Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Akhirnya Saya Kena Covid-19 (Juga)

1 Agustus 2021   13:50 Diperbarui: 2 Agustus 2021   06:39 3212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebih dari setahun kita menjalani hidup bersama Covid-19 di Indonesia. Selama itu pula saya berusaha patuh pada protokol Kesehatan. Apa daya, tepat 496 hari sejak Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia, saya dinyatakan positif!

Kok bisa? Pergi ke mana saja? Apa yang kamu rasakan? Bagaimana keadaanmu? Pertanyaan umum yang pasti terlontar kepada saya. Maka sejak hasil swab saya positif, saya putuskan hanya memberi tahu kepada beberapa orang yang sangat berkepentingan secara langsung.

Inilah Awal Mulanya

Gejala awal yang saya rasakan adalah tenggorokan seperti ada yang nyangkut. Hari bersejarah itu, Sabtu, 3 Juli 2021. Saat sedang berada di Bogor. Biasanya, Sari dan saya di Bogor pada weekend. Saya pikir itu karena minum es kopi hasil celamitan scrolling handphone. Jadi saya tidak menaruh curiga apa-apa. Mungkin hanya radang biasa.

Toh, saya terbilang sering mengalaminya. Sebagian besar di antaranya tidak disertai batuk. Hanya rasa ada yang ngganjel lalu buang riak. Begitu seterusnya. Namun kali ini memang tidak seperti biasanya. Tapi saya biarkan saja, karena tidak terlalu mengganggu.

Minggu sore pulang ke Jakarta. Kondisi masih sama. Keesokan harinya, badan terasa semriwing. Gimana ya jelasinnya. Rasa-rasa mau demam, tetapi gak demam. Ketika saya cek suhu, normal. Beberapa kali periksa ada di angka 36,3 -- 36,4 derajat celcius.

Gejalanya tidak lama. 1 jam setelah minum Sumagesic, badan sudah enak lagi. Untuk jaga-jaga, apalagi sesekali saya batuk, maka saya putuskan untuk memakai masker dan jaga jarak. Di rumah, selain ada kami berdua juga ada ibu mertua, kakak ipar, dan temannya kakak.

Hari Selasa, 6 Juli 2021, kembali saya merasakan semriwing dan sedikit sakit kepala. Saat cek suhu, juga normal seperti hari sebelumnya. Dan Sumagesic jugalah yang membuat saya tenang.

Keesokan harinya sampai lusa, saya merasakan kaki saya linu. Kaki bagian belakang, mulai dari paha sampai betis tidak bisa diluruskan. Dua malam saya tidak bisa tidur nyenyak. Tiap kali meluruskan kaki, rasanya ngilu dan sakit. Mau gerak ke mana saja, terasa tidak enak.

Kamis sore saya coba minum obat otot Ibu. Kebetulan ibu punya beberapa obat dan vitamin untuk menjaga kondisi lututnya yang sempat bermasalah. Ajaib!!! Hanya 2 jam setelah minum obat, kaki saya berasa enakan. Malamnya pun saya sudah bisa tidur nyenyak.
Jumat saya sudah lepas masker. Badan sudah merasa jauh lebih baik. Hanya tenggorokan yang masih menjadi PR dengan sedikit batuk. Rutinitas pun kembali berlangsung. Sorenya berangkat ke Bogor.

Selama di Kota Hujan, tubuh tidak menunjukkan gejala aneh. Malam minggu di Bogor, seperti malam-malam biasanya. Nyantai di sofa rumah saja. Karena tenggorokan gak enak, Sari, isteri saya, suka iseng mengolesi leher dan hidung saya dengan minyak kayu putih.

Saya sering mengelak jika diolesi minyak kayu putih, karena baunya yang menyengat. Tetapi, Sari sangat suka aroma eucalyptus itu. Keanehan terjadi saat saya tidak bisa menyium minyak kayu putih, "Eh, kok ini saya tidak bisa mencium baunya?!?!?!?!"

Kontan, Sari beranjak dari duduknya. Masuk ke kamar dan kembali lagi. Ada yang berbeda dari penampilannya. Ya, kali ini dia sudah memakai masker. Dalam hati, "Kurang aja juga nih. Tapi ya udah gak efek kali kalau makenya sekarang, hihihi."

Setelah tahu saya anosmia, suasana masih enjoy. Bedanya, malam itu kami tidur pisah ranjang dan pisah kamar, hahaha. Sekali lagi, ya udah gak efek. Eh sebentar, apa itu anosmia? Biar gak sok teu, saya kutipkan nih dari Halodoc.

Anosmia adalah kondisi di mana seseorang tidak dapat menghirup atau mencium bau apapun. Keadaan ini dapat bersifat sementara atau permanen di mana penyebabnya bisa karena didapat ataupun bawaan lahir. Indra penciuman yang terganggu dapat memengaruhi kualitas hidup seseorang terutama saat merasakan makanan.

Jelas gak? Jelas gak jelas, lanjut aja deh ya. Sebelum tidur, saya langsung booking untuk antigen swab test di Bumame Bogor. Hanya untuk saya sendiri, karena Sari masih PD tidak tertular.

Sarapan kami yang selalu ada telor rebus, susu putih atau cokelat, dan roti. Hidangan pertama di saat isoman adalah membuat bakso
Sarapan kami yang selalu ada telor rebus, susu putih atau cokelat, dan roti. Hidangan pertama di saat isoman adalah membuat bakso

Isoman Secara Resmi Dimulai

Minggu pagi cus untuk tes. Setelah antri sejam lebih melalui drive thru. Katanya 30 menit hasilnya akan dikirim melalui WA. Menjelang sampai rumah, HP saya bunyi. Mak dek! Apa ya hasilnya? Hati kecil saya masih berbisik lirih, semoga negatif.

Belum juga keluar mobil, "Sari, positif, nih!"

"Terus??" tanya Sari.

"Ya kamu harus tes juga," kata saya.

Setelah jeda sebentar, kami kembali ke Bumame Bogor. Seperti dugaan semula, Sari juga positif. (Ya eyalahhh, hahaha).

Lalu kami masuk ke rumah untuk koordinasi. Hasilnya, pertama, kami memutuskan untuk tidak memberitahu keluarga saya. Kedua, koordinasi dengan keluarga di Jakarta. Ketiga, mempersiapkan skenario isoman. Semua dilakukan dengan tenang dan happy.

Dari keluarga saya, yang dikabari hanya sepupu di Bogor. Keluarga Mbak Titin. Tujuannya adalah keluarga terdekat, termasuk dari jarak rumah. Prinsip yang saya pakai adalah "Jogo Dulur, Jogo Tonggo." Kalau ada apa-apa saya percayakan kepada keluarga ini.

Saya tidak beritahu keluarga lain, termasuk orang tua di Palembang dengan tiga pertimbangan utama.

Pertama, kondisi kami baik. Yang dirasakan gejala ringan. Kedua, bayangan yang terlanjur terpatri bahwa Covid-19 seram dan mematikan. Jadi, takut membuat orang tua kepikiran. Ketiga, jika satu -- dua keluarga tahu, maka kemungkinan besar akan menyebar. Ada kemungkinan akan ada pertanyaan yang masuk melalui media sosial. Bukannya keberatan, tetapi saya mempersiapkan skenario terburuk kalau nantinya sakit kami menjadi parah. Sehingga kami gak bisa merespons perhatian yang datang.

Kami lalu memberitahu berita ini ke Keluarga Kramat dan Keluarga Kelapa Gading. Pikiran utama kami tertuju kepada ibu yang sudah 82 tahun. Maka kami minta Keluarga Kelapa Gading untuk membawa ibu tes juga. Labnya sama, Bumame Sunter, Jakarta. Lalu ponakan juga tes, karena di hari Jumat saya satu mobil dengan dia. Tapi kami berdua pakai masker double. Hasil keduanya, Puji Tuhan, negatif.

Satu persoalan selesai. Berikutnya mempersiapkan isoman. Kami putuskan untuk isolasi mandiri di Bogor. Namun, kami harus pulang ke Kramat untuk mengambil barang. Juga ke Kelapa Gading untuk mengambil alat kerja dan logistik untuk 1-2 hari ke depan.
Kami pamit dengan Ibu untuk kembali ke Bogor. Kami saling melambai tangan. Tampak wajah ibu dari balik pintu kaca sedikit khawatir, tetapi penuh keyakinan. Doanya pasti menyertai kami.

Tercatat, hari Minggu, 11 Juli 2021 secara resmi kami mulai isoman. Kami juga lapor ke Ketua RT dengan melampirkan hasil tes.

Sampai sore kami masih menertawakan keadaan. Apalagi memang saya beberapa kali membayangkan kalau suatu saat kena Covid-19, akan isoman di Bogor. "Kamu sih! Gara-gara kamu nih bayang-bayangin yang enggak-enggak, sekarang beneran kejadian!" canda Sari.

Malam menjelang. Kompleks perumahan masih seperti biasanya. Sepi. Anak-anak yang biasanya bermain di depan rumah berangsur pulang. "Hayo pulanggg, udah magrib," terdengar teriakan ibu mereka dari rumah masing-masing.

"Wan, kok badan berasa ngilu ya," mendadak Sari memecah keheningan.

Tidak lama kemudian, berturut-turut dia mengeluhkan tenggorokan yang tercekat, hidung mampet, kepala sangat sakit. "Panas ini, coba periksa pakai thermometer," ketika saya pegang dahinya.

Suhu tertinggi tercatat 38 derajat calcius. Setelah makan malam, dia minum Sumagesic, obat China, dan vitamin. Kondisi belum membaik. Sampai dua jam berjalan.

Saya coba konsultasi Halodoc. Apa daya, semua dokter sedang sibuk. Lalu saya hubungi Mbak Titin untuk bertanya apa ada dokter yang bisa ditanyai. Intinya dalam kondisi seperti ini, yang dibutuhkan adalah langkah apa yang sebaiknya dilakukan.

Sembari nunggu dokter Halodoc, saya mendapat banyak masukan dari kenalan dokter Mbak Titin. Masukan tersebut juga senada dengan dokter Halodoc, termasuk beberapa obat yang direkomendasikan.

Setelah Sari selesai konsultasi, giliran saya mencari dokter di Halodoc. Keluhan utama saya masih di seputar tenggorokan. Ada beberapa hal penting yang saya catat setelah konsultasi. Pertama, obat dan vitamin yang diresepkan ada kemungkinan sedang sulit dicari. Baik untuk Sari maupun saya.

Kedua, kalau sudah positif melalui antigen, apakah masih harus PCR? Atau, kapan sebaiknya kami melakukan PCR? Dokter bilang, kalau sudah positif denga antigen, maka tidak perlu lagi PCR. Buat apa? Lalu yang kedua, sebaiknya PCR nanti saya setelah 2 minggu isoman.

Ketiga, dari semua obat dan vitamin yang kami konsumsi, dokter melarang melanjutkan minum Imboost. "Karena bisa meningkatkan risiko badai sitokin," begitu katanya.

Keempat, kami direkomendasikan untuk rontgen. Walau tampaknya batuk kering, jangan sampai ada tumpukan dahak di paru-paru. Hanya untuk antisipasi, jika ada sesuatu di jeroan kami.

Setelah konsultasi kami mendapatkan resep. Benar yang dikatakan dokter, obat dan vitamin kami tidak ada. Kemungkinan besar juga karena sudah malam. Tidak banyak apotek yang buka, apalagi di tengah pandemi.

Malam itu, Sari sulit tidur. Tergganggu oleh sakit kepala, badan ngilu di sekujur tubuh, dan hidung mampet. Kondisi seperti ini berlangsung sampai Selasa sore. Obat yang diminum hanya Sumagesic dan vitamin.

Obat dan vitamin secara simultan dicari di apotek langganan, Tokopedia, dan Kakak. Sebagian besar di antaranya terpenuhi di Selasa sore. Puji Tuhan, sejak saat itu kondisi Sari semakin membaik dan terus stabil.

Saya tidak akan menuliskan obat apa saja yang kami minum. Apalagi antibiotik. Saya meyakini, obat hanya direkomendasikan oleh dokter yang memeriksa kita. Penyakit dan gejala boleh sama, tetapi badan dan kondisi masing-masing pribadi berbeda-beda.

Kalau vitamin tidak masalah. Yang kami minum adalah Vitamin B, Vitamin C, Vitamin D3 5000iu, Vitamin E, dan Multivitamin + Zinc. Hanya diminum satu kali sehari. Kami juga minum empon-empon sekali sehari.

Selain Tim Satgas Keluarga, kami juga diperhatikan oleh Pemkot, RT, dan warga kompleks dengan memberikan susu, makanan, dan vitamin.
Selain Tim Satgas Keluarga, kami juga diperhatikan oleh Pemkot, RT, dan warga kompleks dengan memberikan susu, makanan, dan vitamin.

Susu, Makanan, dan Vitamin Gratis

Walau badan stabil, terutama Sari, tetapi rutinitas isoman tidak bisa membuat kami bisa full bekerja. Saya coba sharing sedikit terkait kebiasaan selama isoman. Sebagian besar sudah terbiasa dijalani sehari-hari.

Bangun pagi, jam 6. Nah ini termasuk kebiasaan baru, hehehe..

Tujuan pertama setelah kaki menjejak lantai adalah minum air putih. Paling sedikit saya minum 700ml sekali minum. Biar lebih segar, botol air saya embunkan di pelataran rumah. Untuk 1 hari kira-kira menghabiskan 3 liter air putih.

Setelah itu urusan kamar mandi, kecuali mandi. Satu kegiatan baru selama Isoman adalah cuci hidung dan kumur menggunakan cairan infus NaCL atau air garam.

Kegiatan dilanjutkan dengan meditasi pernapasan. Tarik napas panjang -- tahan -- buang pelan-pelan -- tahan -- tarik napas panjang -- tahan -- dst. Saya lakukan di teras rumah dengan posisi duduk bersila. Aliran napas diikuti dengan doa pendek, seperti sedang berdzikir. Tiap pagi selama 20-30 menit untuk mengisi paru-paru dengan udara bersih.

Kegiatan selanjutnya adalah menyiapkan sarapan. Biasanya juga sarapan berat sih, tapi kali ini yang dimakan harus mengandung protein tinggi. Ini berlaku juga untuk makan siang dan malam.

Sarapan menunya adalah telor rebus satu. Matang. Direbus dengan suhu rendah. Susu 250ml. Susu ya, bukan SKM. Dan bukan susu beruang, tapi susu sapi. Karbohidrat didapat dari roti.

Setelah jeda 1 jam, saatnya minum obat. Dilanjutkan dengan agenda berjemur. Nah, soal jemur2an ini memang bikin puyeng. Dari berbagai sumber yang dapat dipercaya saja, ada begitu banyak versi. Bahkan tidak jarang saling bertentangan.

Akhirnya, kami ambil kesimpulan untuk dipraktikkan. Waktu berjemur jam 9 -- 13.00. Jika berjemur dilakukan jam 9 -- 11 maka lamanya berjemur 20 menit di bagian punggung dan 10 menit bagian dada. Jika berjemur jam 11 -- 13 maka lamanya 10 menit bagian punggung dan 5 menit bagian dada.

Bagian belakang tubuh lebih lama karena ada banyak syaraf penting di punggung. Hal inilah yang menjelaskan mengapa pijat sehat itu selalu di bagian punggung. Bukan di bagian dada. Hayo, logis kan? Hahaha

Jika ada pertanyaan, pake bajunya apa? Kami mengikuti aliran 80 persen tubuh terbuka. Tidak tertutup kain. Nah kalau untuk ini, hanya saya yang bisa mempraktikkan. Sari tidak memungkinkan karena belum punya area private. Hasilnya, tubuh saya berwarna tun sempurna!

Setelah berjemur, minum vitamin. Dilanjutkan dengan masak. Nyaris 2 minggu kami tidak beli makanan jadi. Kami ingin fokus pada penyembuhan sehingga memastikan setiap asupan yang masuk.

Bahan masakan beli secara online. Selama isoman, kami tidak keluar rumah. Sekalipun ke tukang sayur kompleks yang jaraknya hanya 100 meter. Selain beli online, kami mendapat kiriman dari Keluarga Mbak Titin di Bogor. Lalu juga seminggu sekali Tim Satgas Kelapa Gading (Kakak), datang untuk drop logistik mentah dan juga ada makanan jadi buatan Ibu di Kramat.

Ohya, ada hal menarik soal makanan ini. Setiap siang selalu ada kiriman makanan, entah berupa lauk atau sayur. Pengiriman ini berlangsung selama 5 hari. Di hari pertama Isoman, kami mendapat 1 liter susu yang diantar oleh satpam. Dan di hari kelima, hari terakhir pengiriman makanan, kami mendapat empon-empon berbentuk kapsul. Entah dapat dari RT secara swadaya, Puskesmas, atau dari hamba Tuhan.

Bersyukur sekali selama isoman dapat perhatian. Kami juga mendapat WA dari Puskesmas. Walau tidak memberikan vitamin dan hanya menawarkan obat kalau sudah habis, tetapi itu sudah cukup bagi kami. Di akhir isoman, Puskesmas juga mengirimkan surat bebas pantau.

Makanan yang kami masak selama isoman hampir tidak ada yang digoreng. Seminggu pertama, tidak ada goreng-gorengan. Tidak juga menyentuh makanan instan seperti mie. Makanan pertama yang kami masak adalah bakso, sekaligus untuk stok. Tiap hari ada makanan kuah berempah. Ini sangat membantu untuk melegakan tenggorokan dan hidung.

Kuncinya soal makanan di masa isoman adalah makan sebanyak mungkin makanan secara seimbang. Ingat, seimbang. Jangan nasinya aja yang banyak, atau hanya makan buah dan sayur, atau protein saja yang dikonsumsi. Sekali lagi, SEIMBANG!!!

Bagi sebagian orang, makan di saat sakit itu susah. Apalagi disuruh makan banyak. Secara medis bisa dimengerti, apalagi yang terdampak anosmia. Saya mengalami, tetapi Sari tidak mengalami sampai dia sembuh. Anosmia bisa mengganggu selera makan, karena sensasi rasa makanan merupakan gabungan antara indra pencium dan pengecap.

Menurut pangalaman saya, saat sakit, tubuh butuh nutrisi lebih banyak dari biasanya. Oleh karena itu, makan diperbanyak, minum putih diperbanyak, dan tidur diperbanyak. Full tidur 8 jam.

Bagi yang sulit makan sekaligus banyak, seperti Sari, caranya adalah makan dikit tetapi sering. Dan saya yakin, satu hal yang membuat Sari cepat pulih adalah dia memaksakan diri untuk makan banyak, minum banyak, dan diet. Diet utamanya adalah tidak makan McDonald's, hahaha

Setelah makan siang, waktunya minum obat. Biasanya di waktu ini kami pergunakan untuk bekerja. Bagaimanapun kami punya tanggung jawab ke kantor masing-masing. Ketika sore menjelang, saatnya ngemil. Yang dimakan juga sehat, susu dan roti atau diselingi dengan pisang rebus.

Tidur malam adalah keniscayaan. Tapi, tidur di jam normal adalah kebiasaan baru di waktu isoman. Biasanya tidur di atas jam 00.00. Kali ini, jam 10.00 udah harus segera tidur.

Hal unik selama isoman, kami tetap pakai masker dan jaga jarak. Saya yang terkadang males pakai masker, tetapi Sari selalu pakai. Makan pun kami bergantian. Mandi ya bergantian juga dong. Nah, untuk tidur, kami melanjutkan untuk pisah ranjang dan pisah kamar. Hal ini kami lakukan untuk antisipasi saling menularkan, mengingat masa inkubasi kami berbeda.

Hari demi hari berjalan begitu lambat. Saya tidak tahu bagaimana pengalaman sesama isoman. Alhasil kebosanan sempat melanda kami. Ini harus dilawan. Hal yang coba kami lakukan adalah nonton film atau hal-hal lucu. Maka tidak heran, selama isoman paket data yang terpakai mencapai 100GB untuk berdua.

Kegiatan lain seperti bertaman, kasih makan ikan sambil sesekali diajak ngomong, menelpon saudara, foto-foto bunga, sampai mainan boneka. Ya tentu, bukan saya loh ya, hehehe... Rasa bosan harus disiasati supaya tidak mengganggu imun.

Praktis setelah seminggu isoman, kondisi kami stabil. Indera penciuman saya yang sempat hilang juga sudah mulai kembali. Batuk Sari juga sudah mereda. Yang kami rasakan sama, sesekali ada riak di tenggorokan. Tapi tidak ada batuk.

Selain antibiotik, obat tidak kami lanjutkan ketika kondisi membaik. Yang diteruskan hanyalah vitamin dan jamu. Konsumsinya juga dijeda, termasuk dengan waktu minum susu.

Salah satu kegiatan isoman adalah berjemur. Selain cukup panas di badan, jam berjemur masuk jam kerja. Maka sesekali sambil berjemur juga telponan.
Salah satu kegiatan isoman adalah berjemur. Selain cukup panas di badan, jam berjemur masuk jam kerja. Maka sesekali sambil berjemur juga telponan.

Siap Vaksin (Lagi)

"Kok bisa kena Covid-19, padahal udah vaksin?"

Pertanyaan yang tidak lelah ditanyakan. Jawaban pun juga sudah banyak tersebar di banyak media. Ada juga yang pura-pura bertanya. Tidak ketinggalan bagi mereka yang menggorengnya untuk tujuan politis.

Saya memilih judul, "Akhirnya Saya Kena Covid-19 (Juga)" bukan tanpa sebab. Kata "Juga" mengisyaratkan kita sedang arisan. Hadiahnya adalah Covid-19. Terpapar virus jahanam ini memang seperti nunggu giliran, sampai suatu saat kita berkata, "Ya, akhirnya kena juga."

"Juga" semakin punya arti yang kuat setelah varian Delta masuk Indonesia. Penyebarannya yang masif, membuat prosentasi kita terpapar semakin tinggi. Sekuat apapun prokes yang kita lakukan, kita juga harus siap menghadapi kemungkinan tertular.

Kesiapsediaan kami ditunjukkan melakukan vaksin. Saya vaksin pertama duluan, tanggal 8 Mei 2021 di Sentra Vaksin Serviam. Seharusnya vaksin kedua tanggal 31 Juli 2021. Jedanya cukup lama, hampir 3 bulan, karena saya dapat AstraZeneca. Sedangkan Sari sudah mendapat vaksin kedua pada 11 Juni 2021. Dia ikut vaksin gotong royong, yakni Sinopharm.

Berdasarkan pengalaman, kami mengamini narasi yang mengatakan bahwa vaksin bukan obat Covid-19 tetapi berguna untuk memperingat gejala seandainya terpapar Covid-19. Puji Tuhan, gelaja yang kami rasakan tidak parah. Sari yang gejalanya terbilang lebih parah ketimbang saya, pun masih tergolong ringan.

Hasil Rontgen juga menunjukkan kebenaran narasi tersebut. Paru-paru saya menunjukkan benar ada infeksi virus. Tandanya adalah bercak putih atau berkabut pada paru-paru. Untungnya perkabutan itu tidak banyak dan setelah konsultasi ke dokter Halodoc dinyatakan aman. Hasil Rontgen Sari malah lebih bagus. Dokter menyatakan nyaris bersih.

Isoman seharusnya 2 minggu. Namun kami menambah menjadi 3 minggu, dengan harapan bisa langsung negatif. Walaupun banyak literasi yang menunjukkan bahwa sebenarnya tanpa swab test, PCR maupun antigen, harusnya aman untuk kembali ke keluarga untuk yang tanpa gejala atau gejala ringan. Tapi kami ingin buat keluarga dan teman kantor merasa aman dan nyaman dengan melakukan tes PCR.

Tepat 3 minggu sejak isoman, 31 Juli 2021 kami berangkat ke Bumame Bogor untuk PCR. Suasana beda sama sekali. Kalau dulu begitu rame dan antri bisa 1,5 jam, kini hanya antri 4 mobil. Jalurnya dari 2 jadi 1 saja, begitu juga nakes yang melakukan swab juga dari 2 jadi seorang saja.

Setelah menunggu 8 jam, hasilnya kami berdua negatif. Sekali lagi, kami aturkan banyak syukur dan pujian kepada Dia sumber hidup dan kesehatan.

Senin pagi, 2 Agustus 2021, kami pulang ke Jakarta. Niat terdekat kami adalah tetap menjaga prokes di dalam dan di luar rumah. Kalau di rumah setidaknya jaga jarak dan memastikan kebersihan. Hal baik selama isoma kami lanjutkan, tiap hari lantai disapu dan dipel. Selanjutnya adalah kembali melakukan vaksin. Ada banyak versi terkait waktu vaksin untuk penyintas Covid-19, tetapi kami ambil kesimpulan untuk diri sendiri yakni 2 minggu setelah selesai isoman.

pandemi-covid-19-paksa-kita-kembali-pada-kodrat-4-610641b415251008b5105662.jpg
pandemi-covid-19-paksa-kita-kembali-pada-kodrat-4-610641b415251008b5105662.jpg
Pengalaman keluar rumah saat isoman, saya merasakan ketakutan. Pertama saat Rontgen. Gak tau kenapa saya tiap ketemu atau papasan dengan orang ada rasa deg-degan. Hal yang sama ketika belanja di supermarket. Padahal saat di pusat perbelanjaan itu hari ke-19 saya isoman. Mungkin karena lama gak keluar rumah, lalu juga takut antara berpotensi menularkan atau tertular.

Terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada banyak pihak selama proses isoman. Kepada Keluarga Mbak Titin, Ibu Mertua, Kakak Sally, Keluarga Kak Endra yang menjadi Tim Satgas Covid-19 Cabang Kelapa Gading, Ketua RT dan warga De Botanica, Puskesmas Bogor Utara, para Bos kami dan teman-teman kantor atas pengertiannya, dan para Ojol yang dengan sigap mengantar logistik dan obat buat kami.

Maaf buat Bapak dan Ibu di Palembang; Adik-adikku Tari di Palembang dan Yosef di Tegal; Keluarga Mbak Rina di Bogor; Dan saudara-saudariku lainnya karena tidak mengabari. Saya juga melarang Mbak Titin untuk memberi kabar. Saya merasa sangat yakin, selalu ada perhatian buat kami di setiap untaian doa yang kalian persembahkan kepada Sang Mahacinta. Terima kasih untuk doa dan pengertiannya.

Yang belum vaksin segera ya. Yang masih bandel dengan prokes, bertobatlah. Karena virusnya gak bisa dilihat kasat mata. Yuks, jangan egois! Dengan menjaga diri sendiri, berarti turut menjaga keluarga, orang yang dikasihi, tetangga, bahkan orang yang tidak kita kenal sama sekali.

Tulisan ini juga ada di blog pribadi saya, www.fransalchemist.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun