Mohon tunggu...
Taufik Hidayat
Taufik Hidayat Mohon Tunggu... Lainnya - https://ngalirspace.wordpress.com/
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

hanya orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dari Liberalisasi hingga Islam Liberal

28 Desember 2021   13:59 Diperbarui: 28 Desember 2021   14:15 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Review "Misykat: Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam" karya Hamid Fahmy Zarkasyi

  • Identitas Penulis dan Gambaran Singkat Buku

Buku ini ditulis oleh Hamid Fahmy Zarkasyi, salah seorang murid langsung dari Prof. Syed M. Naquib al-Attas. Akhir tahun 2020 lalu, beliau dianugerahi gelar Profesor bidang Filsafat Islam dari Kemendikbud RI dan kini menjabat sebagai Rektor UNIDA Gontor. Riwayat pendidikan formal beliau diantaranya S1 di ISID Gontor, S2 Pendidikan di University of Punjab dan S2 Studi Islam di University of Birmingham, dan S3 Pemikiran Islam di ISTAC. Pada tahun 2008, beliau pernah menjadi wakil umat Islam Indonesia dalam symposium masa depan politik Islam di JIIA Tokyo. Juga anggota delegasi RI (Kemenlu) dalam Public Diplomacy Campaign ke Austria (2010). 

Pun pernah menjadi anggota Tim Perumus Piagam Kuwait untuk "Orientalis Sebagai Jembatan Peradaban", Kementerian Waqaf dan Urusan Umat Islam, Kuwait (2011). Dalam bidang pendidikan, beliau salah satu anggota dari tujuh Advisory Panel untuk IAME di Malaysia (2010-2015). Selain itu, beliau banyak melakukan lawatan ke Eropa dan Asia dalam program dakwah, seminar, studi banding, dlsb. serta aktif menulis di media massa dan jurnal. Kesehariannya dihabiskan untuk mengajar di UNIDA Gontor.

Buku ini memberikan pemahaman tentang suatu proyek Barat yang disebut westernisasi. Proyek dengan progam utamanya adala sekularisasi dan liberalisasi. Sikap umat Islam terhadap Barat terbagi menjadi tiga menurut Daryush Shayegan, yakni kembali ke masa lalu, menghadapi dengan berani tapi penuh resiko, serta menolak mentah-mentah Barat. 

Ketiga sikap itu, masih menurut Daryush, dipicu oleh ketiadaan kajian filosofis. Serge Latouche dalam analisisnya mengenai westernisasi, melihat ada tiga hal yang dilakukan Barat, yakni industrialisasi, urbanisasi, dan de-nasionalisasi. Puncaknya adalah tuntutan liberal dan berujung pada erosi semua kultur selain Barat. Jadi, westernisasi, sekularisasi, dan liberalisasi bukan sekadar program bidang politik, ekonomi, dan budaya. Tetapi, juga menawarkan konsep living discourse yang mendominasi dunia Islam saat ini. 

Akhirnya, tanpa terasa muslim berfikir dengan pendekatan humanistis, liberalistis, dekonstruksionis, bahkan relativis. Pada aspek ideologis, westernisasi telah memprovokasi muslim agar melawan institusi agama, dari wacana pluralisme, kesetaraan gender-feminisme, liberalisme, dlsb.. Dengan kata lain, hegemoni wacana postmodern dan dampaknya belum ditanggapi dengan adil, kritis, dan objektif.

Buku ini bermaksud agar kita dapat melihat Barat dan wacana Westernisasi-Liberalisasi dengan objektif dan dari sisi Islam. Oleh penulis diberi judul Misykat yang bila merujuk pada Tafsir al-Qurtubi dan Tafsir Fath al-Qadir berarti lobang kecil dalam rumah yang memantulkan cahaya atau tempat lampu. Imam al-Ghazali menulis kitab Misykat al-Anwar yang berarti tempat atau lampu yang berisi cahaya-cahaya. Harapannya agar dapat menerangkan yang kabur dan tidak jelas, mengisi yang kosong, dan membuka yang ditutup-tutupi. Juga mengkritik konsep yang diapresiasi orang dan mengapresiasi konsep yang dikritik orang.

  • Dari Liberalisasi

Menurut Simon Balckburn dalam Oxford Dictionary of Philosophy, secara politis, liberalism adalah ideology politik yang berpusat pada individu, dianggap memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi, dan bertindak serta bebas dari ikatan agama dan ideology. Sementara, Coady melalui C. A. J. Distributive Justice, mengartikan liberalism bila dalam konteks social adalah etika social yang membela liberty dan equality secara umum. Lalu Prof. Alonzo L. Hamby, yang mendefinisikan liberalism merupakan paham ekonomi-politik yang menekankan pada freedom, equality, dan opportunity.

Jika ditilik dari perkembangannya, liberalisme secara umum memiliki dua aliran utama. Yang pertama adalah Early Liberalism yang kemudian menjadi liberal ekonomi yang menekankan pada kebebasan dalam usaha individu, dalam hak memiliki kekayaan, dalam kebijakan ekonomi, dan kebebasan melakukan kontrak serta menentang sistem welfare state. Dan kedua adalah Liberal Sosial. Aliran ini menekankan peran negara yang lebih besar untuk membela hak-hak individu, seringkali dalam bentuk hukum anti- diskriminasi. Selain kedua tren liberalisme tadi yang menekankan pada hak-hak ekonomi, politik, dan sosial terdapat liberalisme dalam bidang pemikiran termasuk pemikiran keagamaan. Liberal dalam konteks kebebasan intelektual berarti independen secara intelektual, berpikiran luas, terus terang, dan terbuka.

Perkembangan liberalisme pemikiran keagamaan ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase perkembangan. Fase pertama, dari abad ke 17 yang dimotori oleh filosof Perancis Rene Descartes yang mempromosikan doktrin rasionalisme atau Enlightenment yang berakhir pada pertengahan abad ke 18. Fase kedua, bermula pada akhir abad ke 18 dengan doktrin Romantisisme yang menekankan pada individualisme. Fase terakhir, bermula pada pertengahan abad ke 19 hingga abad ke 20 ditandai dengan semangat modernisme dan postmodernisme yang menekankan pada ide tentang notion of progress.

Nicholas F. Gier, dari University of Idaho, Moscow, Idaho menyimpulkan karakteristik pemikiran tokoh-tokoh liberal Amerika Serikat. Pertama, percaya pada Tuhan, tapi bukan Tuhan dalam kepercayaan Kristen Orthodok. Kedua, memisahkan antara doktrin Kristen dan etika Kristen. Ketiga, tidak percaya pada doktrin Kristen Orthodok. Keempat, menerima secara mutlak pemisahan agama dan negara. Kelima, percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama.

  • Hingga Islam Liberal

Anthony Chase dalam sebuah artikel berjudul Liberal Islam and 'Islam and Human Right': A Sceptic's View (Religion and Human Right I : p. 145-163) mengomentari tokoh liberal Abdullahi An-Naim bahwa "He works specifically within a human right framework, attempting to reconcile it to Islam". Charles McDaniel, dalam artikelnya berjudul Islam and Global Society: a Religious Approach to Modernity, (Brigham Young University Law Review, vol. 536, 2003, 507), menyatakan bahwa perbedaan kultural antara Islam dan Barat terlalu besar untuk dijembatani by the simple expansion of material affluence and the export of liberal conception of human rights.

Kajian terhadap wacana para tokoh liberal menunjukkan, pertama, bahwa metodologi, framework, konsep, dan teori yang mereka gunakan itu terbukti bertentangan secara diametris dengan apa yang telah ada dalam tradisi intelektual Islam. Kedua, kajian lebih lanjut menunjukkan adanya korelasi antara tren pemikiran liberal para tokoh cendekiawan Muslim dengan tren pemikiran di Barat untuk mewujudkan civil society.

Diantara tokoh-tokoh liberal di dunia Islam yang menjadi rujukan kalangan akademis adalah di Indonesia misalnya Nasr Hamid Abu Zayd (Studi al-Qur'an), Muhammad Syahrur (Hukum Islam), Muhammad Arkoun (Studi Qur'an) dan Syed Hossein Nasr (Pluralisme), Aminah Wadud, Asghar Ali, Fatimah Mernisi, (Feminis), Abdullahi Ahmad an-Naim (politik), dan sebagainya.

Judson membuat ciri-ciri liberalisme keagamaan menjadi tujuh tapi yang utama ada enam. Pertama, banyak mengingkari firman Tuhan. Kedua, mengakui berbagai kesalahan di zamanya dan juga kebenaran, tapi lebih banyak mengakui kesalahan. Ketiga, mengakui Tuhan hanya sebatas untuk kepentingan kemanusiaan, ketika ajaran Tuhan tidak dapat diterima maka akal manusia dimenangkan. Keempat, tidak ada yang mutlak dan pasti tentang Tuhan. Kelima, mempromosikan keraguan beragama yang tidak berarti. Keenam, mendukung keyakinan keagamaan dan prakteknya yang populer.

Gejala liberalisme di alam pikiran Kristiani abad ke 19 itu sudah nampak jelas kesamaannya dengan liberalisasi pemikiran Islam di dunia Islam saat ini. Pertama, muslim liberal menggugat al-Qur'an. Kedua, muslim liberal membela aliran sesat. Ketiga, muslim liberal mendahulukan akal dan kemanusiaan daripada Tuhan. Keempat, muslim liberal mendukung paham relativisme. Kelima, muslim liberal mempromosikan paham skeptisisme.

Dalam konteks syari'at salah satunya, tafsir-tafsir "baru" itu nampaknya adalah peng"amalan" dari dawuh Cheryl Bernard. Menafsirkan berarti to depart from, modify, and selectively ignore elements of the original religious doctrine. Itulah liberalisasi syariat. "Siapapun bebas menafsirkan hukum apa saja. Siapapun bebas menciptakan syariat. Islam adalah liberal".

  • Dari Liberalisme Hingga Islam Liberal: Sempilan Catatan

Tradisi berpikir liberal dapat diidentifikasi menjadi enam prinsip dasar yang pernah disebutkan oleh Julio Teehankee, seorang pemikir liberal asal Filipina:

  1. Individualisme; Kaum liberal percaya bahwa pribadi atau individu adalah sesuatu yang sangat penting.
  2. Rasionalisme; Kaum liberal percaya bahwa dunia memiliki struktur yang rasional, yang dapat dipahami secara logis.
  3. Kebebasan; Tak ada kata yang lebih penting bagi seorang liberal selain kebebasan.
  4. Tanggungjawab; Kebebasan tanpa tanggungjawab dalah keliaran.
  5. Keadilan; Kaum liberal percaya bahwa keadilan bukan berarti mengorbankan hak seseorang demi membela hak yang lainnya.
  6. Toleransi; Sebuah sikap menerima atau menghormati pandangan atau tindakan orang lain, sekalipun pandangan atau tindakan itu belum tentu disetujuinya.[1]

Francis Fukuyama menegaskan, bahwa "Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nampak lebih lemah menghadapai ide-ide liberal ketimbang sebaliknya, sebab selama seabad setengah yang lalu liberalisme telah memukau banyak pengikut Islam yang kuat." Fukuyama jelas-jelas meletakkan Islam, Liberalisme dan Komunisme sebagai ideologi-ideologi atau pemikiran yang mempunyai doktrin masing-masing dan saling bertentangan satu sama yang lain dan saling mengancam. 

Apa yang disebut ancaman bukan baying-bayang ketakutan yang satu terhadap yang lain, akan tetapi merupakan fakta bahwa liberalisme dan Islam itu sangat berbeda. Perbedaan ini dapat dilacak dari fakta bahwa umat manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan setiap bangsa memiliki peradaban sendiri-sendiri. 

Cara berpikir dan cara pandang antara satu peradaban dengan yang lain juga berbeda-beda. Perbedaan itu lebih berupa perbedaan cara memandang kehidupan atau perbedaan pandangan hidup (worldview). Perbedaan pandangan hidup antara satu bangsa dengan bangsa yang lain dipengaruhi oleh kultur, agama, kepercayaan, ras dan lain-lain.[2]

Dalam catatan Albert Hourani, ada tiga gelombang liberalisasi di dunia Islam. Pertama, fase antara 1830-1870 ketika sekelompok terdidik umat dan para penguasa melihat bahwa industri dan lembaga-lembaga politik Eropa modern bukan sebuah ancaman. Kedua, antara 1870-1900 adalah masa ketika Barat menjadi musuh karena telah menguasai dunia Islam, sekaligus menjadi model. Ketiga, antara 1900-1939 disebut sebagai puncak gerakan liberal di Timur Tengah, khususnya di Mesir. Di Indonesia, gejala yang sama terjadi. 

Meski gerakan pemikiran relatif terbelakang pada masa ketiga gelombang ini, tetapi liberalisasi telah terjadi bersamaan dengan Politik Etis (1901) yang telah berjasa melahirkan kelompok elit bangsa yang terdidik, tetapi pada waktu yang sama dipergunakan untuk menciptakan masyarakat yang ter-Baratkan. Dari situ bisa dipahami, keberhasilan liberalisme Islam berarti keberhasilan westernisasi. Liberalisme meniscayakan orang yang memiliki loyalitas terhadapnya untuk berpikir, berperilaku, dan berkebudayaan sebagai Barat.[3]

Mencermati perkembangan paham liberal di kalangan umat Islam, setidaknya, ada beberapa metode dan pendekatan yang digunakan dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran tersebut. Di antaranya adalah: Pertama, liberalisasi akidah Islam yang dilakukan dengan penyebaran paham pluralisme agama. Kedua, relativisme kebenaran. Ketiga, liberalisasi al-Qur'an. Dan keempat, liberalisasi syariat Islam.[4]

  • Penghujung

Istilah Islam Liberal diproklamirkan pertama kali oleh Charles Khuzman dalam "Liberal Islam: a Source Book", kemudian diikuti Leonard Binder dengan "Islamic Liberalism: a Critique of Development Ideologies". Gerakan Liberalisasi di Indonesia meliputi berbagai bidang dan jalan. Gerakan dalam bentuk LSM, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), International Center for Religious Pluralism (ICRP), Fahmina Institute, dan Freedom Institute. Selain itu, gerakan liberalisasi juga berada di kampus Islam. 

Meskipun bukan resmi proyek kampus, tapi dosen yang berpikiran liberal tersebar hampir di seluruh kampus Islam. Dari buku yang kelompok liberal tulis dan dari kerjasama antar-mereka dalam proyek pluralisme, feminisme dan kesetaraan gender, serta sekularisme dan liberalisme, nama kelompok mereka itu jelas. Di Jakarta khususnya antara lain Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA), KAPAL (Lingkaran Pendidikan Alternatif) Perempuan, International Center for Religious Pluralism (ICIP), dan masih banyak lagi.

Kelompok "Islam Liberal" ini semestinya tidak usah dibubarkan, tapi sebaiknya mereka membubarkan diri. Tapi, selama masih dikucuri dana besar dari negara asing, gerakan mereka tidak akan berhenti. Pertentangan Liberalisme dengan Islam itu mudah dibuktikan secara ilmiah. Tapi masalahnya, mereka merasa yakin bahwa cara berpikir liberal itu dapat menjadikan Islam maju seperti Barat. Kalau kita menuntut mereka untuk dibubarkan, maka mereka akan melapor ke Komnas HAM atau mem-blow up ke dunia international. Padahal, kalau mereka memandang ormas, lembaga, atau kelompok tidak sesuai dengan pandangan mereka, maka mereka akan menuntut agar ormas, lembaga, atau kelompok itu dibubarkan.

Oleh karena itu, cara yang lebih efektif adalah membubarkan pemikiran, konsep, dan framework mereka. Diperlukan kajian ilmiah intensif terhadap kegiatan LSM yang memang benar menyebarkan pemikiran bertentangan dengan Islam. Diperlukan pengkajian secara serius mengenai konsep yang dinilai sesat. Secara akademis, perlu diadakan perubahan dalam pendekatan dan metodologi studi Islam ala orientalis dengan pendekatan dari tradisi intelektual Islam. Di tingkat masyarakat awam, dikembangkan informasi sederhana berkenaan bahaya pemikiran liberal. Selain itu, kita harus yakin bahwa yang makar terhadap agama Allah, maka akan dimakar oleh Allah sendiri.

[1] M. Yunus Abu Bakar. 2012. "Pengaruh Paham Liberalisme dan Neoliberalisme Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia". Jurnal Tsaqafah Vol. 8 No. 1.

[2] Hamid Fahmy Zarkasyi. 2009. "Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis". Jurnal Tsaqafah Vol. 5 No. 1.

[3] Abbas Mansur Tammam. 2016. "Pengaruh Orientalis terhadap Liberalisasi Pemikiran Islam". Jurnal Kalimah Vol. 14 No. 1.

[4] Mujahid Imaduddin. 2017. "Dampak Liberalisasi Pemikiran Islam terhadap Kehidupan Sosial". Jurnal Kalimah Vol. 15 No. 1.

Oleh: Taufik Hidayat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun