Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penegak Hukum Harus Tanggung Jawab pada Kejahatan Kolektif

28 Agustus 2023   15:08 Diperbarui: 28 Agustus 2023   15:16 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih segar di ingatan kita soal kasus 7 pemotor ditabrak sebuah truk lantaran melawan arah. Sebuah kejadian sepele yang menggambarkan bagaimana sebagian masyarakat begitu berani menantang (penegak) hukum. Tak heran, kejahatan kolektif terutama korupsi masih mengakar kuat.

Sebanyak 7 pengendara motor melawan arah tertabrak truk yang bermuatan batu bata. Kasusnya sendiri terjadi di Jalan Raya Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Selasa, 22 Agustus 2023. Kasus ini, jika hanya dilihat dalam konteks motor melawan arah maka tidak heran jika penegak hukum menariknya pada tindakan pemetaan. Hasilnya, di wilayah Jaksel ada 31 titik rawan pelanggaran melawan arah lalu lintas.  

"Dari pemetaan daerah rawan melawan arus di wilayah Jakarta Selatan, ada 31 titik yang menjadi atensi dari anggota di lapangan," kata Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Pol Ade Ary Syam di Jakarta, 27 Agustus 2023. 

Menurut keterangan saksi bernama Marodi, di Jalan Raya Lenteng Agung sering terjadi kecelakaan lalu lintas imbas kendaraan melawan arah. "Kecelakaan sering. Ini yang tukang lawan arah nih. Kalau enggak lawan arah enggak mau (lewat)," kata dia.

Perilaku lainnya yang dipicu oleh pengendara motor adalah merampas hak pejalan kaki dengan berkendara di trotoar. Ada banyak kasus yang tersebar di banyak tempat. Sebut saja di trotoar kawasan Jatiwaringin, Jakarta Timur. Anggota Koalisi Pejalan Kaki, Alif Supadi (38) mengaku sering menegur pengendara sepeda motor nakal.

Hasilnya nihil. Terlebih tidak ada penegakan hukum yang dilakukan. Tak heran kejadian seperti ini dianggap lumrah. Seorang petugas keamanan Universitas Bung Karno, Muhammad Fauzi (40), mengaku sudah biasa melihat pertengkaran antara pejalan kaki di trotoar Metropole, Jakarta Pusat, dengan pesepeda motor yang mengangkangi trotoar.  

"Sering terjadi adu mulut antara pejalan kaki dengan pengendara motor di sini, terjadi pernah ya kita lerai karena memang salah pengendara motor kan," kata Muhammad Fauzi saat ditemui di lokasi, Jl Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, Selasa, 24 Mei 2022.

Pengalaman saya menunjukkan hal serupa. Dalam beberapa kesempatan menggunakan jasa ojek online, hanya sedikit pengendara saja yang taat aturan di jalan. Hampir semua pengendara ojek online melawan arah, dan tidak pernah sendirian.

Lawan Arah Dan Korupsi

Ada tiga hal yang menarik saat melihat kasus di Lenteng Agung ini, yakni motor melawan arah, kejahatan kolektif, dan korupsi. Kenapa sampai pada korupsi? Entah mengapa, saat membaca kasus Lenteng Agung ingatan saya terlempar lebih dari 10 tahun lalu.

Saat itu, saya mendapat cerita dari bos saya. Pada satu saat, bos saya diminta oleh petugas KPK untuk menyamar di sebuah kementerian. Bos saya punya beberapa klien dari plat merah. Sedangkan KPK sedang melakukan penyelidikan di kementerian tersebut.

Bos saya datang ke kantor kementerian bersama dengan petugas KPK. Bos berusaha normal saat membahas proyek. Sampai satu momen, oknum PNS yang menjadi lawan bicara terang-terangan meminta jatah.

"Memang tidak takut?" kata bos saya.

Dengan santai dan tanpa beban, oknum PNS itu dengan lantang menjawab, "Saya tidak takut sama KPK. Kalau mau satu gedung XX (menyebut nama gedungnya) ini semuanya ditahan KPK."

Alhasil, penyamaran tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Entah kebetulan atau tidak, kasus korupsi di institusi tersebut walau santer terdengar tetapi nyaris tidak ada yang terungkap.  

Saya melihat, kasus motor yang melawan arah sebagai sebuah kejahatan kolektif. Sebuah kejahatan yang dilakukan bersama-sama. Saat ada korban, baru hal ini menjadi perhatian penegakan hukum. Banyak orang lupa, mengapa mereka berani melawan hukum? Salah satu faktornya adalah penegakan hukum yang lemah.

Makin lemah penegakan hukum, tingkat kejahatan makin berkembang. Maka tidak heran, jika kasus korupsi yang sejatinya tidak pernah dilakukan sendirian, juga tidak pernah hilang sampai saat ini. Para pelakunya berani karena dilakukan bersama dan yakin bahwa mereka tidak disentuh hukum. Paling tidak menjaga supaya tindakan mereka tidak viral.

Tegakkan Hukum

Sren Aabye Kierkegaard (1813-1855), filsuf dan teolog asal Denmark, mengatakan kejahatan bersama merenggut tanggung jawab pribadi, kesadaran untuk bertanggung jawab berkurang. Jika salah satu pengendara motor ditanya mengapa melawan arah, salah satu jawabannya adalah "ikut yang lain."

Mereka ini tidak hanya terlihat sebagai kelompok individu secara fisik. Tanpa disadari ada mereka diikat oleh ikatan sosial yang berinteraksi karena adanya perhatian yang sama. Secara psikologis orang yang berada dalam kerumunan orang banyak gampang meniru tindakan orang lain. Kondisi seperti inilah yang mengakibatkan anggota kerumunan lepas kendali, sehingga memungkinkan mereka berani melawan hukum.

Charles-Marie Gustave Le Bon (1841-1931) yang mendalami psikologi kerumunan mengatakan ciri dari gerakan kolektif memiliki efek penularan (contagion) yang sangat cepat. Seolah-olah para anggota yang melakukan gerakan tersebut dihipnotis (suggestability). Para anggota yang ada di dalamnya seakan-akan hilang identitas dirinya, yang muncul adalah identitas kelompok (anonymity).

Para anggota yang terlibat dalam tindakan kolektif punya kesadaran baru sebagai sebuah kelompok sehingga menimbulkan keberanian dan solidaritas. Masing-masing anggota sulit mengambil kontrol terhadap dirinya sendiri.

Apa yang dikatakan Kierkegaard dan Gustave Le Bon menegaskan sisi lain dari kasus motor melawan arah. Sekelompok pengendara motor secara kolektif berani melakukan kejahatan karena tidak lagi bergerak sebagai individu tetapi sebuah kelompok. Mereka masing-masing tidak punya lagi kontrol pada diri sendiri, mengikis tanggung jawab pribadi, kesadaran moral yang rabun, dan menggantungkan diri pada kelompok. Hal serupa juga dijumpai oleh oknum PNS yang lantang melawan hukum karena di belakangnya ada ratusan orang yang "mendukung sikapnya." Integritas sebagai abdi negara makin tak bersisa saat penegak hukum pun kehilangan taringnya.

Dalam satu kesempatan seminar, Dekan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Siti Nurbaiti, mengakui bahwa masyarakat kita masih banyak yang belum melek pada kesadaran hukum sehingga punya kecenderungan tinggi melanggar hukum dengan sengaja. "Dan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum," kata Nurbaiti dalam Seminar Nasional dan Call For Papers "Pembangunan Hukum dan Budaya Hukum untuk Indonesia Sejahtera," Senin, 20 Desember 2021.

Di kesempatan terpisah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menegaskan bahwa penegakan hukum merupakan faktor penting dalam kehidupan hukum di Indonesia. Penegakan hukum yang lemah bisa berimbas ke mana-mana, salah satu yang krusial adalah menghambat pertumbuhan ekonomi.

"Tanpa penegakan hukum yang kuat, hukum tidak akan dipersepsikan sebagai ada oleh masyarakat. Akibatnya hukum tidak dapat menjalankan fungsi yang diharapkan," tegasnya saat menyampaikan Pidato Ilmiah dalam rangka Dies Natalies Ke-56 Universitas Indonesia, 4 Februari 2006.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun