Mohon tunggu...
Martin Dennise Silaban
Martin Dennise Silaban Mohon Tunggu... Wiraswasta - Community Organizer

A learner. Who's interested by social issues, Theology, Philosophy, and Community Empowerment.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa kita (Selalu) Gagal Me-reformasi Kooperasi di Indonesia?

26 Desember 2023   14:46 Diperbarui: 26 Desember 2023   16:06 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(https://www.un.org/development/desa/cooperatives/pcontent/uploads/sites/25/2019/06/IDCLOGO.png)

Beberapa saat lalu, debat Calon wakil presiden (Cawapres) kita disibukkan dengan istilah -istilah yang pada akhirnya hanya menyisakan pro-kontra dari pada fokus pada tema yang dibahas. Padahal, tema pada debat tersebut sangat penting untuk dibicarakan yaitu  tentang Demokrasi Ekonomi yang seringkali dikaitkan dengan Ekonomi Kerakyatan. Salah satu institusi yang seringkali dihubungkan dengan ekonomi kerakyatan adalah kooperasi. Namun, sayangnya, kita lebih cenderung membahasakan tema-tema ekonomi dengan bahasa langit daripada mencoba mencari cara, tentang masa depan bagi kooperasi di Indonesia. Mengapa harus kooperasi? Sejak penyusunan sistem ekonomi Indonesia, Para founding of nations bangsa kita sudah membayangkan bentuk perekonomian yang saling bekerjasama (cooperative) dan bertujuan untuk pemerataan ekonomi. Salah satunya melalui kooperasi. Di berbagai Negara, penerapan tersebut berhasil dan membawa dampak signifikan bagi kemajuan ekonomi nya. Namun bagaimana dengan di Indonesia? Faktor apa yang terluput dari pembahasan sehingga membuat praktik perkooperasian kita sepertinya stagnan? 

Pada tahun 2021 lalu, Kementerian Koperasi dan UMKM mengeluarkan kebijakan tentang model kooperasi yang sebenarnya tidak baru, namun dalam konteks di Indonesia masih belum familiar yaitu koperasi multi pihak (KMP). Terobosan ini dianggap sebagian pihak sebagai salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam memodernisasi kooperasi konvensional menjadi berwujud kooperasi multipihak. Koperasi diharapkan akan menjadi anchor institution yang akan menyatukan berbagai stakeholder usaha dalam satu badan usaha koperasi. Unit usahanya bisa mencakup hulu ke hilir.

Namun, apakah hal tersebut akan mampu mengatasi sekelumit problematika yang dihadapi koperasi kita? Benarkah modernisasi kooperasi adalah jalan untuk memperbaiki kondisi perkooperasian kita? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita belajar dari  2 Negara yang berhasil mengembangkannya yaitu Jepang dan Korea. Mengapa harus ke dua negara ini? Menurut International Co-Operative Alliance (ICA), koperasi di negara ini  mengalami perkembangan paling pesat dan juga tergolong yang terbesar di Dunia. Lantas apa faktor pendukungnya? 

Dalam mencermati apa yang terjadi di ke dua negara ini, saya akan memfokuskan pada faktor di luar koperasi itu yang sangat berpengaruh dalam tumbuh dan kembangnya koperasi.

Dalam praktik per koperasian yang dijalankan di Jepang maupun Korea, perkembangannya ditopang oleh faktor di luar koperasi tersebut. Perwujudan ekonomi kerakyatan yang terwujud melalui koperasi ditopang oleh kondisi demokrasi politik di negara tersebut. Kondisi demokrasi politik yang berjalan dengan yang baik dan sehat itulah yang menjadi pendorong hadirnya demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan yang baik pula. Demokrasi ekonomi hanya dapat tumbuh subur dari kondisi dimana demokrasi politik dari negara tersebut sehat. Lantas bagaimana situasi demokrasi politik di Negara kita?  Apakah situasinya sehat?

Faktor ke dua yang mendorong perkembangan kooperasi di Jepang dan Korea ditopang oleh proses demokrasi yang terjadi pada semua Lembaga maupun institusi masyarakatnya.  Tanpa iklim demokrasi di semua tingkatan tersebut, praktik demokrasi ekonomi tidak akan mampu benar-benar terwujud seperti yang kita lihat pada regresnya perkembangan koperasi di Indonesia. Kooperasi tampak sulit berkembang karena tidak disertai dengan perwujudan demokrasi di semua level masyarakat. Hubungan patron-client, klientalisme masih mewarnai semua lini kehidupan masyarakat.

Selanjutnya, demokrasi ekonomi yang mendorong persaingan terbuka antar pelaku ekonomi seyogyanya harus didasarkan pada persaingan yang adil. Untuk menjamin hal ini, maka instrumen hukum lah yang harus dikuatkan. Hal ini yang harus didorong dan diperkuat melalui sistem hukum yang kuat. Tanpanya, tidak mungkin terwujud suatu model demokrasi ekonomi yang baik.

Demokrasi ekonomi selalu ditopang oleh sistem hukum yang kuat. Hal ini yang kita lihat dari perwujudan system hukum di Negara Jepang maupun Korea Selatan. Kuatnya instrumen penegakan hukum di kedua negara berdampak besar bagi kemajuan demokrasi ekonominya. Koperasi dapat tumbuh subur tanpa harus khawatir adanya monopoli atau oligopoli dalam proses yang terjadi di pasar. Berbeda dengan di Indonesia, lemahnya penegakan hukum membuat pasar dikuasai segelintir orang yang akhirnya memonopoli pasar dan menghambat koperasi.

Faktor ke-empat, jika kita mempelajari apa yang terjadi di Jepang maupun Korea, kita melihat bahwa pemerintah memberikan kepercayaan pada rakyatnya dalam pengembangan koperasi. Hal ini pulalah yang menjadi poin penting dari perwujudan demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi juga membutuhkan kepercayaan akan kemampuan warga dalam mengembangkan potensi ekonomi untuk mencapai harkat/dignity nya.

Tanpanya, warga negara akan dianggap tidak mampu dan akhirnya perekonomian diserahkan pada mereka yang dianggap kompeten dan menyebabkan terjadinya privilege economy. Keadaan ini lah yang membawa pada konsentrasi atau akumulasi kekayaan pada segelintir orang yang dianggap paling mengetahui persoalan ekonomi. 

Oleh karena itu, tidak cukup membicarakan masalah kooperasi dengan persoalan modernisasi. Jika kita berkaca pada apa yang terjadi di Jepang maupun Korea, faktor di luar kooperasi sangat berperan dalam tumbuh dan majunya sektor perkooperasiaan.  Masa depan koperasi hanya bisa berkembang jika disertai dengan perwujudan demokrasi di semua lembaga masyarakat, penciptaan iklim demokrasi politik yang sehat, supremasi dan penegakan hukum yang kuat, serta pemberian kepercayaan oleh negara pada Masyarakat untuk dapat mengatur, dan mengaplikasikan kreativitasnya dalam pengembangan ekonomi berbasis kearifan lokal di wilayahnya. Tanpa penyediaan iklim tersebut, kooperasi yang dirintis di Indonesia akan selalu stagnan dan tidak mengalami perkembangan yang berarti.

Referensi

Hotman M Siahaan dan Tjahjo Purnomo W (eds).(1993) Sosok demokrasi ekonomi Indonesia: Empat puluh tahun Surabaya Post. Yayasan Keluarga Bhakti Surabaya

Kwik Kian Gie. (1994) Analisis Ekonomi Politik Indonesia, Gramedia Utama

Firdaus Putra. (2021) Koperasi Multi Pihak sebagai Terobosan baru di Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun