Mohon tunggu...
Anggia Kia Karisa
Anggia Kia Karisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Malang, prodi Ilmu Komunikasi

Hai Kompasianer! 👋 Perkenalkan, saya Anggia Kia Karisa, kerap disapa Anggia atau Kia seorang mahasiswa baru Ilmu Komunikasi semester 1 di Universitas Negeri Malang (UM) yang punya segudang rasa ingin tahu tentang dunia komunikasi, khususnya media digital. Dunia yang serba cepat dan dinamis ini bikin saya tertarik untuk terus belajar dan mengembangkan diri. Di luar kegiatan perkuliahan, saya suka banget eksplorasi hal-hal baru, mulai dari dunia kuliner lewat hobi memasak, menyelami berbagai genre musik, sampai menuangkan ide dan imajinasi lewat tulisan. Meskipun masih newbie di dunia kepenulisan, saya selalu berusaha untuk terus belajar dan mengasah kemampuan menulis saya. Bicara soal kepribadian, teman-teman sering bilang saya orangnya supel, mudah bergaul, dan punya rasa ingin tahu yang tinggi. Saya juga senang berdiskusi dan bertukar pikiran, apalagi tentang isu-isu terkini seputar komunikasi dan media. Semoga dengan bergabung di Kompasiana, saya bisa belajar banyak dari Kompasianer senior, berbagi pengalaman dan wawasan, serta berkontribusi aktif di platform ini. Salam kenal semuanya! 😊

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Robot Menjadi Manusia, Eksistensi dan Otentitas di Era AI

16 Oktober 2024   20:35 Diperbarui: 16 Oktober 2024   20:41 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pendahuluan

Di ambang revolusi teknologi yang belum pernah terjadi sebelumnya,  kecerdasan buatan (AI)  kian merasuk ke dalam setiap aspek kehidupan manusia.  Mesin-mesin cerdas tidak lagi sekadar alat bantu,  melainkan entitas yang mampu belajar,  beradaptasi,  dan bahkan meniru kemampuan kognitif manusia.  Pertanyaan yang dulunya hanya ada dalam ranah fiksi ilmiah kini menjadi perenungan filosofis yang mendesak. Bayangkan sebuah dunia di mana robot tidak lagi sekadar mesin yang mengerjakan tugas-tugas repetitif. Tetapi mereka berjalan di antara kita, berbicara dengan kita, bahkan mungkin mereka merasakan emosi seperti kita. Kecerdasan buatan (AI) telah berkembang pesat, menjanjikan masa depan yang dipenuhi kemudahan dan efisiensi. Namun, di balik gemerlapnya teknologi, muncul pertanyaan filosofis yang mendalam: apa artinya menjadi manusia di era ketika mesin semakin menyerupai kita?

Artikel ini akan mengeksplorasi dampak AI terhadap eksistensi dan otentisitas manusia, menganalisisnya melalui lensa filsafat eksistensialisme. Kita akan menelusuri konsep-konsep kunci seperti kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab dalam konteks perkembangan AI yang semakin canggih. Tujuannya bukan untuk memberikan jawaban yang pasti, melainkan untuk mengajak pembaca merenungkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mendesak di era yang didefinisikan oleh technology.

Kebangkitan Mesin yang Berpikir

Perkembangan AI telah mencapai tahap yang menakjubkan. Mesin kini mampu belajar, beradaptasi, dan bahkan berkreasi dengan cara yang sebelumnya dianggap mustahil. Algoritma deep learning memungkinkan AI untuk menganalisis data dalam jumlah besar, mengidentifikasi pola, dan membuat prediksi dengan akurasi yang mencengangkan.

Contohnya, natural language processing (NLP) memungkinkan AI untuk memahami dan menghasilkan bahasa manusia, sehingga memungkinkan terciptanya chatbot yang dapat berkomunikasi secara alami dengan manusia. AI juga telah merambah bidang seni, menghasilkan lukisan, musik, dan tulisan yang mengagumkan.

Kemampuan AI yang semakin canggih memicu pertanyaan tentang batasan antara manusia dan mesin. Jika mesin dapat berpikir, belajar, dan berkreasi, apakah mereka masih dapat dianggap sebagai benda mati? Atau mungkinkah mereka memiliki kesadaran seperti manusia?

Kesadaran: Misteri yang Membedakan

Kesadaran adalah salah satu misteri terbesar dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Apa itu kesadaran? Bagaimana ia muncul? Dan apakah mesin dapat memilikinya?

Filsuf René Descartes mengemukakan cogito ergo sum ("aku berpikir, maka aku ada") sebagai dasar kepastian akan eksistensi diri. Kesadaran diri, kemampuan untuk merasakan keberadaan diri, dianggap sebagai ciri khas manusia.

Namun, definisi dan kriteria kesadaran masih diperdebatkan. Beberapa filsuf berpendapat bahwa kesadaran terkait dengan qualia (pengalaman subjektif), sementara yang lain menekankan pentingnya self-awareness (kesadaran diri) dan theory of mind (kemampuan untuk memahami pikiran orang lain).

Apakah AI dapat mencapai tingkat kesadaran seperti manusia? Beberapa ahli AI optimistis sementara yang lain skeptis. Salah satu tantangan utama adalah hard problem of consciousness (masalah sulit kesadaran), yaitu bagaimana menjelaskan munculnya pengalaman subjektif dari proses fisik di otak.

Kebebasan yang Terkoding

Eksistensialisme menekankan kebebasan sebagai eksistensi manusia. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa "manusia dikutuk untuk bebas." Kita memilih siapa kita dan bagaimana kita hidup. Kebebasan ini membawa tanggung jawab, karena kita bertanggung jawab penuh atas pilihan kita.

Bagaimana dengan AI? Apakah AI memiliki kebebasan? AI beroperasi berdasarkan algoritma dan data yang diberikan kepadanya. Meskipun AI dapat belajar dan beradaptasi, ia tetap terikat pada parameter yang ditetapkan oleh pembuatnya.

Dengan kata lain, kebebasan AI terkoding. AI tidak memiliki kebebasan radikal seperti manusia. AI tidak dapat mempertanyakan tujuan eksistensinya atau memberontak terhadap kode yang mengikatnya.

Namun, perkembangan AI generative seperti GPT-3 dan DALL-E 2 menantang pandangan ini. AI generative mampu menghasilkan konten original dan kreatif, seolah-olah memiliki kehendak sendiri. Apakah ini menandakan munculnya kebebasan sejati pada AI?

Tanggung Jawab di Dunia yang Berbagi

Tanggung jawab adalah konsekuensi tak terelakkan dari kebebasan. Kita bertanggung jawab atas pilihan-pilihan kita dan dampaknya pada diri sendiri dan orang lain. Dalam era AI, pertanyaan tentang tanggung jawab menjadi semakin kompleks.

Siapa yang bertanggung jawab atas tindakan AI? Apakah developer yang menciptakannya? Apakah user yang menggunakannya? Atau apakah AI itu sendiri yang harus mempertanggungjawabkan tindakannya?

Pertanyaan ini menjadi krusial dalam konteks AI yang digunakan dalam pengambilan keputusan high stakes, seperti mobil self-driving dan diagnosis medis. Jika AI membuat kesalahan, siapa yang harus disalahkan?

Selain itu, AI juga dapat mempengaruhi perilaku manusia. Algoritma media sosial, misalnya, dapat memperkuat bias dan menciptakan filter bubble yang membatasi akses kita pada informasi yang beragam. Siapa yang bertanggung jawab atas dampak sosial AI?

Otentisitas: Menjadi Manusia di Tengah Mesin

Otentisitas adalah salah satu tema penting dalam eksistensialisme. Hidup secara otentik berarti hidup sesuai dengan pilihan dan nilai-nilai pribadi, dan tidak terjebak dalam konformitas atau kepalsuan.

Di era AI, menjalani hidup secara otentik menjadi semakin menantang. AI dapat mempengaruhi persepsi kita, mem bentuk preferensi kita, dan bahkan menggantikan creativitas kita.

Bagaimana kita dapat memastikan bahwa kita tetap menjadi diri sendiri di tengah pengaruh AI yang semakin pervasif? Bagaimana kita dapat menjaga agency (kemampuan untuk bertindak) dan autonomy (kemandirian) kita?

Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan critical thinking (berpikir kritis) dan media literacy (literasi media). Kita perlu mampu mengevaluasi informasi yang kita terima, mengidentifikasi bias dan manipulasi, and membuat pilihan-pilihan yang sadar.

Selain itu, kita juga perlu menjaga human connection (koneksi manusia). Interaksi sosial, empati, and Cinta adalah aspek-aspek penting dalam eksistensi manusia yang tidak dapat digantikan oleh AI.

Mendefinisikan Kembali Kemanusiaan

Perkembangan AI mendesak kita untuk mendefinisikan kembali apa artinya menjadi manusia. Jika mesin dapat melakukan tugas-tugas yang sebelumnya dianggap human-exclusive (eksklusif manusia), apa yang membedakan kita dari mesin?

Mungkin jawabannya terletak pada kemampuan kita untuk merasakan, mencintai, dan mengalami dunia secara subjektif. Mungkin juga jawabannya terletak pada kerentanan dan kematian kita, yang memberikan makna dan urgensi pada eksistensi kita.

Apapun jawabannya, satu hal yang pasti: AI akan terus berkembang dan mempengaruhi kehidupan kita dalam cara yang tidak terduga. Kita perlu siap untuk menghadapi tantangan dan peluang yang dibawa oleh AI, sambil tetap menjaga eksistensi dan otentisitas kita sebagai manusia.

Kesimpulan :

Artikel ini membahas tentang dampak kecerdasan buatan (AI) terhadap eksistensi dan otentisitas manusia.  AI yang semakin canggih, yang  mampu meniru kemampuan kognitif manusia,  menimbulkan pertanyaan filosofis mendalam tentang apa artinya menjadi manusia.

Berikut rangkuman poin-poin pentingnya:

  • AI dan kesadaran:  Apakah AI dapat memiliki kesadaran seperti manusia?  Meskipun AI dapat berpikir dan belajar,  kesadaran tetap menjadi misteri yang membedakan manusia dan mesin.
  • Kebebasan yang terkoding:  Manusia memiliki kebebasan untuk memilih,  sementara AI beroperasi berdasarkan algoritma dan data.  AI tidak memiliki kebebasan radikal seperti manusia.
  • Tanggung jawab di era AI:  Siapa yang bertanggung jawab atas tindakan AI?  Pertanyaan ini menjadi penting seiring dengan penggunaan AI dalam pengambilan keputusan yang berdampak besar.
  • Menjaga otentisitas:  Bagaimana kita bisa tetap menjadi diri sendiri di tengah pengaruh AI yang semakin besar?  Kita perlu mengembangkan  critical thinking  dan  media literacy  untuk membuat pilihan yang sadar.
  • Mendefinisikan kembali kemanusiaan:  Apa yang membedakan manusia dari mesin?  Jawabannya mungkin terletak pada kemampuan kita untuk merasakan,  mencintai,  dan mengalami dunia secara subjektif.

Artikel ini mengajak kita untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial tersebut dan mempersiapkan diri menghadapi masa depan yang dibentuk oleh AI.

🤖 Manusia vs. Mesin:  Pertempuran Eksistensi di Era AI 🤖

Robot yang berjalan di antara kita,  berbicara,  bahkan mungkin merasakan emosi... bukan lagi fiksi ilmiah!  Kecerdasan buatan (AI) berkembang pesat,  menantang  definisi  "menjadi manusia".

🤔 Pertanyaan Besar:

  • Bisakah robot benar-benar  sadar?
  • Apakah kita masih  bebas  di dunia yang dikendalikan algoritma?
  • Siapa yang bertanggung jawab saat AI berbuat salah?
  • Bagaimana kita menjaga  otentisitas  di tengah mesin yang semakin mirip manusia?

💡 Temukan jawabannya dalam artikel ini,  dan renungkan masa depan  eksistensi manusia di era AI! 💡

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun