Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Membedah Alasan Mega Ragu Menerima Menteri Muda

9 Agustus 2019   14:45 Diperbarui: 9 Agustus 2019   14:48 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi melemparkan isu orang muda akan masuk di jajaran kabinetnya. Jagat medsos gempar. Kini isu tersebut diangkat kembali oleh Megawati Soekarnoputri di tengah Kongres V PDI Perjuangan di Bali, Kamis 8 Agustus 2019.

Menurut Mega yang baru saja ditetapkan sebagai Ketua Umum PDIP periode 2019-2024, menteri berusia muda lebih berat dalam menjalankan amanahnya. Karena seorang menteri yang diurusi adalah masalah bangsa dan negara. Harus ada proses yang dilalui supaya bisa matang saat masuk dalam pemerintahan.

Tanpa ingin merendahkan potensi kaum muda, Mega pun mengakui ada banyak orang muda Indonesia menuai banyak prestasi. Tidak sedikit pula yang sukses dalam karier. Namun ia mengingatkan bahwa orang muda yang sukses di sebuah perusahaan besar tidak memberikan jaminan ia akan sukses ketika mengelola pemerintahan.

Apa yang dikatakan oleh Mega ada benarnya. Kalau kita tarik lebih jauh pada tahun 2014, saat Jokowi dihadapkan tantangan membentuk kabinet. Salah satu isu yang mengemuka adalah komposisi kabinet, dari partai atau profesional. Ada banyak kalangan yang mendorong supaya kabinet Jokowi-JK kala itu didominasi para profesional. Asumsinya, menteri atau pejabat dari kalangan partai lebih rentan dengan praktik koruptif.

Saya pikir, mau isunya menteri dari partai atau profesional, dari kalangan senior maupun dari kaum muda tetap saja praktif KKN berjalan mulus. Kalau tidak menterinya yang bermain, jajaran di bawahnya yang serong. Hal ini ditunjukkan oleh Wildan Sena Utama, Peneliti di Departemen Sejarah UGM, yang mengutip tulisan Dr. Rimawan Pradiptyo koleganya di UGM.

Sumber tersebut mengungkap, berdasarkan data putusan pengadilan 2001-2015 terkait kasus korupsi, dari total 2.569 terpidana korupsi, jumlah terbanyak adalah PNS sebanyak 1.115 orang (43,40%), lainnya adalah sektor swasta sebanyak 670 orang (26,08%), dan politisi sebanyak 559 orang (21,76%). Kerugian negara akibat korupsi swasta menyentuh angka Rp47,1 triliun, sementara terpidana PNS merugikan negara sekitar Rp21,3 triliun.

Jumlah kerugian yang dihasilkan oleh politikus memang lebih kecil, tapi peran mereka di lembaga legistatif maupun eksekutif sangat strategis. Mereka yang berada di DPR, DPRD, menjabat Menteri atau Kepala Daerah memiliki tugas untuk membuat peraturan, yakni UU, Peraturan Menteri, dan Peraturan Daerah. Berkat wewenangnya ini, mereka bisa saja membuat cela dalam peraturan yang mereka buat sehingga praktik koruptif terus berjalan.

Menurut saya, tantangan untuk membentuk pemerintahan yang bersih demi terwujudnya Indonesia sejatera secara merata, tidak mudah. Reformasi yang telah berjalan selama 21 tahun ini, nyatanya tidak merubah banyak dari sisi pemberantasan KKN.

Hal ini terjadi karena reformasi hanya memangkas pucuk-pucuk pohonnya saja. Tetapi akar dan batangnya masih ada, bahkan tumbuh subur. Pohon terus berkembang, cabang terus tumbuh ke samping, akar terus bergerak menembus tanah untuk menyerap nutrisi lebih banyak.

Wildan mengutip pepatah Perancis seperti dituliskan di Tirto.id, "plus a change plus c'est la mme chose,"yang berarti "semakin banyak berubah, semakin tetap sama". Meskipun zaman telah berubah tetapi perubahan itu belum menghasilkan perbaikan yang signifikan.

Saya melihat kondisi ini disadari betul oleh Presiden Jokowi. Dari laman Kompascom, Presiden mengingatkan seluruh jajarannya bahwa fokus utama pemerintahannya mulai saat ini bukan lagi pembangunan infrastruktur, melainkan pembangunan sumber daya manusia (SDM). "Prioritas utama semua Kementerian adalah pembangunan sumber daya manusia. Nanti kita akan bicara secara spesifik ini untuk kementerian terkait," Jokowi saat memimpin rapat kabinet paripurna di Istana Kepresidenan, Bogor, Selasa 23 April 2019.

Prioritas Jokowi ini seakan dikukuhkan dalam tema Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-74 Republik Indonesia. Temanya adalah "SDM Unggul, Indonesia Maju."

Pemerintah nyatanya tidak ingin berwacana. Melalui Kementerian PAN-RB, pemerintah membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk memangku jabatan tinggi setingkat eselon I hingga eselon III. Saya juga melihat wacana mendatangkan rektor asing untuk memimpin perguruan tinggi di Indonesia, juga dilandasi oleh semangat reformasi SDM. Tentu banyak kebijakan dan wacana lainnya.

Apapun yang tengah dipersiapkan oleh Indonesia untuk memperbaiki SDM demi kemajuan dan kemakmuran Indonesia, adalah sesuatu yang bagus. Sekali yang perlu dicatat dengan baik-baik, siapapun yang akan dijadikan menteri oleh Jokowi tetap SDM yang dipimpinnya adalah warisan pra reformasi. Mereka sudah berada dalam zona nyaman yang sangat lama. Ditambah banyak di antara mereka bukanlah ASN, tetapi tenaga honorer. Tentu ini menjadi beban tersendiri bagi siapapun yang menjadi menteri.   

Salah satu mengapa ASN menjadi target reformasi SDM, karena masih ada mentalitas bahwa mereka adalah pemberi pekerjaan kepada swasta. Adalah benar tugas pemerintah adalah membelanjakan anggaran. Adalah tidak salah, anggaran harus habis dibelanjakan dengan tujuan masyarakat dapat menikmati pembangunan. Juga tidak boleh disalahkan, swasta digandeng untuk membantu memakai anggaran dengan skema tender atau pitching. Tetapi menjadi salah besar, saat pemerintah yang diwakili oleh para oknum pejabat ASN merasa pihaknya adalah pihak pemberi pekerjaan sehingga wajar kalau meminta jatah dari anggaran yang dibelanjakan. Juga salah besar jika pihak swasta yang merasa butuh uang untuk "hidup" maka minta-minta pekerjaan dengan oknum pejabat ASN dengan iming-iming imbalan.

Pola ini juga berlaku untuk anggota DPR/ DPRD yang tadi disebut mewakili kaum politisi. Kasus yang masih hangat adalah praktik korupsi yang melibatkan anggota DRP. Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan I Nyoman Dharmantra, anggota DPR RI Komisi VI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai tersangka atas kasus terkait dengan pengurusan izin impor bawang putih tahun 2019. Nyoman diduga menerima uang sejumlah Rp 2 miliar untuk digunakan mengurus surat persetujuan impor (sumber).

Apa yang kita dengar di media adalah kasus korupsi yang nilainya besar atau fantastis. Tetapi praktik serupa dengan nilai "tidak seberapa" terus berlangsung sampai sekarang di semua jenjang. Masuk di lingkungan kementerian, susah dapat parkir. Tetapi dengan memberi uang, tiba-tiba satpam memberikan tempat kosong. Atau ada acara di kementerian, pihak swasta mau loading. Maka selalu ada jatah untuk satpam, sekalipun sudah mengantongi surat izin resmi. Itu baru di bawah, belum yang "memberi pekerjaan."

Melihat kondisi ini, saya senang dan mendukung program pemerintah untuk mereformasi SDM, khususnya soal mentalitas. Karena dari sisi pendidikan, banyak sekali ASN kita yang berpendidikan tinggi. Tetapi saya tetap optimis bahwa program reformasi SDM ini akan berjalan baik. Saya pernah mendengar langsung ada menteri yang berbicara lantang soal reformasi ini di hadapan ASNnya. Bayangkan, menteri itu membuka peluang pejabat eselon I bisa saja turun ke eselon II atau III jika tidak perform!

Kembali ke pernyataan Mega. Tampaknya, fenomena ini yang membuat Mega galau untuk secara tegas mendukung ada generasi muda duduk di pemerintahan. Tidak cukup hanya muda, kaya, mapan, pintar, sukses, dan berpendidikan untuk bisa menjalankan amanah di kursi pemerintahan. Orang yang diperlukan adalah mereka yang juga punya ketegasan, kebijaksanaan, kewaspadaan, dan kemampuan persuasif memberdayakan bawahan.

Ingat, belajar dari kasus Ahok alias BTP, pemimpin yang punya idealisme tetapi kurang bijaksana akan "dikerjai" bawaannya. Karena birokrasi, baik di eksekutif-legislatif-yudikatif, selama ini sudah nyaman. Mereka pasti terganggu jika ada orang baru mengacak-acak hidup mereka apalagi sampai mengurangi "pemasukan." Jadi, siapa menteri pilihan, Kamu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun