Dari sisi liturgi, Natal adalah perayaan terbesar kedua umat kristen setelah Paskah. Namun dari segi kemeriahan, khususnya di Indonesia, tampak Hari Raya Natal lebih banyak menyedot perhatian. Sampai-sampai, pemberitaan di banyak media massa menjadi tidak lagi fokus pada Natal itu sendiri, tetapi beralih ke isu lain.
Romo Benedictus Hari Juliawan SJ, dalam kotbah malam natal di Kolese Kanisius Jakarta (24/12/2017), mengatakan bahwa dalam rangka mempersiapkan renungan ia mengetik kata "Natal" di Google, maka yang keluar ada kata "Monas" mendampingi kata Natal.Â
Tampaknya, ini terjadi sekitar seminggu terakhir, ketika ada wacana perayaan natal bersama akan dilaksanakan di Monas. Dari sini, perayaan Natal malah disusupi dengan isu politik.
Menjelang Natal, pemberitaan yang ramai juga menyinggung isu sensitif. Selalu saja ada yang mengangkat, haram atau tidak mengucapkan selamat natal kepada yang merayakannya?Â
Bahkan ada berita, toko kue menolak orang  yang ingin membeli kue yang diberi tulisan "Selamat Hari Natal." Orang itu mengatakan, "Kami memang sudah komitmen dari awal ya, perusahaan berdiri. Toko kue dan roti kami memang tidak menerima pembuatan ucapan Natal. Sampai di sini saja kemampuan kami."
Natal ternyata juga dekat dengan isu keamanan dan ancaman terorisme. Parameter perayaan Natal berhasil atau tidak adalah terjaminnya keamanan. Hal yang biasanya diangkat adalah, berapa jumlah aparat keamanan yang disiagakan baik Polri maupun TNI, ada berapa ormas yang terlibat, bahkan di kalangan internal Gereja ada pengumuman untuk datang jauh sebelum perayaan dimulai karena akan ada pemeriksaan.
Selain itu, lini massa berbasis cetak maupun internet juga kerap dihebohkan dengan himbauan untuk tidak memakai atribut Natal bagi yang bukan beragama Kristen. Biasanya, para pegawai di pusat perbelanjaan kerap menggunakan atribut Natal untuk menarik pembeli. Bahkan, ada ancaman dari ormas untuk sweepingjika himbauan ini tidak diindahkan. Menolak memakai atribut natal, tapi apakah juga menolak uang dari yang natalan?
Saya jadi bertanya diri, kenapa setiap Natal kok heboh benar negara ini. Sebenarnya ada apa dengan Natal? Saudara-saudariku semuanya, Natal itu hanyalah hari kelahiran. Titik. Ada bayi yang lahir, mungil, lucu, menggemaskan.Â
Apa yang membuat kita semua heboh, gusar, takut, tidak nyaman, bahkan mengeluarkan banyak energi terhadap bayi tidak berdaya ini? Seberbahaya apakah si bayi ini sampai harus mengerahkan segenap kekuatan aparat keamanan? Sekuat apakah bayi ini sampai ada ancaman dari para teroris?
Natal itu jauh dari hingar bingar tersebut. Natal adalah mengenangkan kembali kelahiran seorang bayi mungil nan lucu dan diberi nama Yesus. Kelahiran-Nya terjadi dalam sunyi, di kandang hewan, hanya ditemani para gembala, diiringi nyanyian jangkrik dan kemerlip bintang. Tidak ada pejabat yang datang, tidak ada dokter atau bidan, tidak ada apa-apa.
Sederhananya, kami sedang merayakan hari lahir Yesus. Sebagaimana ada bayi yang lahir di tengah-tengah hidup kita, maka ada segenap suka cita, ada kegembiraan, ada doa pujian dan syukur, ada pula harapan supaya hidup kami berubah menjadi lebih baik.Â
Bayangkan, kehadiran bayi dalam keluarga bisa mengubah kebiasaan ayahnya yang perokok berat menjadi berkurang atau bahkan tidak merokok lagi demi bayinya. Artinya, kehadiran bayi melecut kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik, apalagi ini yang lahir Yesus yang kami yakini sebagai Tuhan.
Kehadiran bayi membuat orang di sekitar kita juga akan bergembira. Contohnya, ada tetangga yang baru saja punya bayi. Maka kita, saudara-saudaranya, teman kantor, atau siapa saja akan datang memberi selamat.Â
Ada yang membawa kado. Ada pula yang mendoakan supaya bayi dan keluarga diberi kebahagiaan. Padahal belum tentu yang mendoakan seagama dengan yang punya bayi. Inilah normalnya menanggapi orang yang sedang Natal, atau sedang merayakan kelahiran bayi.Â
Saya tidak akan membahas teknis teologis, baik itu dari mereka yang "menolak" Natal atau juga melakukan pembelaan melalui pendekatan teologis Gereja. Tidak. Ini akan menjadi urusan menjadi tambah tidak karuan. Perayaan Natal adalah perayaan akan kelahiran seorang bayi. Kehadirannya membawa damai, tenang, ketulusan, senyum, kepolosan, dan tentu membawa harapan.
Maka marilah kita, paling tidak saya mengajak diri saya sendiri untuk meresapi kehadirannya itu. Dengan demikian, saya pun terpanggil untuk membawa damai, ketenangan, ketulusan, senyum, kepolosan, dan berharap kehadiran saya membawa harapan. Saya berharap, nilai-nilai Natal ini yang harusnya menjadi pemberitaan mayoritas di media, baik itu cetak, online, bahkan di media sosial.
Jika demikian, maka tepatlah tema natal yang diangkat dalam perayaan Malam Natal di Kolese Kanisius, "Hendaklah Damai Sejahtera Kristus, Memerintah Dalam Dirimu." Tema ini sekaligus menjadi doa bagi kita semua supaya damai yang dibawa Yesus dalam kelahirannya yang sederhana diteruskan kepada siapa saja.
Selamat Natal, Tuhan Memberkati, Berkah Dalem!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H