Saya melihat kondisi ini disadari betul oleh Presiden Jokowi. Dari laman Kompascom, Presiden mengingatkan seluruh jajarannya bahwa fokus utama pemerintahannya mulai saat ini bukan lagi pembangunan infrastruktur, melainkan pembangunan sumber daya manusia (SDM). "Prioritas utama semua Kementerian adalah pembangunan sumber daya manusia. Nanti kita akan bicara secara spesifik ini untuk kementerian terkait," Jokowi saat memimpin rapat kabinet paripurna di Istana Kepresidenan, Bogor, Selasa 23 April 2019.
Prioritas Jokowi ini seakan dikukuhkan dalam tema Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-74 Republik Indonesia. Temanya adalah "SDM Unggul, Indonesia Maju."
Pemerintah nyatanya tidak ingin berwacana. Melalui Kementerian PAN-RB, pemerintah membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk memangku jabatan tinggi setingkat eselon I hingga eselon III. Saya juga melihat wacana mendatangkan rektor asing untuk memimpin perguruan tinggi di Indonesia, juga dilandasi oleh semangat reformasi SDM. Tentu banyak kebijakan dan wacana lainnya.
Apapun yang tengah dipersiapkan oleh Indonesia untuk memperbaiki SDM demi kemajuan dan kemakmuran Indonesia, adalah sesuatu yang bagus. Sekali yang perlu dicatat dengan baik-baik, siapapun yang akan dijadikan menteri oleh Jokowi tetap SDM yang dipimpinnya adalah warisan pra reformasi. Mereka sudah berada dalam zona nyaman yang sangat lama. Ditambah banyak di antara mereka bukanlah ASN, tetapi tenaga honorer. Tentu ini menjadi beban tersendiri bagi siapapun yang menjadi menteri. Â Â
Salah satu mengapa ASN menjadi target reformasi SDM, karena masih ada mentalitas bahwa mereka adalah pemberi pekerjaan kepada swasta. Adalah benar tugas pemerintah adalah membelanjakan anggaran. Adalah tidak salah, anggaran harus habis dibelanjakan dengan tujuan masyarakat dapat menikmati pembangunan. Juga tidak boleh disalahkan, swasta digandeng untuk membantu memakai anggaran dengan skema tender atau pitching. Tetapi menjadi salah besar, saat pemerintah yang diwakili oleh para oknum pejabat ASN merasa pihaknya adalah pihak pemberi pekerjaan sehingga wajar kalau meminta jatah dari anggaran yang dibelanjakan. Juga salah besar jika pihak swasta yang merasa butuh uang untuk "hidup" maka minta-minta pekerjaan dengan oknum pejabat ASN dengan iming-iming imbalan.
Pola ini juga berlaku untuk anggota DPR/ DPRD yang tadi disebut mewakili kaum politisi. Kasus yang masih hangat adalah praktik korupsi yang melibatkan anggota DRP. Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan I Nyoman Dharmantra, anggota DPR RI Komisi VI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai tersangka atas kasus terkait dengan pengurusan izin impor bawang putih tahun 2019. Nyoman diduga menerima uang sejumlah Rp 2 miliar untuk digunakan mengurus surat persetujuan impor (sumber).
Apa yang kita dengar di media adalah kasus korupsi yang nilainya besar atau fantastis. Tetapi praktik serupa dengan nilai "tidak seberapa" terus berlangsung sampai sekarang di semua jenjang. Masuk di lingkungan kementerian, susah dapat parkir. Tetapi dengan memberi uang, tiba-tiba satpam memberikan tempat kosong. Atau ada acara di kementerian, pihak swasta mau loading. Maka selalu ada jatah untuk satpam, sekalipun sudah mengantongi surat izin resmi. Itu baru di bawah, belum yang "memberi pekerjaan."
Melihat kondisi ini, saya senang dan mendukung program pemerintah untuk mereformasi SDM, khususnya soal mentalitas. Karena dari sisi pendidikan, banyak sekali ASN kita yang berpendidikan tinggi. Tetapi saya tetap optimis bahwa program reformasi SDM ini akan berjalan baik. Saya pernah mendengar langsung ada menteri yang berbicara lantang soal reformasi ini di hadapan ASNnya. Bayangkan, menteri itu membuka peluang pejabat eselon I bisa saja turun ke eselon II atau III jika tidak perform!
Kembali ke pernyataan Mega. Tampaknya, fenomena ini yang membuat Mega galau untuk secara tegas mendukung ada generasi muda duduk di pemerintahan. Tidak cukup hanya muda, kaya, mapan, pintar, sukses, dan berpendidikan untuk bisa menjalankan amanah di kursi pemerintahan. Orang yang diperlukan adalah mereka yang juga punya ketegasan, kebijaksanaan, kewaspadaan, dan kemampuan persuasif memberdayakan bawahan.
Ingat, belajar dari kasus Ahok alias BTP, pemimpin yang punya idealisme tetapi kurang bijaksana akan "dikerjai" bawaannya. Karena birokrasi, baik di eksekutif-legislatif-yudikatif, selama ini sudah nyaman. Mereka pasti terganggu jika ada orang baru mengacak-acak hidup mereka apalagi sampai mengurangi "pemasukan." Jadi, siapa menteri pilihan, Kamu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H