APA YANG DIMAKSUD DENGAN DISPENSING OBAT?
Obat adalah bahan, paduan bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan Kesehatan, dan kontrasepsi untuk manusia.
Sediaan Farmasi adalah Obat, Bahan Obat, Obat Bahan AIam, termasuk bahan Obat Bahan Alam, kosmetik, suplemen kesehatan, dan obat kuasi.
Dispensing obat adalah proses memberikan atau mengeluarkan obat kepada pasien sesuai dengan resep yang diberikan oleh dokter atau petugas kesehatan yang berwenang. Proses ini melibatkan apoteker atau petugas farmasi yang bertanggung jawab untuk mengukur, mengemas, dan memberikan obat kepada pasien sesuai dengan aturan yang berlaku.Â
Pasal 145 ayat (2) UU Kesehatan No 17 Tahun 2023 menyatakan bahwa Praktik kefarmasian meliputi produksi, termasuk pengendalian mutu, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, penelitian dan pengembangan Sediaan Farmasi, serta pengelolaan dan pelayanan kefarmasian.
Proses dispensing obat melibatkan beberapa tahap, seperti:
Verifikasi Resep: Apoteker atau petugas farmasi akan memeriksa resep obat yang diberikan oleh dokter untuk memastikan bahwa resep tersebut sah dan sesuai dengan hukum.
Pengukuran dan Pengemasan: Obat yang diresapi akan diukur dengan tepat dan kemudian dikemas dalam wadah yang sesuai, seperti botol atau blister pack.
Labeling: Wadah obat akan diberi label dengan informasi penting, seperti nama pasien, instruksi penggunaan, tanggal kadaluwarsa, dan peringatan jika diperlukan.
Konseling Pasien: Apoteker atau petugas farmasi mungkin memberikan informasi kepada pasien mengenai cara mengambil obat, efek samping yang mungkin terjadi, dan hal-hal penting lainnya terkait penggunaan obat.
Pemberian Obat: Pada tahap akhir, obat akan diberikan kepada pasien sesuai dengan resep dan instruksi yang telah diberikan.
Kewenangan Dispensing Obat
Pasal 145 UU Kesehatan (1) Praktik kefarmasian harus dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (2) Praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi produksi, termasuk pengendalian mutu, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, penelitian dan pengembangan Sediaan Farmasi, serta pengelolaan dan pelayanan kefarmasian (3) Dalam kondisi tertentu, praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Tenaga Kesehatan lain secara terbatas selain tenaga kefarmasian.
Pasal 199 ayat (5) UU Kesehatan Tenaga Kefarmasian terdiri atas tenaga vokasi farmasi, apoteker, dan apoteker spesialis.Â
Pasal 286 ayat (3) huruf c UU Kesehatan jo. Pasal 1 angka 5 jo. 21 ayat (2) PP Pekerjaan KefarmasianÂ
* Pelayanan kefarmasian menjadi kewenangan ApotekerÂ
* Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh ApotekerÂ
* Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker
Apakah Kewenangan pada kondisi tertentu dapat diberikan diluar tenaga kefarmasian?
Pasal 286 ayat (2) jo. Penjelasan Pasal 145 ayat (3) UU Kesehatan Kondisi Tertentu adalah tidak ada tenaga kefarmasian, kebutuhan program pemerintah, penanganan kegawat daruratan (obat keadaan darurat medis), KLB, Wabah, dan/atau darurat bencana.
Pasal 287 ayat (1) UU Kesehatan Kondisi ketiadaan Tenaga Kefarmasian ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat.
Penjelasan Pasal 145 ayat (3) UU Kesehatan Tenaga Kesehatan lain, antara lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat Pasal 286 ayat (1) dan (3) UU Kesehatan Dalam keadaan tertentu, tenaga medis dan tenaga kesehatan dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya, yaitu dokter/dokter gigi, perawat, bidan, dan tenaga vokasi farmasi yang memberikan pelayanan kefarmasian dalam batas tertentu.
Putusan MK No. 12/PUU-VIII/2010 Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter, dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.
Pelatihan Tambahan perlu dilakukan kepada tenaga kesehatan diluar tenaga Apoteker, Â petugas farmasi atau orang-orang yang bekerja di fasilitas kesehatan akan menerima pelatihan tambahan untuk menggantikan apoteker dalam situasi darurat. Namun, ini harus dilakukan dengan hati-hati dan dengan memastikan bahwa standar keamanan dan etika farmasi tetap dijaga dengan memperhatikan kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan. Dalam pelatihan sebagaimana dimaksud diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah dapat melibatkan pihak terkait.
Bagaimana Ketentuan Pidananya Jika Terjadi Pelanggaran?
Pasal 436 UU Kesehatan (1) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan tetapi melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 200.000.000Â
(2) Dalam hal terdapat praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terkait dengan Sediaan Farmasi berupa obat keras dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000
Kesimpulannya, Apakah Dokter boleh melakukan DISPENSING OBAT ?
(1) Dokter boleh melakukan dispensing obat dalam kondisi tertentuÂ
(2) Dokter yang melakukan dispensing obat tidak dalam kondisi tertentu dapat dikenai sanksi pidana denda Rp 200.000.000Â
(3) Dokter yang melakukan dispensing obat keras tidak dalam kondisi tertentu dapat dikenai sanksi pidana penjara 5 tahun atau pidana denda Rp 500.000.000Â
Proses dispensing obat sangat penting untuk memastikan pasien menerima obat yang tepat dan digunakan dengan benar sesuai dengan petunjuk dokter. Kesalahan dalam proses dispensing obat dapat memiliki konsekuensi serius terhadap kesehatan pasien.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H