Judul tulisan ini sepertinya boombastis, atau kerap disebut clickbait. Saya tegaskan, inilah yang terjadi pada saya. Percaya atau tidak, saya sendiri kerap geleng-geleng melihat perubahan sikap ini.
Kata "Utang" menjadi momok tersendiri bagi saya. Sudah sejak lama saya meyakini bahwa utang adalah parasit dalam keuangan saya. Ketika sudah berkeluarga, keyakinan itu semakin kuat karena keuangannya tidak lagi bersifat pribadi. Oleh karena itu, mendengar "utang" saja, saya memilih untuk menutup telinga.
Dari sisi eksternal, ada banyak kisah pilu yang dialami orang karena terlilit utang. Bahkan tidak sedikit karena utang, orang bisa melakukan tindak pembunuhan atau malah mengakhiri hidupnya. Cerita utang semakin seram terdengar.
Dalam perjalanan waktu, sikap saya terhadap utang semakin melunak. Pada akhirnya, utang terpaksa menjadi pilihan ketika kebutuhan pokok saya bernilai tinggi. Kebutuhan itu adalah memiliki rumah tinggal sendiri.Â
Jika memungkinkan, pasti saya memilih membeli rumah dengan cash keras. Namun sampai kapan saya bisa punya rumah kalau menunggu uangnya cukup.
Di sisi lain, persepsi hutang mulai masuk dari orang-orang sekitar. Ada beberapa saudara yang secara ekonomi sangat mapan, tetapi tidak otomatis memilih transaksi lunas dalam tiap pembelian. Mereka berprinsip, "jika bisa diutang, kenapa harus lunas?!"
Bagi saya ini gila. Sekalipun saya ditunjukkan hitung-hitungan, bagaimana utang bisa lebih baik daripada membeli lunas dengan memasukkan nilai inflasi. Namun tekanan persepsi baru terhadap utang dan desakan kebutuhan, membuat saya perlahan memasukkan utang dalam memori.
Perubahan Sikap
Cukup lama saya berpikir tentang hutang. Baik dan buruknya. Konsekuensi apa yang akan saya terima ketika saya menerima utang. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk tidak lagi alergi terhadap utang. Namun, saya punya catatan khusus yang harus saya pegang.
Catatan pertama dan utama adalah terbuka. Keputusan berutang tidak bisa ujug-ujug atau tiba-tiba. Kalau pengalaman saya, utang dimulai dengan adanya kebutuhan untuk membeli sesuatu.Â
Sebelum eksekusi, saya selalu ceritakan kepada isteri apa yang ingin dibeli. Lalu katakan juga kalau ini akan dibeli dengan cara berutang. Ini penting, supaya ada kontrol.
Kontrol di sini terkait dengan prinsip perencanaan keuangan. Saya percaya bahwa utang, dalam hal ini cicilan yang diangsur tiap bulan, nilainya tidak boleh melebihi 30% dari gaji bulanan. Saya katakan gaji bukan pendapatan, karena pemasukan di luar gaji tidak boleh masuk dalam perhitungan 30%.Â
Sampai di sini, saya punya 2 langkah sebelum mengambil utang yakni komunikasi dengan pasangan dan menghitung besaran maksimal nilai utang atau cicilan.
Bacaan Terkait: Menjadikan Cashback ala Milenial untuk Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan
Kebutuhan yang ingin dipenuhi sudah ditentukan. Berikutnya, mau berutang kepada siapa? Zaman ini, ada banyak pilihan untuk mengambil utang. Yang paling populer adalah pinjaman online (pinjol).Â
Pinjol semakin banyak dibicarakan orang karena tidak sedikit kisah orang terlilit pinjol sampai bangkrut. Saya tidak akan bahas soal pinjol, karena saya tidak pernah tertarik.
Yang saya pikirkan kali pertama saat mau berutang, siapa yang mau memberi pinjaman tanpa bunga? Mungkin ini pertanyaan konyol. Tetapi nyatanya ada! Pertama, cicilan 0% yang diberikan oleh kartu kredit dan kedua pinjaman dari kantor. Dua sumber hutang itulah yang saat ini saya gunakan untuk memenuhi kebutuhan saya.
Bukankah kartu kredit ada biaya administrasinya? Benar! Tetapi saya menggunakan kartu kredit yang dipegang isteri saya, yang tidak lain punya kantornya. Ada 2 keuntungan yang didapat, pertama saya tidak harus membayar biaya administrasi dan kedua saya punya kontrol berlapis. Apa yang saya atau kami beli, diketahui pihak kantor.
Sumber hutang kedua adalah saya mengajukan ke kantor saya. Cara ini yang kerap saya pilih. Pertama, tentu tidak ada bunga. Kedua saya bisa dengan bebas menentukan besaran cicilan, sesuai kemampuan.Â
Dan yang paling penting, saya bisa memperbesar cicilan dan menutup hutang dengan lebih cepat. Karena kita kan tidak menutup adanya rejeki yang datang. Jika ada rejeki di luar gaji, hampir pasti itu saya pakai untuk menambah jumlah cicilan.
Walaupun saya pada akhirnya berhutang, tetapi rasa risih terhadap hutang tidak hilang. Itulah mengapa, saya memilih pinjaman yang bisa memungkinkan saya menutup hutang lebih cepat, tidak mengganggu kebutuhan rutin, dan tidak membebani keuangan saya. Bagaimana caranya?
Caranya adalah cicilan hutang berasal dari uang jajan saya. Saya meyakinkan isteri saya bahwa hutang tidak akan mengurangi setoran bulanan kepadanya. Utang yang bernada negatif, saya ubah menjadi energi semangat.Â
Saya bisa tetap jajan, tetapi tidak bablas karena teringat ada utang. Berkat tren cashback, saya masih bisa "senang-senang" sekaligus tidak melupakan hutang.
Kebutuhan yang berhasil saya penuhi berkat hutang memang tidak bernilai fantastis. Mulai dari sofa, lemari pakaian, lemari kabinet, dan drawer. Semakin cepat melunasi hutang itu lebih baik, karena bisa mengambil hutang lagi untuk kebutuhan lainnya. Ke depan, saya ingin berhutang untuk barang yang bernilai investasi seperti perhiasan atau logam mulia.
Jadi, jangan takut untuk berutang. Kalau dilihat dari sisi penghematan, memang bisa dikatakan berhutang itu nagih karena ada rasa bangga bisa menyisihkan uang jajan untuk sesuatu yang lebih berharga.Â
Namun, untuk kasus saya, catatan yang saya terapkan untuk berutang memang cukup ketat. Sampai saat ini, saya meyakini bahwa catatan tersebut yang membuat saya tidak mengalami krisis walau giat berutang.
Artikel ini juga ada di Blog Pribadi, ONEtimes.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H