Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kedua Korea Bersatu, Nyatanya Tidak Lebih Hebat dari Bersatunya NKRI

8 Juni 2018   07:00 Diperbarui: 8 Juni 2018   13:34 2839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua Korea di Semenanjung menunjukkan tanda persatuan. Mungkin ini bukan berita baru bagi kita. Beragam pula yang menanggapinya. 

Ada yang takjub karena dua negara yang berseteru bisa sadar arti penting perdamaian. Ada juga yang skeptis. Bahkan ada yang tidak peduli karena tidak ada pengaruhnya pada Indonesia. Setidaknya kita bisa menarik pelajaran penting untuk kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita cintai ini.

Saya sendiri melihat heran dan semakin percaya bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Tidak ada kebencian abadi, dan tidak ada pula permusuhan tanpa harapan perdamaian. 

Kalau dipikir, sulit rasanya menerima kalau Korea Utara yang memiliki paham komunis yang sangat kuat bisa membuka tangan, dan Korea Selatan yang paham liberalnya bergerak menjabat tangan saudaranya itu. Perbedaan keduanya tidak ubahnya air dan minyak, tampak mustahil berkomunikasi apalagi bersatu, tetapi nyatanya bisa.

Perbedaan antara Korea Utara dan Korea Selatan sejatinya sudah terjadi sejak awal. Sejarah permusuhan Korea dimulai saat Semenanjung Korea dijajah oleh Jepang selama Perang Asia Pasifik.

Pada tahun 1945, saat Jepang menyerah, Semenanjung Korea dibagi menjadi zona pendudukan oleh Sekutu. Pasukan AS menerima penyerahan pasukan Jepang di Korea bagian selatan, sementara pasukan Soviet melakukan hal yang sama di Korea bagian utara.

Ketegangan keduanya tidak bisa terelakkan, karena keduanya didukung oleh negara yang dari awal juga terlibat permusuhan oleh karena perbedaan ideologi. Uni Soviet membawa paham komunisme memberi pengaruh pada Korea Utara sedangkan AS dengan kapitalismenya menyokong Korea Selatan. Alhasil, perbedaan kedua Korea semakin meruncing. Puncaknya, pecah perang saudara pada periode 1950-1953. Walau perang telah usai, namun ketegangan keduanya masih terjadi sampai saat ini.

Namun sejarah memilih jalurnya sendiri. Pada tanggal 27 April 2018, terjadi pertemuan monumental antara Moon Jae-in, Presiden Korea Selatan dan Kim Jong Un, Pemimpin Tertinggi Korea Utara di Desa Panmunjun, di sisi utara Zona Demiliterisasi. 

Keduanya memberikan gerakan simbolis yang sangat kuat dengan saling berpegangan tangan melewati garis perbatasan kedua negara. Mereka saling bersepakat untuk melucuti proyek senjata nuklir dan mengakhiri perang dingin dengan perjanjian perdamaian.

Apapun motivasi yang melatarbelakanginya, apapun peristiwa yang terjadi di balik ini semua, tapi saya tetap merasa bahwa niat baik kedua Korea ini untuk bersatu memberikan kesejukan yang berdampak global. Sekalipun secara teknis, persatuan keduanya memang tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan sebagaimana diungkap Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Kim Chang-beom.

Dalam pemberitaan Liputan 6, Kim mengatakan reunifikasi membutuhkan waktu sangat panjang karena menyangkut usaha menyamakan kondisi kedua negara yang sangat berbeda. Dukungan reunifikasi memang banyak datang dari generasi muda Korsel, tapi mereka tidak sadar kalau reunifikasi akan berdampak langsung pada mereka seperti soal penyesuaian tarif pajak. 

"Saya pernah membaca hasil survei publik, yang salah satunya menunjukkan bahwa perdamaian Semenanjung Korea lebih diterima, dibandingkan jika kami (Korea Selatan dan Korea Utara) bersatu," ujarnya.

Walau menimbulkan kontroversi bagi warga di Semenanjung Korea, tetapi ketulusan kedua pemimpinnya untuk mewujudkan persatuan dan perdamaian tetap menjadi nilai tertinggi yang diidamkan seluruh dunia. 

Bahkan kabar terbaru yang diberitakan Kompas.com, niat Korut untuk bersatu ditunjukkan dengan penghancuran menara uji coba peluncuran rudal berhulu ledak nuklir yang ada di Kusong. Selain itu, Pemimpin Korut akan bertemu Presiden AS di Singapura 12 Juni 2018 dengan agenda utama denuklirisasi.

Saya meyakini, apa yang terjadi dengan kedua Korea di atas memiliki dampak global. Hal ini tentu terkait dengan ketegangan keduanya di masa silam, di mana konflik di Semenanjung Korea tersebut membawa dunia pada ketegangan perang nuklir yang bisa menghancurkan masa depan bumi. Maka tidak salah kalau senyum Moon Jae-in dan Kim Jong Un adalah senyum kita semua.

Indonesia yang Istimewa

Sayangnya, kabar baik dari Semenanjung Korea tidak berdampak bagi NKRI. Kita yang membanggakan persatuan dan terkenal dengan budaya timur yang santun, justru terancam oleh perpecahan.

Elit politik di negara ini justru membawa isu-isu sensitif ke panggung nasional untuk memecah belah masyarakat dalam kotak-kotak yang siap untuk diadu, baik melalui unjuk rasa dan pernyataan kontroversial (offline) maupun beragam hoaks di media sosial (online).

Bahkan yang sudah satu agama, masih saja dicari isu-isu yang merusak persaudaraan beragama. Entah itu menggunakan isu PKI, isu keturunan dari ras tertentu, atau isu lain yang tidak berdasar. 

Semua usaha dihalalkan hanya untuk mendapat jabatan, kursi, dan kekuasaaan. Anehnya, semua hal duniawi yang dikejar itu justru mengatasnamakan agama dan "diperkuat" dengan ayat-ayat suci.

Cara-cara seperti ini dikecam oleh Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siraj. "Penggunaan dalil agama untuk kepentingan politik justru akan merendahkan Alquran. Jangan sekali-kali menggunakan agama untuk kepentingan politik," ucap Said saat menghadiri Lailatul Qiroah di Taman Bungkul Surabaya, Jatim pada Rabu (6/6/2018) malam sebagaimana dikabarkan Okezone.com.

Kekhawatiran ini juga yang dirasakan oleh Presiden Joko Widodo. Dalam acara silaturahim bersama ulama se-Kabupaten Karawang di Pondok Pesantren Assiddqiyah, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Rabu (6/6/2018), Presiden mengatakan, negara lain sangat mengapresiasi nilai-nilai Islam yang dianut oleh masyarakat di Indonesia. 

"Negara kita dipandang oleh negara lain sebagai negara yang patut dijadikan contoh. Karena ada perbedaan yang amat banyak, tapi dipandang bisa bersatu dalam kehidupan sehari-hari, kelihatan rasa persaudaraan kita satu sama lain," ujar Presiden sebagaimana dikabarkan Kompas.com.

Apa yang dikatakan KH Said Aqil Siraj dan Presiden Joko Widodo harus kita cermati bersama, karena kita akan menghadapi hajatan pemilu. Pada tahun 2018 ini, sejumlah daerah di Indonesia akan menggelar Pilkada serentak dan pada 2019 mendatang akan dilaksanakan Pilpres dan Pileg. Situasi ini, menurut Presiden sangat rentan terjadinya gesekan antarkelompok masyarakat. 

"Jangan sampai dari luar kita dijadikan contoh, tapi di dalam kita jadi retak-retak gara-gara urusan Pilkada, Pilgub, Pilwalkot atau Pilpres. Sangat rugi sekali," ujar Jokowi.

Kenapa kita dijadikan contoh, karena negara mana di bumi ini yang memiliki 1.340 suku bangsa, 2.500 bahasa daerah, dan 6 agama yang belum termasuk beragam aliran kepercayaan yang tersebar di seluruh Indonesia? Dari 193 negara di dunia ini, 45 negara di antaranya berstatus negara kepulauan, dan NKRI adalah negara kepulauan terbesar. 

Negara tercinta kita ini memiliki luas wilayah sebesar 1,904,569 km2 dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 pulau. Bayangkan, kita itu merupakan negara dengan pulau paling banyak dan memiliki keragaman yang paling banyak pula, tapi aneh bin ajaibnya terangkum hanya dalam 1 NKRI. Sadar tidak para pemimpin bangsa dan elit-elit politik akan fakta ini?

Kalau kita terpecah, tidak ada Indonesia yang istimewa dan dibanggakan banyak negara itu. Kalau kita ribut terus dengan isu-isu SARA mana kita bisa membanggakan negara kita yang santun. Kalau kita tidak pernah bisa dewasa menghadapi perbedaan dan mau saja diadu-adu sama mereka yang haus kekuasaan, maka benar yang dikatakan Presiden.

"Di pesta demokrasi, kita tidak rukun gara-gara hanya beda pilihan, sangat rugi besar seperti itu. Silakan pilih pemimpin yang paling baik, setelah itu ya sudah, rukun kembali karena setiap tahun ada terus. Jangan sampai pilkada menceraiberaikan kita. Jangan sampai dari luar dikagumi tapi di dalam retak-retak gara-gara pilkada. Sangat rugi sekali kita," ungkap dia.

Kalau persatuan Korea Utara dan Korea Selatan yang fisik dan bahasanya mirip saja bisa "menggunjang dunia" dengan usaha perdamaian keduanya, apalagi kita yang perbedaannya banyak sekali tetapi bisa hidup berdampingan dan rukun. 

Bisa membayangkan perbedaan Korea dengan kita, bukan? Semoga para elit bangsa ini bisa melihat Indonesia dengan kecintaan tulus bukan dari kacamata kekuasaan duniawi semata. 

Jangan kalian rusak kekayaan dan keistimewaan Indonesia dengan nafsu berkuasa sampai merendahkan kemanusiaan dan agama. Mari bersatu dan taklukkan dunia dengan persatuan kita yang bhinneka ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun