"Bermula tahun 1961, ketika pertama kali berkunjung ke Maumere (NTT) setelah menikah, ia mendapatkan selembar wastra tenun dan terheran-heran dengan gambarnya. Setelah itu Ibu Jo mulai mempelajari, bertanya sana-sini dan membaca banyak buku perihal tenun ikat."
Lalu Ery melanjutkan kalau ibunya itu memiliki passion yang sangat kuat terhadap kain tenun ikat dan wastra indonesia. Ibu Jo bukanlah seorang perfeksionis tetapi ia mengerjakan segala sesuatu dengan tuntas dan sepenuh hatinya, sehingga hasilnya hampir selalu baik dan berkelas.
Senada dengan kakaknya, Nessa Seda mengungkapkan bahwa kecintaan Ibu Jo terhadap keluarga dan wastra indonesia bisa dikatakan sama. Tidak ada yang nomor satu atau nomor dua di antara keduanya.Â
Ibu Jo memberi perhatian kepada semua anggota keluarga dengan cinta yang sama dan detail, namun di waktu yang bersamaan ia menghabiskan waktu berjam-jam di rumah untuk meneliti, merawat, mendata serta menata koleksi wastranya. Dalam berburu wastra ke seluruh pelosok nusantara, kerap Ibu Jo lupa istirahat bahkan sekadar untuk makan.
Dulu Nessa berpikir apa yang dilakukan ibunya tidaklah berguna. Menurutnya, mengumpulkan wastra untuk koleksi itu untuk apa, menghabiskan waktu, tenaga, dan tentu uang yang tidak sedikit. Belum lagi usaha untuk mendata, meneliti bahkan untuk merawat wastra tidaklah mudah. Namun setelah berjalan berpuluh tahun, Nessa pun mulai mengerti kalau apa yang dilakukan oleh ibunya sangat bernilai.
Koleksi Ibu Jo kini menjadi cerminan nyata kekayaan budaya Indonesia yang membuat banyak bangsa lain iri hati. Bahkan dalam beberapa kesempatan, bangsa kita diadu domba supaya terpecah sehingga bangsa lain dapat mengambil keuntungan.
Lihatlah negara-negara di Eropa, Afrika, Asia bagaimana ada banyak contoh 1 negara diwakili oleh 1 budaya. Ada satu negara yang sedang bergejolak karena di negara tersebut terdapat 2 budaya. Sedangkan Indonesia memiliki ada banyak sekali budaya warisan leluhur tetapi tergabung menjadi satu negara, satu bangsa, satu bahasa, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hidup Ibu Jo sendiri bahkan sudah sangat Pancasila sekali. Ibu Jo lahir di Gondang Legi, Malang, Jawa Timur, 12 Mei 1937. Ayahnya berasal dari Pulau Saparua, Maluku Tengah dan ibunya dari Tomohon, Minahasa, Sulawesi Utara. Suaminya, Frans Seda, asli orang Nusa Tenggara Timur. Ia lahir di Flores, Nusa Tenggara Timur, 4 Oktober 1926.Â
Sejak awal hidupnya, Ibu Jo sudah akrab dengan perbedaan dan bersentuhan dengan banyak budaya. Inilah akar yang membuat Ibu Jo sangat mencintai budaya Indonesia. Berkat dedikasinya tersebut, pada hari Kamis, 28 September 2017, Ibu Jo mendapatkan anugerah Satyalencana Kebudayaan sebagai seorang budayawan dari Pemerintah Republik Indonesia.
Ibu Jo sudah tiada. Namun warisannya masih menyertai kita semua. Tidak hanya warisan fisik yang ia tinggalkan kepada kita semua berupa ribuan lembar wastra Indonesia tetapi juga mewarisi semangat bagi kita semua untuk menjaga kesatuan NKRI yang berlandaskan pada Pancasila dengan mencintai budaya Indonesia.Â
Tidak usahlan mengimpor budaya wastra dari negara lain yang belum cocok bagi kehidupan kita, apalagi memicu perpecahan. Kita sendiri memiliki ada banyak budaya wastra yang belum semua kita kenal, pelajari, pahami, bahkan kita cintai dengan cara memakainya.