Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Teladan Sang Buddha, Bekal Hidup Berbangsa Menghadapi Tahun Politik

29 Mei 2018   02:23 Diperbarui: 29 Mei 2018   11:16 1719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi what-buddha-said.net

Kata "Waisak" hampir pasti diartikan sebagai "tanggal merah." Lebih dari itu, diartikan sebagai Hari Raya Umat Buddha. Ada juga yang mengaitkan dengan "Candi Borobudur," "Patung Buddha," dan biksu atau biksuni. Pandangan seperti itu tidak bisa disalahkan, karena agama sangat dekat dengan simbol.

Walau bukan penganut Buddha, tapi saya pikir Hari Raya Waisak 2562 BE menjadi momentum yang baik untuk refleksi bangsa yang sedang memasuki tahun politik. Nurani kita terasa tersayat dan tercabik ada banyak pejabat mengeruk harta rakyatnya dan menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri serta kelompoknya. Semakin dekat dengan hari pencoblosan, masyarakat seakan ingin dibenturkan dengan isu-isu murahan namun laku dijual oleh para elit partai politik atau kelompok tertentu. Belum lagi soal aksi kaum radikalisme yang memakan banyak korban, tapi justru tindakannya digoreng menjadi bancakan politik oleh petinggi partai.

Waisak adalah hari raya terpenting umat Buddha. Di hari ini, mereka merayakan tiga peristiwa besar dan suci maka disebut "Trisuci Waisak," yakni kelahiran Pangeran Siddharta Gautama, Pencerahan Sempurna yang dialami Pangeran Siddharta sehingga menjadi Buddha, dan wafatnya Siddharta.

Siddhartha Gautama adalah seorang pangeran, anak dari Raja Suddhodhana Gautama yang memerintah dengan adil dan bijak Kerajaan Kapilawastu. Kerajaan ini meliputi Nepal, Bhutan dan daerah Sikh. Kelahirannya sangat istimewa sampai membuat terpesona pertapa Asita yang meramalkan sang bayi akan tumbuh menjadi Buddha Pencerahan yang sempurna, Guru manusia dan para dewa.

Kata-kata pertapa Asita itu membuat Raja Suddhodana tidak tenang. Ia takut kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa. Oleh karena itu, ia dimanjakan dengan beragam nikmat dunia dan dijauhkan dari penderitaan termasuk sakit.

Namun, dalam satu kesempatan, Siddharta berhasil keluar istana bersama kusirnya Channa. Alhasil, ia menyaksikan 4 pengalaman yang membekas di hatinya: melihat orang tua yang sudah bungkuk, orang sakit parah, usungan jenasah yang diiringi ratap tangis, dan melihat sanyasin (pengembara/ orang miskin yang berkeliling) dengan kepala gundul serta mengenakan jubah orange.

Pengalaman tersebut adalah pengalaman penderitaan yang dialami semua orang, yakni sakit, tua, dan meninggal. Siddharta berpendapat, apa yang dialami oleh orang-orang tersebut bukanlah takdir. Ia yang adalah anak raja pun akan mengalaminya. Ia yakin, semua orang bisa merasakan moksha atau lepas dari ikatan duniawi dan putaran reinkarnasi. 

Untuk mencari kebenaran yang dapat mengatasi kesulitan dan kesengsaraan orang di sekelilingnya, suatu malam Siddharta pada umur 29 tahun meninggalkan anak dan isterinya keluar istana untuk bertapa. Ia mencukur rambutnya sampai habis, mengenakan jubah orange, dan pergi mengembara tanpa bekal.

Ada banyak peristiwa, pertemuan, dan pengalaman selama Siddharta mencari jawaban. Singkat cerita, jalan yang ia tempuh adalah dengan bertapa dan mati raga (askese). Mati raga yang ia jalani adalah "jalan tengah" yakni tidak terlalu ekstrim tetapi juga tidak terlalu kendor/ longgar. Alhasih di tengah laku tapanya di bawah pohon rimbun, Siddarta mencapai Penerangan atau Bodhi setelah berhasil menghalau segala macam godaan duniawi. Kini pohon yang menaungi Siddarta tersebut disebut pohon bodhi.

Belajar dari Sang Buddha

Jalan hidup Siddharta sampai mencapai Buddha yang terangkum dalam Hari Raya Waisak begitu menginspirasi banyak orang. Tidak hanya bagi umat Buddha, tapi siapa pun khususnya bagi kita semua. Ia yang lahir dari keluarga berada, secara sadar mau meninggalkan semuanya untuk mencari kebenaran bagaimana kita lepas dari kefanaan hidup.

Inti dari pencariannya ada pada Sifat Agung Buddha yang utama yakni kebijaksanaan dan cinta kasih yang tertuju kepada semua makhluk. Umat Buddha dipanggil untuk menyayangi semua makluk, manusia, hewan, tumbuhan dan segala sesuatu di alam semesta ini. Sifat ini mengantar kita pada ketenangan dan kedamaian Buddha. Itulah mengapa, ajaran Buddha bukan hanya di ucapan, tetapi harus dipraktikkan dalam kehidupan nyata.

Lalu kenapa masih ada penderitaan? Sumber penderitaan adalah nafsu. Orang yang mengumbar napsu duniawi pasti hidupnya akan jauh dari cinta kasih sehingga tidak merasakan kedamaian, ketenangan, dan menderita. Jangan biarkan napsu menjadikan kita serakah pada harta. Jangan biarkan napsu berkuasa membuat kita enteng lidah untuk menjelek-jelekkan dan membenci orang atau kelompok lain. Hindari sikap ekstrim sebagaimana diteladankan Sang Buddha sehingga kita tidak jatuh pada radikalisme yang justru menjauhkan diri dari sifat welas asih.

Kebijaksanaan dan cinta kasih tampak dari kesederhanaan. Lihatlah bagaimana Buddha meninggalkan kenikmatan duniawi yang tersaji di istana dan memilih mati raga dan bertapa. Ini juga rasanya diajarkan oleh semua agama. Apalagi saat ini, umat Muslim juga tengah menjalani Ibadah Puasa yang intinya juga membuang hawa napsu dan memperbanyak perbuatan kasih baik pada sesama maupun kepada Allah melalui ibadah.

Kesederhanaan bukanlah sesuatu yang tampak dari luar, melainkan bagian dari jiwa yang bisa terlihat dan dirasakan oleh orang lain. Ketika amarah tengah memuncak, sikap sederhana yang terpancar dalam sikap cinta kasih takkan membiarkan hubungan dua orang insan manusia terputus.

Paulo Coelho, seorang pengarang, mengatakan bahwa kesederhanaan bukan terletak pada pakaian yang kita kenakan, melainkan pada cara kita mengenakannya. Bukan pada cara kita mengayunkan pedang, melainkan pada dialog yang kita lakukan untuk menghindari perang. Semakin dekat hati kita dengan kesederhanaan, semakin dia sanggup mencintai dengan bebas, tanpa rasa takut. Dan semakin dia bisa mencitai tanpa rasa takut, semakin besar pula kemampuannya untuk menunjukkan jati dirinya dalam setiap tindakannya.

Siddharta pun sampai pada akhir hidupnya. Sekitar 45 tahun ia menyebarkan ajarannya dengan mengembara, pada umur 80 tahun ia meninggal di pangkuan Ananda, sepupu sekaligus murid terkasihnya. Warisan terakhir yang ia ucapkan adalah, "Kehancuran itu suatu kepastian dari setiap hal. Usahakanlah keselamatan dirimu dengan tekun."

Mari meneladan Sang Buddha dengan berbuat kasih dalam hidup sederhana, mulai dari diri sendiri, keluarga, tetangga, sampai memberi sumbangsih pada kesatuan Indonesia yang kita cintai bersama ini.

Saya sendiri bersyukur bisa mencecap sedikit ajaran Sang Buddha dalam dunia akademis. Pada kesempatan ini, saya pun mengucapkan Selamat Merayakan Hari Raya Waisak 2018 bagi yang merayakannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun