Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Rawan Bencana, Inilah Arti Penting Profesi Antropolog Ragawi

23 Desember 2018   13:22 Diperbarui: 23 Desember 2018   14:00 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah mendapat gelar doktor dengan summa cum laude, ia ingin meraih doktor habil. Pada tahun 1977, ia sukses meraih doktor habilitatus di Universitas Jagiellonian di Krakow, Polandia. Kampus ini salah satu yang terbaik di Polandia dan sudah berusia 670 tahun. Untuk mendapat gelar habil, ia meneliti hampir seluruh wilayah Indonesia dan mengolah data sample 200 orang per wilayah. Data yang dikumpulkan sangat bervariasi, mulai dari data antropometris sampai dengan data genealogi.

Kumpulan data tersebut untuk mengetahui migrasi penduduk Indonesia. Hasilnya, Glinka menarik kesimpulan umum bahwa penduduk Indonesia dapat dibagi atas tiga kelompok rasial: Protomalayid di Indonesia Timur, Deuteromalayid di Indonesia barat, dan Dayakid di Kalimantan, Jambi, dan Filipina utara.

Data-data etnogenesis - pembentukan, asal usul dan perkembangan suatu kelompok etnis - (terutama genetical markers), di samping berguna untuk mendeteksi afiliasi suatu populasi dengan populasi lain, bisa juga digunakan untuk mendeteksi trend penyakit-penyakit tertentu. Dari hasil-hasil penelitian diketahui bahwa penyakit-penyakit tertentu mempunyai hubungan dengan rasial.

Penelitian berbasis antropologi ragawi seperti ini sangat berguna dan aplikatif. Glinka mencontohkan di halaman 12, orang Indonesia dinilai kurang gizi karena badannya kecil. Lalu pemerintah melalui para ahli gizi mengkampanyekan minum susu. "Namun, ahli gizi tidak tahu bahwa 40 persen orang Indonesia tidak mampu mencerna laktosa (gula susu), maka terjadi sebagian besar anak mencret, sehingga terbentuk olokan empat sehat lima mencret." Di Indonesia, orang percaya bahwa norma Amerika yang benar, padahal mereka dari populasi yang berbeda dengan kita. Dari hasil penelitiannya bersama Prof Myrta Artaria M.A.m Ph.D., tentang pertumbuhan anak di Malang, hasilnya ternyata berbeda. Anak Indonesia di atas angka normal.

Penelitian Glinka tentang etnogenesis ini membuat sosok Glinka penting untuk indonesia. Tujuan penelitiannya adalah mengklasifikasikan semua populasi di kawasan Indonesia untuk melihat hubungan kesamaan morfologis antropologis antarpopulasi di Indonesia. Dengan demikian, selanjutnya dapat ditarik kesimpulan mengenai asal-usul penduduk di wilayah Indonesia. Lebih jauh, dari hasil penelitian ini bisa ditentukan tipe morfologis yang khas untuk populasi Indonesia. (Hal. 71).

Hasil penelitian Glinka berada di antara Zwei-Schichten-Theorie sebagai hasil-hasil penelitian sebelumnya (de Zwaan, Coon, dan Jacob). dengan kata lain, Glinka menyumbangkan pemikiran baru mengenai etnogenesis di wilayah Indonesia. (Hal 73).

"Dari hasil sementara agak jelas bahwa pembagian warga negara Indonesia atas pribumi dan non pribumi salah dari segi hukum, politik, dan antropologi. Secara resmi kita anti-apartheid, tetapi di negeri sendiri kita mengotak-ngatakkan warga negara sendiri. Ini memberikan dasar untuk segala macam SARA. Jika kita mau menjadi konsekuen, maka yang dapat disebut pribumi itu hanya penduduk Indonesia timur bersifat negrid. Yang lain semua pendatang, bedanya hanya ada dalam waktu imigrasi," kata Glinka (Bab "Dari Sejarah Penghunian Kawasan Indonesia," hal. 389).

Sangat Mencintai Indonesia

Glinka yang lulus Seminari Tinggi SVD di Pieniezno (Polandia) tahun 1957 ini, datang ke Indonesia sebagai misionaris Katolik dari Kongregasi Tarekat Sabda Allah (SVD) pada 27 Agustus 1965. Ia langsung bertugas di Ritapiret dan Ledalero. Keduanya di Pulau Flores. Di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret tugasnya menjadi pendamping frater (calon pastor). Sementara di Seminari Tinggi St. Paulus, Ledalero, dia mengajar juga calon pastor dengan ilmu yang dimilikinya, Filsafat Alam Hidup.

Karyanya di Flores terjadi dalam rentang waktu 1966 sampai 1985. Selanjutnya, sebagaimana dikisahkan di website Unair, dalam sebuah perjumpaan dengan Dr. drg. A. Adi Sukadana, ia diajak untuk bergabung di Unair. Setelah proses yang tidak mudah, maka tahun 1984 Glinka datang ke UNAIR. Saat itu, SK pembentukan Departemen Antropologi UNAIR sudah turun. Kemudian tahun 1985 Jurusan Antropologi FISIP UNAIR resmi dibuka.

"Selanjutnya bulan Juli 1985 saya pindah ke Surabaya sampai saat ini. Jadi saya tinggal di Surabaya sudah 30 tahun lebih," tutur Glinka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun