Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cinta Ibu Frans Seda pada Pancasila melalui Wastra Indonesia

1 Juni 2018   17:04 Diperbarui: 1 Juni 2018   19:48 1826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi Wastra Indonesia milik Ibu Jo. Foto: Dokpri.

Banyak dari kita sepakat Pancasila adalah Dasar Negara Republik Indonesia yang sudah final. Banyak pula yang setuju Pancasila merupakan asas yang menyatukan beragam suku, bahasa, agama, budaya, bangsa, warna kulit dan sebagainya yang berbeda di dalam wadah Indonesia. 

Namun, kata "sepakat" dan "setuju" harus dimaknai secara pribadi. Kalau tidak, ada isu yang bersifat memecah belah akan membuat kita goyah, Pancasila menjadi buram, maka persatuan bangsa akan terancam.

Ada satu tokoh bangsa yang patut kita contoh dalam menghayati Pancasila secara konkret. Dialah (Alm) Johanna Maria Pattinaja Seda, yang sering dipanggi Ibu Jo atau Ibu Frans Seda atau Ibu Seda. Sekilas, Ibu Jo adalah seorang ibu pejabat yang langka. Umumnya, ibu pejabat "hanya" pendamping suaminya dalam tiap acara, atau paling banter ikut dalam kegiatan Dharma Wanita.

Tapi Ibu Jo, sangat produktif. Sebagai isteri (Alm) Fransiscus Xaverius Seda (mantan Anggota DPR-GR/MPRS, Menteri Perkebunan, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan dan Pariwisata), ia sangat aktif mengumpulkan wastra Indonesia sembari mendampingi tugas suaminya.

Wastra adalah sehelai kain yang pembuatannya masih dilakukan dengan cara tradisional. Penggunaannya pun masih berkaitan dengan berbagai bentuk adat atau tradisi, khususnya tradisi yang berhubungan dengan siklus daur hidup dari seseorang lahir hingga meninggal dunia. 

Pembuatan selembar wastra melalui serangkaian proses yang memakan waktu lama, bahkan di beberapa daerah harus didahului dengan ritual upacara sesuatu dengan kepercayaan yang dianut. 

Pola yang terlukis di atas selembar kain itu pun merupakan ungkapan rasa seni tinggi yang berkaitan dengan filosofi kehidupan masyarakatnya. Karenanya, hasil yang diperoleh tidak hanya indah dipandang secara inderawi tapi juga seolah mempunyai kekuatan gaib.

Ada ribuan lembar wastra yang menjadi koleksi Ibu Jo yang mulai dikumpulkan sejak 1961. Kisah hidupnya beserta sebagian koleksi wastranya dijabarkan dengan sangat apik dalam buku "Untaian Nilai dalam Wastra. Wastra Unggulan Koleksi Johanna Maria Pattinaja Seda" yang ditulis oleh Sri Sintasari Iskandar dan Benny Gratha, 2017. 

Buku yang diterbitkan dalam rangka peringatan berpulangnya Ibu Jo yang ke 1000 hari itu, menampilkan sebagian kecil dari koleksinya yang dikumpulkan dari seluruh Indonesia dan beberapa dari luar negeri.

Di dalam buku 242 halaman itu, ditampilkan wastra yang sebagian besar berupa tenun ikat dari Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung), Jawa, Bali Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Sumba, Sawu, Rote, Flores, Timor), Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Selain itu, juga dijabarkan bagaimana teknik wastra yang menjadi warisan budaya Indonesia dan makna motif wastra yang menjadi warisan bagi kita untuk menghetahui beragam dan kayanya budaya Indonesia.

Menurut anak pertamanya, Ery Seda, kecintaan Ibu Jo terhadap wastra Indonesia, khususnya kain tenun ikat Nusa Tenggara Timur, bermula tanpa sengaja.

"Bermula tahun 1961, ketika pertama kali berkunjung ke Maumere (NTT) setelah menikah, ia mendapatkan selembar wastra tenun dan terheran-heran dengan gambarnya. Setelah itu Ibu Jo mulai mempelajari, bertanya sana-sini dan membaca banyak buku perihal tenun ikat."

Lalu Ery melanjutkan kalau ibunya itu memiliki passion yang sangat kuat terhadap kain tenun ikat dan wastra indonesia. Ibu Jo bukanlah seorang perfeksionis tetapi ia mengerjakan segala sesuatu dengan tuntas dan sepenuh hatinya, sehingga hasilnya hampir selalu baik dan berkelas.

Senada dengan kakaknya, Nessa Seda mengungkapkan bahwa kecintaan Ibu Jo terhadap keluarga dan wastra indonesia bisa dikatakan sama. Tidak ada yang nomor satu atau nomor dua di antara keduanya. 

Ibu Jo memberi perhatian kepada semua anggota keluarga dengan cinta yang sama dan detail, namun di waktu yang bersamaan ia menghabiskan waktu berjam-jam di rumah untuk meneliti, merawat, mendata serta menata koleksi wastranya. Dalam berburu wastra ke seluruh pelosok nusantara, kerap Ibu Jo lupa istirahat bahkan sekadar untuk makan.

Dulu Nessa berpikir apa yang dilakukan ibunya tidaklah berguna. Menurutnya, mengumpulkan wastra untuk koleksi itu untuk apa, menghabiskan waktu, tenaga, dan tentu uang yang tidak sedikit. Belum lagi usaha untuk mendata, meneliti bahkan untuk merawat wastra tidaklah mudah. Namun setelah berjalan berpuluh tahun, Nessa pun mulai mengerti kalau apa yang dilakukan oleh ibunya sangat bernilai.

Koleksi Ibu Jo kini menjadi cerminan nyata kekayaan budaya Indonesia yang membuat banyak bangsa lain iri hati. Bahkan dalam beberapa kesempatan, bangsa kita diadu domba supaya terpecah sehingga bangsa lain dapat mengambil keuntungan.

Lihatlah negara-negara di Eropa, Afrika, Asia bagaimana ada banyak contoh 1 negara diwakili oleh 1 budaya. Ada satu negara yang sedang bergejolak karena di negara tersebut terdapat 2 budaya. Sedangkan Indonesia memiliki ada banyak sekali budaya warisan leluhur tetapi tergabung menjadi satu negara, satu bangsa, satu bahasa, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hidup Ibu Jo sendiri bahkan sudah sangat Pancasila sekali. Ibu Jo lahir di Gondang Legi, Malang, Jawa Timur, 12 Mei 1937. Ayahnya berasal dari Pulau Saparua, Maluku Tengah dan ibunya dari Tomohon, Minahasa, Sulawesi Utara. Suaminya, Frans Seda, asli orang Nusa Tenggara Timur. Ia lahir di Flores, Nusa Tenggara Timur, 4 Oktober 1926. 

Sejak awal hidupnya, Ibu Jo sudah akrab dengan perbedaan dan bersentuhan dengan banyak budaya. Inilah akar yang membuat Ibu Jo sangat mencintai budaya Indonesia. Berkat dedikasinya tersebut, pada hari Kamis, 28 September 2017, Ibu Jo mendapatkan anugerah Satyalencana Kebudayaan sebagai seorang budayawan dari Pemerintah Republik Indonesia.

Ibu Jo sudah tiada. Namun warisannya masih menyertai kita semua. Tidak hanya warisan fisik yang ia tinggalkan kepada kita semua berupa ribuan lembar wastra Indonesia tetapi juga mewarisi semangat bagi kita semua untuk menjaga kesatuan NKRI yang berlandaskan pada Pancasila dengan mencintai budaya Indonesia. 

Tidak usahlan mengimpor budaya wastra dari negara lain yang belum cocok bagi kehidupan kita, apalagi memicu perpecahan. Kita sendiri memiliki ada banyak budaya wastra yang belum semua kita kenal, pelajari, pahami, bahkan kita cintai dengan cara memakainya.

Selamat Hari Lahir Pancasila, semoga kita semua semakin menjaga nilai-nilai Pancasila dengan mencintai warisan budaya kita dengan nyata.

Wastra Kalimantan. Foto: dokpri
Wastra Kalimantan. Foto: dokpri
Wastra Papua. Foto: dokpri
Wastra Papua. Foto: dokpri
Wastra NTT. Foto: dokpri
Wastra NTT. Foto: dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun