Inti dari pencariannya ada pada Sifat Agung Buddha yang utama yakni kebijaksanaan dan cinta kasih yang tertuju kepada semua makhluk. Umat Buddha dipanggil untuk menyayangi semua makluk, manusia, hewan, tumbuhan dan segala sesuatu di alam semesta ini. Sifat ini mengantar kita pada ketenangan dan kedamaian Buddha. Itulah mengapa, ajaran Buddha bukan hanya di ucapan, tetapi harus dipraktikkan dalam kehidupan nyata.
Lalu kenapa masih ada penderitaan? Sumber penderitaan adalah nafsu. Orang yang mengumbar napsu duniawi pasti hidupnya akan jauh dari cinta kasih sehingga tidak merasakan kedamaian, ketenangan, dan menderita. Jangan biarkan napsu menjadikan kita serakah pada harta. Jangan biarkan napsu berkuasa membuat kita enteng lidah untuk menjelek-jelekkan dan membenci orang atau kelompok lain. Hindari sikap ekstrim sebagaimana diteladankan Sang Buddha sehingga kita tidak jatuh pada radikalisme yang justru menjauhkan diri dari sifat welas asih.
Kebijaksanaan dan cinta kasih tampak dari kesederhanaan. Lihatlah bagaimana Buddha meninggalkan kenikmatan duniawi yang tersaji di istana dan memilih mati raga dan bertapa. Ini juga rasanya diajarkan oleh semua agama. Apalagi saat ini, umat Muslim juga tengah menjalani Ibadah Puasa yang intinya juga membuang hawa napsu dan memperbanyak perbuatan kasih baik pada sesama maupun kepada Allah melalui ibadah.
Kesederhanaan bukanlah sesuatu yang tampak dari luar, melainkan bagian dari jiwa yang bisa terlihat dan dirasakan oleh orang lain. Ketika amarah tengah memuncak, sikap sederhana yang terpancar dalam sikap cinta kasih takkan membiarkan hubungan dua orang insan manusia terputus.
Paulo Coelho, seorang pengarang, mengatakan bahwa kesederhanaan bukan terletak pada pakaian yang kita kenakan, melainkan pada cara kita mengenakannya. Bukan pada cara kita mengayunkan pedang, melainkan pada dialog yang kita lakukan untuk menghindari perang. Semakin dekat hati kita dengan kesederhanaan, semakin dia sanggup mencintai dengan bebas, tanpa rasa takut. Dan semakin dia bisa mencitai tanpa rasa takut, semakin besar pula kemampuannya untuk menunjukkan jati dirinya dalam setiap tindakannya.
Siddharta pun sampai pada akhir hidupnya. Sekitar 45 tahun ia menyebarkan ajarannya dengan mengembara, pada umur 80 tahun ia meninggal di pangkuan Ananda, sepupu sekaligus murid terkasihnya. Warisan terakhir yang ia ucapkan adalah, "Kehancuran itu suatu kepastian dari setiap hal. Usahakanlah keselamatan dirimu dengan tekun."
Mari meneladan Sang Buddha dengan berbuat kasih dalam hidup sederhana, mulai dari diri sendiri, keluarga, tetangga, sampai memberi sumbangsih pada kesatuan Indonesia yang kita cintai bersama ini.
Saya sendiri bersyukur bisa mencecap sedikit ajaran Sang Buddha dalam dunia akademis. Pada kesempatan ini, saya pun mengucapkan Selamat Merayakan Hari Raya Waisak 2018 bagi yang merayakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H