budaya, agama, etnis, termasuk dimensi keamanan dan strategi.[1] Oleh karena itu, dalam kehidupan modern saat ini, kita tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa perjumpaan dengan berbagai perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Kemudahan-kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia juga disertai dengan tantangan nyata untuk menghadapi berbagai keragaman nilai, budaya, dan agama.

Dalam kesadaran akan pluralitas itu, timbullah berbagai sikap dan cara pandang, yang bernaung di bawah pluralisme. Cara pandang terhadap pluralitas merupakan sesuatu yang berperan penting dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Dalam hubungan antarmasyarakat, tak jarang cara pandang terhadap pluralitas menghasilkan sikap-sikap tertentu, misalnya keterbukaan, ketertutupan, kebencian, dan lain-lain.

Di antara banyak keragaman, agama adalah salah satu aspek pluralitas yang paling dibicarakan. Hal itu disebabkan selain karena nilai-nilai mutlak yang terkandung didalamnya, juga karena agama sangat mempengaruhi cara berelasi orang-orang beragama.

Tulisan ini adalah sebuah usaha untuk mengangkat pluralisme agama terutama dalam maksud untuk melihat berbagai konsep pluralisme agama, konsep relasi antaragama, dan beberapa kasus konkrit yang terkait dengan pluralisme agama. Selain itu, fakta keragaman agama dan berbagai efeknya juga akan diteliti dari beberapa perspektif sosiologis yang relevan.

B.TEMA ARTIKEL

Sumber utama tulisan ini adalah beberapa artikel dari buku Religious Pluralism in Democratic Societies: Challenges and Prospect for Southeast Asia, Europe, and the United States in the New Millenium, edited by K.S. Nathan, Singapore: Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS), 2010, danartikel “Is Atheism, like Communism, Illegal in Indonesia?” yang ditulis olehSalim Osman dalam Jakarta Post, Friday, February 10, 2012.

Ada dua artikel dari buku Religious Pluralism in Democratic Societies: Challenges and Prospect for Southeast Asia, Europe, and the United States in the New Millenium, yaitu tulisan Azyumardi Azra tentang “An Islamic Perspective of Religious Pluralism in Indonesia: The Impact of Democracy on Conflict Resolution” dantulisan, Leonard Swidler tentang “Freedon of Religion and Dialogue:Moving Globalization from ‘Destruction’ to ‘Construction.’

Leonard Swidler menjelaskan suatu kronologi yang menarik dalam perkembangan kebebasan beragama dan berdialog.[2] Menurut beliau, kebebasan beragama secara penuh belum ada hingga akhir abad ke-18 dan dialog yang autentik baru terjadi di abad ke-20.[3] Hal itu terjadi karena berbagai hal. Misalnya, meskipun pemikir-pemikir Kristen abad-abad pertama cenderung mengiyakan kebebasan beragama, hal itu segera berubah ketika Konstantinus Agung menjadikan agama Kristen sebagai agama kekaisaran. Secara historis, kebebasan beragama baru dianggap sebagai hak asasi manusia dengan terjadinya peristiwa Revolusi Perancis (Declaration des droits des hommes et citoyens) dan berdirinya negara Amerika Serikat (Bill of Rights).

Pada zaman sekarang, kebebasan beragama dan berdialog muncul karena suatu kesadaran baru. Dalam fakta interdependensi antarmanusia, terdapat kebutuhan untuk belajar dari agama lain, terbuka terhadap agama lain, dan siap bersama-sama menemukan kebenaran baru dari relasi itu.

Dalam konteks Indonesia, Azyumardi Azra menjelaskan suatu pemikiran yang menarik.[4] Dari sudut pandang Islam, Azra menjelaskan bahwa Indonesia adalahnegara dengan populasi Islam terbesar di dunia tetapi juga hidup berdampingan dengan pemeluk agama seperti Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Menurut beberapa perkiraan, total populasi Indonesia adalah 206 juta orang, dengan 87,21 % orang Muslim, 6,04 % orang Protestan, 3,58% orang Katolik, 1,83 % orang Hindu, dan 0, 31 % orang dari agama lain dan kelompok-kelompok keyakinan.[5]

Hal yang seringkali terkait dalam pembicaraan keragaman agama Indonesia adalah persoalan konflik antar umat beragama. Menurut Azra, seseorang mesti hati-hati untuk menjustifikasi konflik di Indonesia sebagai konflik agama. Beliau menulis,

“It is important to point out that one should be very cautious not to jump to conclusions that most of the recent conflicts and violence in Indonesia are religiously motivated. In fact most of them are rooted in the economic and political problems that Soeharto’s new Order had failed to resolve. Religion, or moreappropriatelyreligious symbols, came only later as a rallying point and rallying cry in the confrontation.”[6]

Asumsi ini diterapkan Azradalam membaca berbagai konflik yang terjadi di Indonesia, misalnya konflik di Maluku. Menurutnya, konflik di Maluku mempunyai akar dalam masalah ekonomi dan ketidakproporsionalitasandistribusi kekuatan politik dalam birokrasi lokal dalam 20 tahun terakhir antara orang Muslim (baik yang asli maupun pendatang dari BBM: Bugis, Buton, dan Makasar) dengan orang Kristen asli.[7] Meskipun demikian, Azra tetap mengingat bahwa telah terjadi suatu relasi yang berpotensi konflik sejak abad ke-16 antara orang Muslim dan Kristen.[8]

Dalam perkembangan terbaru, konsep keragaman agama Indonesia ditantang dengan kemunculan ateisme. Tulisan Salim Osman mencoba mengangkat problem tersebut.[9] Osman menyusun argumennya dari fakta penangkapan terhadapAlexander Aan, seorang calon pegawai negeri sipil di daerah Minang, yang mengakukan dirinya sebagai ateis di facebook. Diskusi tentang legal atau tidaknya ateis di Indonesia mendapat jawaban yang beragam. Menurut Syamsul Bahri Khatib, ketua Majelis Ulama Indonesia setempat, Alexander Aan melukai perasaan keagamaan masyarakat Minangdan merusak struktur religius. Selain itu Alexander Ann juga dianggap menyerang Pancasilakarena berdasarkan Pancasila, ateisme tidak mempunyai tempat di Indonesia.

Pendapat lain mengatakan bahwa Pancasila tidak bermaksud melarang ateisme di Indonesia. Memang dalam perjalanan sejarah Indonesia, ateisme dihubung-hubungkan dengan ideologi komunis yang dicap sebagai musuh negara. Faktanya sekarang ini memperlihatkan bahwa orang-orang Indonesia mesti memilih satu dari enam agama resmi dalam kartu identitas mereka. Akhirnya, Osman sampai pada kesimpulan bahwa ateisme bisa sajamerupakan pilihan bebas dari setiap orang, akan tetapi orang-orang tersebut mesti berhati-hati ketika memperkenalkan keyakinannya agar tidak sampai mencemarkan agama-agama resmi.

Daritulisan Swidler, Azra, dan Osman, kita dapat menarik sebuah kesimpulan umum gagasan mereka, yaitu bahwa kesadaran baru tentang pluralitas agama menuntut suatu suatu analisis yang cermat agar dapat menjalin relasi yang konstruktif,menemukan akar “konflik agama” yang jelas, menemukan peran agama dalam realitas keragaman, dan menemukan sikap yang tepat dalam menghadapi fenomena ateis.

C.KONSEP PLURALISME KEAGAMAAN

Setelah di atas diperlihatkan gambaran umum isi beberapa artikel dan tema utamanya, kita akan masuk dalam beberapa gagasan tentang pluralisme yang terimplisit dalam artikel-artikel itu.

Swidler menjelaskan suatu gerak historis agama-agama hingga tiba padakesadaran akan kebebasan beragama dan sekaligus tantangan untuk berdialog sebagai suatu keniscayaan di zaman sekarang. Oleh karena itu, kita dapat merumuskan bahwa menurut Swidler, pluralisme agama adalah suatu kesadaran akan pluralitas agama, yang mana agama-agama itu memperlihatkan suatu interdependensi sehinggamenjalin relasi atau berdialog adalah suatu keniscayaan bagi agama-agama.

Konsep lain dapat kita tampilkan dari gagasan Azra. Azra menjelaskan suatu fakta pluralitas dalam Islam, Islam Indonesia, dan bahwa paham tentang pluralitas itu membuat Indonesia berada dalam keadaan penuh toleransi. Azra memperlihat peran masyarakat Muslim dalam realitas KeIndonesiaan. Meskipun terdiri dari mayoritas orang Islam, Islam tidak menjadi agama negara. Hal itu dapat dipahami karena pluralisme itu ada dalam Islam sendiri. Penerimaan orang Islam terhadap Pancasila dikarenakan kesesuaiannya dengan nilai Al-Quran, dan penerimaan itu merupakan akar pluralisme Indonesia.[10]Kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Azra, pluralisme keagamaan (di Indonesia) adalah suatu pengakuan agama (Islam) atas dasar nilai-nilai keagamaan itu sendiri (Islam) terhadap agama-agama lain.

Berbeda dengandua konsep di atas, gagasan Osman menampilkan suatu konsep pluralisme keagamaan yang lain. Dalam tulisannya, Osman memperlihatkan penolakan secara terbuka sebagian wargaIndonesia terhadap ateisme karena dianggap bertentangan dengan nilai agama dan dasar Negara. Kita dapat menyimpulkan bahwa dalam kasus itu, pluralisme keagamaan adalah suatu konsep pengakuan akan pluralitas agama-agama yang resmi atau diakui negara.Dalam konsep ketiga ini, pluralisme ditempatkan dalam ruang pluralitas yang terbatas.

D.ANALISIS KASUS

Dalam rangka memperlihatkan secara lebih mendalam relasi antara konsep pluralisme keagamaan denganbeberapa fakta konkret, beberapa kasus berikut akan dianalisis secara lebih menyeluruh. Kasus yang di analisis adalah kasus di Maroko, kasus di Indonesia: kemunculan berbagai lembaga dialog, konflik Maluku, dan ateisme.

1.Proaktif terhadap dialog dan kebebasan: Marokodan Indonesia[11]

DuniaIslam berada di bawah tekanan karena kemunculan gerakan Islam radikal(misalnya)yang berasal dari Afganistan, Sudan, dan Iran. Mereka menolak modernitas dan dialog dengan agama lain. Dalam keadaan yang demikian, raja Maroko, Raja Hassan, melalui penasihat pribadinya, Andre Azoulay (seorang Yahudi),ikut mensponsori konferensi yang digagas Spanyol “Foundation for the Three Cultures of the Mediterranian” (Yahudi-Kristen-Islam), sebuah dialog Yahudi-Kristen-Islam dalam “Religion, Tolerance, and Modernity” di Universitas Al-Akawayn, Ifrane, Maroko, 14-16 Oktober 1999.

Tentang Indonesia, Swidler menegaskan bahwa pasca keruntuhan rezim Orde Baru, ada banyak lembaga dialog antaragama yang muncul. Salah satunya adalah MADIA (Masyarakat Dialog Antara Agama). Kemunculan lembaga-lembaga ini terutama terjadi pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, yang adalah juga mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia. Salah satu aksinya yang paling mencolok dalam relasi antaragama di Indonesia adalah pengakuan agama Konghucu sebagai salah satu agama resmi. Presiden Abdurrahman Wahid juga memperomosikan dialog antaragama dengan mensponsori Global Dialogue Institute (GDI), Institute for Interreligious, Intercultural Dialogue (IIID), dan masih banyak lagi.

Dua fakta ini memperlihatkan suatu kenyataan bahwa orang-orang beragama, negara, menyadari pentingnya suatu usaha proaktif dalam berelasi dengan orang beragama lain.

2.Indonesia: konflik Maluku[12]

Kekerasan antarkelompok di Ambon meletus pada Januari 1999 dan menyebar luas hingga ke banyak tempat seperti Halmahera dan Ternate. Konflik itu seringkali digambarkan sebagai konflik antaragama karena memang melibatkan orang Muslim di satu pihak dan orang-orang Protestan di lain pihak. Konflik itu tidak hanya memakan korban jiwa di dua pihak tetapi juga menghancurkan banyak Masjid, Gereja, pasar, dan fasilitas publik lainnya.

Dalam sejarahnya, kelompok Muslim dan Kristen Maluku telah lama bersaing untuk saling mendominasi dalam agama, ekonomi, dan politik lokal. Islam datang ke Maluku pada abad ke-15 yang ditandai dengan munculnya kesultanan Ternate. Sementara pedagang Portugis masuk ke Maluku pada tahun 1513, dan diikuti dengan berbagai usaha untuk menyebarkan iman Kristen.

Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, kebanyakan orang terutama Kristen yang menikmati kemudahan pada masa kolonial memproklamirkan kemerdekaan Republik Maluku Selatan (RMS) pada April 1950. Kenyataan itu melahirkan berbagai kesalingcurigaan di antara sesama warga. Selama masa kepemimpinan Soeharto, komposisi masyarakat Maluku didominasi masyarakat Kristen asli. Akan tetapi sejak awal 1980-an, banyak orang Muslim yang bermigrasi keMaluku hingga menjadi mayoritas tidak hanya dalam hal jumlah tetapi juga distribusi ekonomi dan politik lokal. Persaingan ekonomi danpolitik antara orang-orang Muslim dan Kristen berakhir pada ledakan konflik tak berujung.

Meskipun tampaknya bahwa agama berperan dalam konflik, hal itu tidak serta merta membenarkan kesimpulan bahwa akar konflik di Maluku adalah masalah agama. Proklamasi kemerdekaan RMS mengindikasikan ambisi akan kekuasaan dalam politik lokal. Hal senada telah ditegaskan Azra.

3.Indonesia: kasus ateisme[13]

Kasus menarik terjadi terkait dengan Alexander Aan. Aan yang mencantumkan Islam sebagai agama di KTP- nya tiba-tiba menyatakan diri sebagai seorang ateis. Ia juga mengakui dirinya sebagai pengelola sebuah akun tentang ateisme di facebook. Hal itu memicu respon keras dari sekelompok orang dan berusaha untuk menganiaya Aan. Polisi lalu mengamankan Aan dan kemudian menghadapkannya ke pengadilan dengan tuduhan penodaan terhadap agama Islam.

Perdebatan menarik lalu muncul ke permukaan dalam rangka mempertanyakan apakah ateisme dilarang di Indonesia. Pertanyaan mendasar ini tidak bermaksud menghilangkan kemungkinan bahwa memang Aan telah melakukan beberapa tindakan yang menodai Islam.

Salah satu sebab mendasar dari persoalan ateisme di Indonesia adalah kebijakan Soeharto untuk menjadikan beberapa agama sebagai agama resmi negara. Efek kebijakan itu adalah adanya kewajiban warga negara untuk mencantumkan salah satu dari enam agama dalam kartu identitas kewargaan. Aan mencantumkan Islam untuk memenuhi kewajiban itu tetapi mungkin ia tidak sungguh-sungguh menjadi Muslim.

Kasus Aan menunjukkan suatu peran negara dalam kehidupan privat warga. Dalam sudut pandang tertentu, negara dapat dikatakan melakukan pemaksaan terhadap warganya untuk memilih salah satu dari enam agama resmi. Di satu sisi, kebijakan negara ini dapat menjamin keutuhan enam agama yang diakui tetapi di sisi lain, menyudutkan kelompok keyakinan lainnya. Kebijakan negara ini juga membentuk visi warga negara tentang batas pluralitas keagamaan di Indonesia.

E.ANALISIS DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

Setelah melewati beberapa pembahasan di atas, kita menemukan beberapa keterkaitan yang jelas antara peran negara, peran masyarakat terhadap pluralisme keagamaan. Terhadap fakta pluralitas keagamaan, negaradan masyarakat menjalankan peran tertentu. Berbagai peran itu menarik untuk diteliti dari perspektif sosiologis tertentu.

Dalam menganalisis beberapa isi artikel yang dibahas dalam tulisan ini, kita akan menggunakan perspektif sosiologi struktural fungsional. Teori pemikiran yang mengikuti tradisi Durkhemian ini memandang agama sebagai sumber utama solidaritas sosial.[14] Tentang solidaritas sosial yang muncul dari Collective effervescence, dikatakan bahwa“Involvement in the group activity created collective effervescence, an unusual state of shared excitement, involving exceptionally intense feelings. The shared expression of these emotions served to heighten them still futher.”[15]

Dalam artikel ditampilkan bahwa fakta keragamaan agama menuntut suatu sikap keterbukaan untuk belajar dari dan bersama agama yang lain. Tuntutan itu secara langsung berkaitan dengan konsep solidaritas sosial. Tegangan antara eksklusivitas dan inklusivitas menentukan sikap mana yang ditampilkan terhadap fakta pluralitas keagamaan.

Dalam kasus konflik Maluku, solidaritas sosial antarmasyarakat seagama serentak mendorong eksklusivitas terhadap kelompok keagamaan lain. Eksklusivitas itu tidak semata-mata datang dari dalam tetapi juga berbagai faktor luar seperti politik. Dalam realitas ini, negara memperlihatkan suatu peran aktif untuk mengatasi eksklusivitas itu lewat usaha untuk berdamai, berdialog, dan memperbaiki persepsi.

Peran aktif negara juga terlihat dalam tindakan Raja Hassan, danPresiden Abdurahman Wahid.Kedua tokoh mendorong adanya solidaritas sosial keagamaan yang bersifat inklusif. Dalam prakteknya, usaha ini tidak serta merta membuahkan hasil karena dalam kasus tertentu betapa mudahnya solidaritas sosial keagamaan tertentu jatuh dalam eksklusivitas ekstrem.

Dalam kasus ateisme, negara justru menjadi salah satu sumber eksklusivitas keagamaan orang tertentu. Pengakuan agama tertentu dan penolakan ideologi tertentu, membentuk suatu kesadaran bernegara yang terbatas sehingga segala yang bertentangan dengan itu harus diredam.

Dengan memperhatikan hal di atas, kita dapat menuntut adanya suatu peran yang netral bagi negara dalam relasi antarwarganya. Peran yang demikian biasanya terartikulasi dalam ide tentang pemisahan agama dan negara. Ide tentang pemisahan agama dan negara memang telah dimulai oleh Paus Gregorius VII (1021-1084) yang memisahkan agama Katolik dari kekaisaran Romawi.[16] Akan tetapi, usaha itu tidak menampakan hasil yang signifikan. Ide semacam ituterus kemudianbergema dalam revolusi Perancis, dan Konstitusi Amerika.

Bagi konteks Indonesia yang memasukkan agama dalam konstitusinya, gagasan pemisahan agama dan negara kiranya hal yang cukup sulit dilakukan. Meskipun mempunyai beberapa kekurangan, ikutnya negara dalam agama tetap memberi dampak positif bagi terkontrolnya solidaritas sosial keagamaan tertentu dalam batas yang wajar. Selain itu, negara dapat mengarahkan potensi eksklusivitas agama ke inklusivitas, dari potensi konflik ke potensi konstrutif. Dengan kata lain, negara dapat mengarahkan agama menjadi, meminjam istilah MaxWeber agama sebagai sumber perubahan sosial. Tentu saja dalam hal ini, negara diandaikan mempunyai nilai baik pada dirinya sendiri.

Memang dalam konteks Indonesia, selain konflik yang memakai bendera agama, suatu hal yang tak terbantahkan adalah bahwa agama secara aktif mendorong terciptanya suasana yang harmonis dan relasi yang saling menguntungkan. Sementara dalam kasus tertentu justru sistem politik yang mempergunakan atribut agama tertentu demi kepentingan tertentu.

F.PENUTUP

Dalam kehidupan zaman sekarang fakta pluralitas keagamaan menuntut berbagai sikap yang jelas dalam menyikapinya. Selain eksklusivitas, inklusivitas juga merupakan suatu sikap yang tepat. Dalam konteks masyarakat demokratis, pluralisme keagamaan mempunyai kesempatan untuk menyumbangkan sesuatu ke dalam sistem demokrasi.[17] Pernyataan itu didasarkan pada kenyataan bahwa suatu sikap dan cara pandang yang tepat tentang pluralitas keagamaan memberikan kontribusi yang besar bagi terciptanya masyarakat yang demokratis. Pluralisme keagamaan juga berperan dalam mengembangkan sistem kemasyarakatan demokratis lewat usaha-usaha dialog yang menekankan nilai keterbukaan dan kerelaan untuk saling belajar.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. “An Islamic Perspective of Religious Pluralism in Indonesia: The Impact of Democracy on Conflict Resolution,” in Religious Pluralism in Democratic Societies: Challenges and Prospect for Southeast Asia, Europe, and the United States in the New Millenium, edited by K.S. Nathan, Singapore: Konrad-Adenauer- Stiftung (KAS), 2010

Cuff, E.C. , W.W. Sharrock, and D.W. Francis.Perspectives in Sosiology, Fourth Edition. London: Routledge, 1998

Nathan, K.S., “INTRODUCTION: Religious Pluralism in Southeast Asia, Europe, and the United States: The Foundationsof Coexistence”in Religious Pluralism in Democratic Societies: Challenges and Prospect for Southeast Asia, Europe, and the United States in the New Millenium, edited by K.S. Nathan, Singapore: Konrad-Adenauer- Stiftung (KAS), 2010

__________. “CONCLUSION: Globalization and the Post-9/11 Era: Problems and Prospects for Multi-Religious Coexistence and Cooperation in Southeast Asia, Europe, and America,” in Religious Pluralism in Democratic Societies: Challenges and Prospect for Southeast Asia, Europe, and the United States in the New Millenium, edited by K.S. Nathan,Singapore: Religious Pluralism in Democratic Societies: Challenges and Prospect for Southeast Asia, Europe, and the United States in the New Millenium Konrad-Adenauer- Stiftung (KAS), 2010

Osman, Salim, “Is Atheism, like Communism, Illegal in Indonesia?” in Jakarta Post, Friday, February 10, 2012 (no page)

Seda, Francisia SSE. Menuju Gereja yang Makin Mengindonesia: Suatu Perspektif Sosiologis. Diktat kuliah Sosiologi Agama, 2012

Swidler, Leonard. “Freedom of Religion and Dialogue: Moving Globalization from ‘Destruction’ to ‘Construction’,” in Religious Pluralism in Democratic Societies: Challenges and Prospect for Southeast Asia, Europe, and the United States in the New Millenium, edited by K.S. Nathan,Singapore: Konrad-Adenauer- Stiftung (KAS), 2010

[1]K.S. Nathan, “INTRODUCTION: Religious Pluralism in Southeast Asia, Europe, and the United States: The Foundationsof Coexistence”in Religious Pluralism in Democratic Societies: Challenges and Prospect for Southeast Asia, Europe, and the United States in the New Millenium, edited by K.S. Nathan, Singapore: Konrad-Adenauer- Stiftung (KAS), 2010, p. 1.

[2] Pemaparan Swidler diambil dari Leonard Swidler, “Freedom of Religion and Dialogue: Moving Globalization from ‘Destruction’ to ‘Construction’,” in Religious Pluralism in Democratic Societies: Challenges and Prospect for Southeast Asia, Europe, and the United States in the New Millenium, edited by K.S. Nathan,Singapore: Konrad-Adenauer- Stiftung (KAS), 2010, p.13-33.

[3]Swidler, Freedom of Religion and Dialogue, p. 13.

[4] Pemaparan Azra diambil dari Azyumardi Azra, “An Islamic Perspective of Religious Pluralism in Indonesia: The Impact of Democracy on Conflict Resolution,” in Religious Pluralism in Democratic Societies: Challenges and Prospect for Southeast Asia, Europe, and the United States in the New Millenium, edited by K.S. Nathan, Singapore: Konrad-Adenauer- Stiftung (KAS), 2010, p. 225-240.

[5]Azra, An Islamic Perspective, p. 228.

[6] Azra, An Islamic Perspective, p. 233.

[7] Azra, An Islamic Perspective, p. 234.

[8] Bdk. Azra, An Islamic Perspective, p. 233-234.

[9] Tulisan Osman yang dirujuk adalah Salim Osman, “Is Atheism, like Communism, Illegal in Indonesia?” in Jakarta Post, Friday, February 10, 2012 (halaman tidak tercantum).

[10] Azra, An Islamic Perspective, p. 231.

[11] Tentang Maroko dan Indonesia diambil dariSwidler, Freedom of Religion and Dialogue, p. 26-27

[12] Azra, An Islamic Perspective, p. 233-234.

[13] Bagian tentang ateisme disadur dariSalim Osman, “Is Atheism, like Communism, Illegal in Indonesia?” in Jakarta Post, Friday, February 10, 2012 (halaman tidak tercantum).

[14] Francisia SSE Seda, Menuju Gereja yang Makin Mengindonesia: Suatu Perspektif Sosiologis (Diktat kuliah Sosiologi Agama, 2012), hlm, 4.

[15] E.C. Cuff, W.W. Sharrock, and D.W. Francis, Perspectives in Sosiology, (Fourth Edition, London: Routledge,1998), p. 77.

[16] Swidler, Freedom of Religion and Dialogue, p.16.

[17] K.S. Nathan, “CONCLUSION: Globalization and the Post-9/11 Era: Problems and Prospects for Multi-Religious Coexistence and Cooperation in Southeast Asia, Europe, and America,” in Religious Pluralism in Democratic Societies: Challenges and Prospect for Southeast Asia, Europe, and the United States in the New Millenium, edited by K.S. Nathan,Singapore: Religious Pluralism in Democratic Societies: Challenges and Prospect for Southeast Asia, Europe, and the United States in the New Millenium Konrad-Adenauer- Stiftung (KAS), 2010, p. 285

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun