Anthony Chase dalam sebuah artikel berjudul Liberal Islam and 'Islam and Human Right': A Sceptic's View (Religion and Human Right I : p. 145-163) mengomentari tokoh liberal Abdullahi An-Naim bahwa "He works specifically within a human right framework, attempting to reconcile it to Islam". Charles McDaniel, dalam artikelnya berjudul Islam and Global Society: a Religious Approach to Modernity, (Brigham Young University Law Review, vol. 536, 2003, 507), menyatakan bahwa perbedaan kultural antara Islam dan Barat terlalu besar untuk dijembatani by the simple expansion of material affluence and the export of liberal conception of human rights.
Kajian terhadap wacana para tokoh liberal menunjukkan, pertama, bahwa metodologi, framework, konsep, dan teori yang mereka gunakan itu terbukti bertentangan secara diametris dengan apa yang telah ada dalam tradisi intelektual Islam. Kedua, kajian lebih lanjut menunjukkan adanya korelasi antara tren pemikiran liberal para tokoh cendekiawan Muslim dengan tren pemikiran di Barat untuk mewujudkan civil society.
Diantara tokoh-tokoh liberal di dunia Islam yang menjadi rujukan kalangan akademis adalah di Indonesia misalnya Nasr Hamid Abu Zayd (Studi al-Qur'an), Muhammad Syahrur (Hukum Islam), Muhammad Arkoun (Studi Qur'an) dan Syed Hossein Nasr (Pluralisme), Aminah Wadud, Asghar Ali, Fatimah Mernisi, (Feminis), Abdullahi Ahmad an-Naim (politik), dan sebagainya.
Judson membuat ciri-ciri liberalisme keagamaan menjadi tujuh tapi yang utama ada enam. Pertama, banyak mengingkari firman Tuhan. Kedua, mengakui berbagai kesalahan di zamanya dan juga kebenaran, tapi lebih banyak mengakui kesalahan. Ketiga, mengakui Tuhan hanya sebatas untuk kepentingan kemanusiaan, ketika ajaran Tuhan tidak dapat diterima maka akal manusia dimenangkan. Keempat, tidak ada yang mutlak dan pasti tentang Tuhan. Kelima, mempromosikan keraguan beragama yang tidak berarti. Keenam, mendukung keyakinan keagamaan dan prakteknya yang populer.
Gejala liberalisme di alam pikiran Kristiani abad ke 19 itu sudah nampak jelas kesamaannya dengan liberalisasi pemikiran Islam di dunia Islam saat ini. Pertama, muslim liberal menggugat al-Qur'an. Kedua, muslim liberal membela aliran sesat. Ketiga, muslim liberal mendahulukan akal dan kemanusiaan daripada Tuhan. Keempat, muslim liberal mendukung paham relativisme. Kelima, muslim liberal mempromosikan paham skeptisisme.
Dalam konteks syari'at salah satunya, tafsir-tafsir "baru" itu nampaknya adalah peng"amalan" dari dawuh Cheryl Bernard. Menafsirkan berarti to depart from, modify, and selectively ignore elements of the original religious doctrine. Itulah liberalisasi syariat. "Siapapun bebas menafsirkan hukum apa saja. Siapapun bebas menciptakan syariat. Islam adalah liberal".
- Dari Liberalisme Hingga Islam Liberal: Sempilan Catatan
Tradisi berpikir liberal dapat diidentifikasi menjadi enam prinsip dasar yang pernah disebutkan oleh Julio Teehankee, seorang pemikir liberal asal Filipina:
- Individualisme; Kaum liberal percaya bahwa pribadi atau individu adalah sesuatu yang sangat penting.
- Rasionalisme; Kaum liberal percaya bahwa dunia memiliki struktur yang rasional, yang dapat dipahami secara logis.
- Kebebasan; Tak ada kata yang lebih penting bagi seorang liberal selain kebebasan.
- Tanggungjawab; Kebebasan tanpa tanggungjawab dalah keliaran.
- Keadilan; Kaum liberal percaya bahwa keadilan bukan berarti mengorbankan hak seseorang demi membela hak yang lainnya.
- Toleransi; Sebuah sikap menerima atau menghormati pandangan atau tindakan orang lain, sekalipun pandangan atau tindakan itu belum tentu disetujuinya.[1]
Francis Fukuyama menegaskan, bahwa "Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nampak lebih lemah menghadapai ide-ide liberal ketimbang sebaliknya, sebab selama seabad setengah yang lalu liberalisme telah memukau banyak pengikut Islam yang kuat." Fukuyama jelas-jelas meletakkan Islam, Liberalisme dan Komunisme sebagai ideologi-ideologi atau pemikiran yang mempunyai doktrin masing-masing dan saling bertentangan satu sama yang lain dan saling mengancam.Â
Apa yang disebut ancaman bukan baying-bayang ketakutan yang satu terhadap yang lain, akan tetapi merupakan fakta bahwa liberalisme dan Islam itu sangat berbeda. Perbedaan ini dapat dilacak dari fakta bahwa umat manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan setiap bangsa memiliki peradaban sendiri-sendiri.Â
Cara berpikir dan cara pandang antara satu peradaban dengan yang lain juga berbeda-beda. Perbedaan itu lebih berupa perbedaan cara memandang kehidupan atau perbedaan pandangan hidup (worldview). Perbedaan pandangan hidup antara satu bangsa dengan bangsa yang lain dipengaruhi oleh kultur, agama, kepercayaan, ras dan lain-lain.[2]
Dalam catatan Albert Hourani, ada tiga gelombang liberalisasi di dunia Islam. Pertama, fase antara 1830-1870 ketika sekelompok terdidik umat dan para penguasa melihat bahwa industri dan lembaga-lembaga politik Eropa modern bukan sebuah ancaman. Kedua, antara 1870-1900 adalah masa ketika Barat menjadi musuh karena telah menguasai dunia Islam, sekaligus menjadi model. Ketiga, antara 1900-1939 disebut sebagai puncak gerakan liberal di Timur Tengah, khususnya di Mesir. Di Indonesia, gejala yang sama terjadi.Â