Mohon tunggu...
Martin Dennise Silaban
Martin Dennise Silaban Mohon Tunggu... Wiraswasta - Community Organizer

A learner. Who's interested by social issues, Theology, Philosophy, and Community Empowerment.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Max Horkheimer: Mengembalikan Rasio untuk Kebaikan Alam Semesta

29 Desember 2023   14:44 Diperbarui: 29 Desember 2023   15:01 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita, yaitu saya dan kamu kini hidup di masa yang menurut kaum cerdik pandai sangat mengagungkan fungsi rasio manusia. Meskipun dalam beberapa kenyataan masih dijumpai hal yang tidak selaras dengan itu, tetapi tetap saja periode kita berbeda dengan masa lampau di zaman abad pertengahan. Pada masa itu,  otoritas agama mengontrol ketat semua ilmu pengetahuan, sehingga yang paling benar adalah yang disebutkan dalam kitab suci agama itu. Selain daripada itu salah.

Banyak para ilmuwan kala itu dikecam, dianggap bidaah, sesat, dan tidak sedikit juga yang menerima hukuman mati karena penelitiannya berlawanan dengan apa yang terdapat di dalam kitab suci. Penemuan-penemuan sains kala itu ditentang habis-habisan karena dianggap sebagai upaya merusak status Quo agama yang dianggap telah mapan dan tidak dapat diganggu gugat.  Pemikiran-pemikiran kritis dibredel dan tidak dibiarkan hidup apalagi berkembang. Masyarakat pada abad pertengahan  mulai menuju suatu masa yang disebut zaman dark ages (Zaman Kegelapan).

Beranjak pada masa kini, manusia sudah dapat hidup dengan bebas. Kebebasan ini  dimulai dari Eropa menyebar ke seluruh dunia termasuk di Indonesia. Pada masa ini, sains diagungkan dan juga pemikiran-pemikiran kritis menjadi hal yang lumrah. Setiap orang didorong untuk dapat berpikir secara mandiri dan hampir segala  hal di dekati dengan pendekatan yang khas saintifik.

Masyarakat Eropa dan dalam beberapa hal kita pun di Indonesia, dianggap telah memasuki zaman pencerahan. Masa ini diawali dari tokoh Filsafat yang terkenal seperti Rene Descartes yang populer karena ucapannya je pense donc je suis atau cogito ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada). Pada masa ini, mulailah rasio atau pikiran manusia kembali mendapatkan tempatnya.

Jika sebelumnya di Abad pertengahan, tiap-tiap orang hidup seperti robot, yang harus menerima doktrin dari agama tanpa bisa mempertanyakannya kembali, Rene Descartes menjadi tokoh yang mengawali perubahan dan  menggiatkan serta mengembalikan fungsi rasio sebagaimana mestinya. Setelahnya, barulah muncul tokoh-tokoh lain yang turut mempelopori dan mempercepat kelahiran zaman modern yaitu Baruch de Spinoza, Thomas Hobbes (yang terkenal dengan teori Negara Leviathan nya), John Locke (Filsuf yang memisahkan hubungan Negara dan Agama), George Berkeley, David hume (Skeptikus sejati), Imanuel Kant dan banyak tokoh lainnya. Semua tokoh tersebut ikut ambil bagian dalam percepatan kelahiran zaman pencerahan yang ditandai dengan pemanfaatan rasio manusia secara maksimal.

Tetapi, ada pula tokoh yang menentang dan tidak sepakat bahwa zaman yang kita hidupi kini telah tercerahkan. Alih-alih tercerahkan, malahan menurutnya apa yang disebut sebagai pencerahan itu kini dianggap menghasilkan kegelapan yang tanpa tanding dalam sejarah umat manusia. Ia adalah Max Horkheimer. Dia mencetuskan Teori kritis yang terkenal juga dengan karyanya yaitu Eclipse Of Reason. Pada karyanya ini ia menelanjangi rasio (nalar) yang dibanggakan oleh para filsuf.

Dalam kata pengantar tulisannya ini, ia berkata bahwa dalam modernitas yang kelahirannya disokong oleh pemikiran para filsuf, tertanam sebuah dialektika jahat. Manusia mau maju, tetapi kemajuan sendiri menjadi sebuah proses de-humanisasi. Manusia mau maju dengan mengembangkan sarana-sarana teknis penguasaan alam.

Rasionalitas yang mendorong zaman pencerahan semata-mata dipahami hanya sebagai sarana kalkulasi penguasaan dunia, sehingga dunia dipandang hanya sebagai objek yang dapat diekploitasi sesuai dengan kebutuhan manusia. Tidak adalagi yang objektif pada dirinya sendiri, semuanya sudah subyektif yang nilainya ditentukan oleh manusia. Misalnya Alam, keberhargaan alam ditentukan pada seberapa bergunanya pada manusia.

Alam pada dirinya sendiri tidak lagi bermakna, tidak mempunyai tujuan dan nilai objektif. Makna dan nilai dipasang oleh manusia. Oleh karena itu, Horkheimer menilai bahwa zaman pencerahan terkesan memandang penguasaan alam sebagai sarana utama rasionalisasi kehidupan manusia dan juga sebagai sarana menguasai alam demi pemenuhan keuntungan/ profit pada manusia.

Penguasaan atas alam inilah yang akhirnya menghasilkan hubungan yang tidak baik antara manusia dengan alam. Alam dipaksa memenuhi keserakan manusia yang tiada hentinya dari masa-ke masa. Selain itu, Horkheimer pun berpendapat bahwa penguasaan atas alam inilah cikal bakal akhirnya manusia mulai mencakup penguasaan atas sesamanya manusia. Istilah yang diberikan oleh Thomas Hobbes pun menggambarkan hal ini. Homo Homini Lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun