Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Kedai Kopi Apek, Cerminan Budaya Indonesia yang Mengharamkan Terorisme

20 Mei 2018   14:23 Diperbarui: 6 Maret 2020   20:40 3023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut Suyanti, cita rasa kopi yang disajikan masih sama seperti sedia kala. Kopi robusta diseduh dengan air mendidih ke cangkir tanah liat yang tampaknya sudah sangat tua. "Dari dulu takaran kopi dan rasanya tetap sama. Yang penting rasanya tetap dijaga. Mungkin karena itulah orang tetap betah datang kemari," jelas Suyanti.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Sejarah mencatat, sebagaimana disampaikan Antropolog Universitas Negeri Medan Usman Pelly di arsip Kompas, tradisi minum kopi di warung kopi di Medan tak lepas dari predikat Medan sebagai kota Paris van Sumatera yang metropolis sejak abad 19. 

Kafe-kafe di Kota Paris yang populer sejak abad ke-18 diduga turut memengaruhi budaya di Medan. Ditambah, Medan juga menyediakan bahan baku kafe tersebut, di sinilah budaya agraris berperan.

Jan Breman dalam buku "Menjinakkan Sang Kuli" menulis, sebelum abad ke-19 saat investasi dunia pada perkebunan tembakau meledak di Medan, sering satu meja di Medan dikelilingi tujuh orang tamu yang mewakili beragam bangsa, yaitu Belanda, Rusia, Jerman, Denmark, Inggris, Polandia, berkebangsaan Swiss, dan Norwegia. 

Para pemilik dan profesional perkebunan dari London Sumatra Company atau Harrison Crossfield dari berbagai penjuru dunia menjadi pelanggan kedai kopi di Medan, termasuk Kedai Kopi Apek.

Menurut saya, di titik inilah kita bisa menarik salah satu kesimpulan tentang budaya asli Indonesia. Warga Indonesia menghayati budaya agraris yang satu sama lain guyub, ringan tangan untuk membantu dalam balutan gotong royong, ramah, dan penuh kekeluargaan. 

Keguyuban itu terasa kental dalam tradisi minum kopi di warung-warung kopi. Di sanalah beragam orang dari latar belakang berbeda dapat melepas tawa, berdiskusi tentang situasi terkini termasuk politik, melepas lelah dan penat, saling mengenal satu sama lain, bahkan di banyak kasus dari bincang-bincang itu terungkaplah ada warga yang butuh pertolongan dan akhirnya dibantu. Melalui tradisi minum kopi di warung kopi inilah budaya kehidupan tumbuh dan berkembang.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Pengalaman reflektif di Kedai Apek, membuat saya sadar ada perbedaan nyata antara kedai kopi atau warung kopi dengan cafe. Cafe yang mengusung budaya modern lebih individualis, masing-masing datang entah untuk ketak ketik di laptop, chating sambil kuping disumpel earphone, sampai ketemuan bisnis. Apapun alasannya, satu yang menurut saya menjadi tujuan kita sekarang ke cafe adalah mengikuti tren lifestyle. 

Kalau gak ngafe, bukan orang zaman now. Apalagi datang ke cafe yang terkenal, di sana mungkin tujuannya hanya untuk foto kopi dengan cup merk cafe tersebut dan mempostingnya ke medsos. Perubahan ini membuat kehangatan kedai kopi ala kampung asli Indonesia sudah mulai memudar di terjang arus zaman.

Ada baiknya kita kembali disadarkan untuk kembali ke akar budaya kita, yakni budaya agraris yang terbuka dan salah satu perwujudannya adalah dengan kumpul ngopi bareng di kedai atau warung kopi. 

Kedai Kopi Apek telah memberikan bukti nyata dan kesaksian hampir seabad bagaimana kedai kopi mampu menyatukan keberagaman. Di sanalah budaya kehidupan terpelihara baik. Hal seperti ini menjadi sangat berharga di tengah isu radikalisme dalam agama dan tindak terorisme yang membawa budaya kematian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun