Dewasa ini, banyak beredar berita seseorang yang rela mengakhiri hidupnya karena merasa beban dalam hidupnya sangat berat. WHO (World Health Organization) memprediksi kasus meninggal dunia akibat depresi akan menjadi kasus dengan angka tertinggi kedua setelah penyakit jantung.
Sebanyak 800 ribu jiwa per tahun meninggal dunia akibat bunuh diri yang artinya tindakan bunuh diri telah merenggut 1 korban jiwa setiap 40 detik. Kepala koordinator komunitas Into the Light Indonesia, Benny Prawira Siauw mengungkapkan, hingga tahun 2012, diketahui ada 9.106 orang di Indonesia yang meninggal dunia akibat bunuh diri. Sebelumnya, pada periode 1990-2016, jumlahnya sebanyak 8.580 jiwa. Jumlah kematian akibat bunuh diri di Indonesia diprediksi merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Benny menjelaskan, remaja akan tetap berisiko mengalami kesepian meskipun mereka memiliki teman.[1] Hal tersebut disebabkan karena apabila kebutuhan sosialnya belum terpenuhi, remaja bisa tetap merasa kesepian.
Konsep Jiwa
Dalam Al-Qur'an terdapat lebih dari 80 ayat yang membahas berkaitan dengan jiwa, yakni:
- Kata an-Nafs (jiwa) menjelaskan bahwa Allah SWT memberikan pada jiwa manusia karakteristik berupa kemampuan untuk mengetahui yang baik dan yang buruk, dan membedakan keduanya serta kesiapan untuk melaksanakan keduanya. Manusia diberikan kemampuan tersebut agar dapat berpikir sebelum melakukan sesuatu. Kemampuan tersebut mencegah daripada prilaku negatif yang akan dilakukan. Allah SWT berfirman dalam Q.S. asy-Syam ayat 7-8 yang artinya "Demi jiwa serta penyempurnaan, lalu Allah mengilhamkan kepadanya jalan kedurhakaan (dosa dan ketakwaan)."
- Kata an-Nafs (jiwa) yang terdapat dalam Al-Qur'an banyak menegaskan tentang penyucian jiwa dari pada segala kotoran. Firman Allah SWT dalam Q.S. asy-Syams ayat 9-10 yang artinya "Sesungguhnya telah beruntunglah orang yang menyucikannya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya."
- Kata an-Nafs (jiwa) dalam hubungannya dengan makna substansi manusia yang dijabarkan dengan bentuk penyebutan nafsu-nafsu seperti nafsu amarah, nafsu lawwamah, dan nafsu muthmainnah adalah sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Fajr ayat 27 yang artinya "Wahai orang yang mempunyai jiwa yang senantiasa tenang tetap dengan kepercayaan dan bawaan baiknya". [2]
Untuk mendapatkan definisi yang cukup lengkap mengenai jiwa, maka kita mesti mengkombinasikan tiga pengertian diatas.
Konsep Hati
Al-Quran mempunyai beberapa istilah penyebutan untuk memaknai kata "ketenangan hati". Ketenangan hati adalah gabungan dari dua kata yaitu "ketenangan" dan "hati". Ketenangan dalam bahasa Arab mempunyai bentuk lafadz dalam bahasa Arab, yaitu sakinah, ittizan, itma'na, hada'un, ribatatun, ja'shun, istiwa'un, lambalatun, thubatun, sofa'un, risonatun, roghodun, dan rokho'un.
Begitupun juga "hati" dalam bahasa Arab berasal dari lafadz qalb. Qalb ialah bergesernya sesuatu dari yang ditampilkan atau berpindahnya sesuatu (yang tidak terlihat) karena sesuatu yang ditampilkan. Qalb adalah sesuatu yang berpindah-pindah karena sesuatu yang nampak. Kata qalb atau qulub diulang 133 kali dalam al-Quran.[3] Qalb berarti jiwa atau hati. Terkadang kata itu juga dikaitkan dengan akal, dalam arti orang dapat mempunyai jiwa atau hati tetapi tidak menggunakan akalnya. Seperti firman Allah SWT. dalam Q.S. al-Hajj ayat 46 yang artinya "Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada."
Konsep Ketenangan
Allah SWT. berfirman Q.S. al-Ma'arij ayat 19 yang artinya "Sesungguhnya manusia itu diciptakan (bersifat) keluh kesah." Ayat ini memiliki penjelasan, bahwa dalam rohani manusia itu sudah ada bibit penyakitnya, dan Allah tidak suka kalau bibit itu berkembang. Apabila seseorang telah lupa akan Allah, maka disaat itulah penyakit akan mulai berjangkit, syaitan akan mudah menghasut dan akan timbullah rasa sombong dan angkuh. Dari hal itulah akan menyebabkan kegelisahan dan terganggu ketenangannya, sebab telah melanggar apa yang telah diperintahkan oleh Allah. Perbuatan keji dan perbuatan dosa itulah yang menjadikan jiwa tidak tenang, selalu dihantui oleh rasa takut dan cemas. Seseorang itu tidak tenang, penuh dengan kegelisahan dan ketakutan dikala seseorang menyadari bahwa dirinya telah keliru dan melanggar apa yang diperintahkan dalam agama.
Perlu kita ingat kembali, bahwa hakikat hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. az-Zariyat ayat 56 yang artinya "Tiada Aku jadikan manusia dan jin melainkan untuk beribadah kepada-Ku." Ayat ini bermakna, bahwa sebagai pembuktian iman terhadap iman terhadap Allah adalah dengan jalan melaksanakan amal yang baik serta ibadah yang benar. Dalam artian melaksanakan segala yang diperintahkan dan menjauhkan semua larangan-Nya, ini semua untuk kebahagiaan dan ketenangan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.[4]
Ilmu Kedokteran dan Psikologi menjelaskan, bahwa al-Qur'an mengemukakan beberapa penyakit mental yang disebabkan oleh seseorang jauh dari al-Qur'n, diantaranya Riya' yaitu bertingkah laku karena motif ingin dipuji atau diperhatikan orang lain; asad dan dengki atau iri hati; Rakus (berlebih-lebihan dalam makan); Waswas yang merupakan bisikan hati akan nafsu dan kelezatan; Ingkar janji; Membicarakan kejelekan orang lain (ghibah); Sangat marah (syiddat al-ghaap); Cinta dunia (ubb ad dunya); Cinta harta (ubb al-Mal); Kebakhilan (pelit); Cinta pada kedudukan atau pangkat (hubb al-Jah); serta Kesombongan (kibr) atau bangga (ujub).[5]
Allah SWT. berfirman dalam Q.S. asy-Syams ayat 9-10 yang artinya ""Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." Menurut Tafsir Ibn Katsir, bahwa firman Allah Ta'ala tersebut agar sungguh berbahagialah orang yang mensucikan jiwanya dengan menaati-Nya dan sungguh merugilah orang yang hatinya dibiarkan kotor oleh Allah.[6] Allah SWT. tidak akan mensucikan jiwa seseorang melainkan seseorang tersebut yang melakukan penyucian pada dirinya sendiri dengan mentaati Allah. Maka pembersihan Allah terhadap jiwanya itu merupakan balasan yang setimpal dengan ketaatannya, sehingga memperoleh ketenangan. Wallahu a'lam bish showab.
[1]Â Mainingsih, Puput. 2020. "Penafsiran Fakhr al-Din al-Razi Terhadap Nafs Mutmainnah dalam Tafsir Mafatih al-GaIb". Surakarta: Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
[2]Â Humaira. 2019. "Upaya Memperoleh Ketenangan Jiwa dalam Perspektif al-Qur'an (Studi Deskriptif Analisis Tafsir-Tafsir Tematik)". Aceh: Skripsi UIN ar-Raniry.
[3]Â Azhari, Novi Nurjannah. 2019. "Ketenangan Hati dalam al-Qur'an (Telaah Pemikiran Syaikh Najmuddin al-Kubro)". Surabaya: Skripsi UIN Sunan Ampel.
[4]Â Amnur, David. 2010. "Zikir dan Pengaruhnya Terhadap Ketenangan Jiwa Menurut al-Qur'an (Kajian Tafsir Tematik". Pekanbaru: Skripsi UIN Sultan Syarif Kasim.
[5] Samain. 2020. "Konsep Kesehatan Mental dalam Al-Qur'n dan Implikasinya Terhadap Adversity Quotient Perspektif Tafsir Al-Misbah". Salatiga: Tesis IAIN Salatiga.
[6] Yuniarti. 2018. "Konsep Tazkiyatun Nafs dalam al-Qur'an (Kajian Surat asy-Syams Ayat 9-10) dalam Pendidikan Islam". Lampung: Skripsi UIN Raden Intan.
Oleh: Taufik Hidayat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H