Membicarakan Jepang sebagai sebuah negara maju sudah biasa. Menyebut Jepang sebagai negara yang memiliki alam yang indah juga sudah tidak lagi asing. Ada banyak orang Indonesia menuliskan hal itu setelah pulang berkunjung dari sana. Namun bagi saya, yang luar biasa itu adalah bagaimana sebuah negara maju tetapi bisa tetap melestarikan alamnya.
Melihat Jepang adalah melihat sebuah cara baru bagaimana menilai sebuah negara maju. Negara yang maju tidak lagi dilihat sekadar seberapa hebat bangunan fisik yang dibuat, sudah bermain ke industri manufaktur, nilai kursnya tinggi, masyarakatnya makmur, dan lain sebagainya. Kini negara bisa dibilang maju jika kemajuan industrinya diikuti dengan melestarikan alam dan budaya.
Saat saya pergi ke Sapporo bersama isteri dan rombongan kakak, tampak sekali bagaimana industri dapat berjalan beriringan dengan alam dan budaya. Berjalan kaki di Sapporo yang adalah ibu kota Prefektur Hokkaido ini tidak melelahkan. Selain sudah memasuki musim gugur, juga karena ada banyak pohon rindang di sepanjang jalan. Bahkan, kota berpenduduk terbanyak nomor empat di Jepang itu terkenal dengan sebutan "kota taman." Salah satu taman yang kami kunjungi adalah Taman Odori yang berada di pusat kota.
Pemandangan serupa juga kami temui saat mengunjungi Otaru. Kota yang dulu terkenal sebagai kota pelabuhan itu menjadi habitat bagi burung camar. Para wisatawan tidak merasa terganggu dengan kehadiran burung camar yang terbang melintas kanal, di mana wisatawan bisa menyewa kapal menyusuri sungai. Para burung pun tidak segan untuk bertengger di tiang-tiang lampu. Mereka tampak tidak takut diganggu orang yang tengah menikmati suasana sore, sambil memandang langit yang semakin membiaskan warna jingga. Â
Otaru menunjukkan kepada kita bahwa kota pelabuhan tidak segersang yang ada di banyak di pikiran kita. Ada banyak pohon tumbuh di sini. Burung dan hewan liar lain pun bisa hidup dengan bebas, berdampingan dengan hiruk pikuk aktivitas manusia. Hal senada juga kami rasakan ketika pergi ke Air Terjun Ginga no Taki yang terletak di Sounkyo, Sapporo.
Pemandangan Air Terjun Ginga no Taki sejujurnya biasa saja. Bahkan ada banyak air terjun di Indonesia yang jauh lebih bagus. Namun Ginga no Taki menjadi tampak istimewa karena mendapat anugerah musim gugur, sehingga pemandangannya menjadi sangat indah. Apalagi bagi kita yang tinggal di daerah tropis.
Kami memang mengejar moment musim gugur di Jepang, khususnya di daerah Sapporo yang katanya terkenal dingin sepanjang tahun. Namun, perjalanan ke Ginga no Taki membuat saya bertanya-tanya, kenapa ada banyak rambu hewan di sepanjang perjalanan. Menurut, sopir yang  mengantar kami, memang masih ada banyak hewan liar yang hidup di hutan, di kanan-kiri jalan raya. Habitat mereka masih terjaga dengan baik, dan tetap menjadi ikon Hokkaido.
Ada rambu Beruang Cokelat Hokkaido, Rusa Sika Hokkaido, Hokkaido Red Fox atau Rubah Merah, dan Ezo Fukuro yakni sub-spesies lokal dari Ural Owl (burung hantu). Hewan-hewan ini tidak sekadar menjadi simbol daerah atau kota, tetapi mereka benar-benar ada dan dijaga kelestariannya. Hokkaido yang terkenal dengan industri pertaniannya, tidak pernah mengusik habitat hewan-hewan ini. Ada batas yang jelas antara lahan pertanian, industri, dan habitat flora serta faunanya.
Di malam terakhir di Sapporo, saya dikejutkan oleh ikan koi yang hidup di sungai. Saat itu saya sedang menunggu istri saya berjalan dari mini market. Di pinggir jalan ada sungai yang adalah anak sungai Toyohira River. Iseng-iseng melihat sungai, kok seperti ada yang bergerak. Saat saya perhatikan ternyata ada 5 ikan koi besar sedang berenang.
Kalau melihat ikan koi yang hidup di sungai hanya dilihat dalam satu frame, memang hal tersebut menjadi tidak asing lagi. Tetapi, kalau pengalaman ini disatukan dengan pengalaman sebelumnya maka ini baru luar biasa. Kita bisa melihat sebuah struktur pengalaman yang menegaskan bagaimana Jepang mampu menjadikan negaranya maju tetapi tetap memajukan alam dan budayanya. Bukan hanya dilestarikan, tetapi alam dan budaya justru ditingkatkan. Karena mereka tahu, alam dan budaya adalah daya tarik para wisatawan untuk datang. Sedangkan kemajuan teknologi, adalah daya tarik produknya diterima di luar Jepang.
Pengalaman pergi ke Jepang membuat saya berkeyakinan, bahwa secara potensi Indonesia jauh lebih indah. Kota Jakarta pun sebenarnya bisa seindah Sapporo atau Tokyo. Apalagi, konsep Hutan Kota yang telah dinormakan bisa dijalankan. Kata kuncinya adalah kehendak yang kuat dan konsistensi dari pemimpin daerahnya untuk mendorong masyarakatnya untuk bersama-sama mewujudkan hutan kota.
Keberadaan hutan kota sangat vital untuk menyangga kehidupan, tidak hanya manusia tetapi flora dan fauna yang ada di kota tersebut. Dengan adanya hutan kota, maka kita bisa menjalankan tata air dengan baik, memberikan udara yang bagus, menurunkan suhu mikro, mengurangi polusi suara dan tentunya meningkatkan kualitas hidup.
Norma hutan kota telah termaktup dalam  Peraturan Pemerintah No.63 tahun 2002 tentang Hutan Kota. Di sana dikatakan, sebuah kota seharusnya memiliki hutan kota paling sedikit 10% dari luas total wilayahnya. Hutan tersebut tidak harus berada dalam satu lokasi. Bisa terpencar-pencar di setiap sudut kota. Syarat suatu kumpulan pepohonan bisa dijadikan hutan kota antara lain memiliki luas minimal 0,25 ha.
Pemda DKI Jakarta pun punya aturannya. Luas total hutan kota di Jakarta yang telah ditetapkan berdasarkan SK Gubernur mencapai 149,76 ha. Masih terlalu timpang bila dibandingkan dengan luas wilayah DKI Jakarta yakni 66.233 ha. Bila dipersentasekan luasan tersebut hanya sekitar 0,23%. Hutan kota di Jakarta tersebar di 15 titik, terdiri dari Jakarta Pusat 1 titik, Jakarta Utara 4 titik, Jakarta Barat 1 titik, Jakarta Timur 6 titik, dan Jakarta Selatan 2 titik.
Berbicara hutan kota berarti kita bicara menciptakan sebuah ekosistem. Mari kita masuk dulu ke habitat yang sudah ada, misalnya Sungai Ciliwung. Berdasarkan catatan Komunitas Peduli Ciliwung (KPC-Bogor), dari 33 spesies ikan yang teridentifikasi hidup di sungai Ciliwung, maka spesies ikan asli di sungai Ciliwung saat ini hanya tinggal sekitar 20 jenis saja. Penelitian ini dilakukan selama periode 2009 - 2011 di 18 titik pengamatan di sepanjang sungai Ciliwung. Jumlah ini jauh dari data LIPI yang menyebutkan pada era 1910-an jumlah spesies ikan yang hidup di sungai Ciliwung diperkirakan mencapai 187 jenis.
Ada banyak ikan yang punah dan jarang terlihat tidak terlepas dari kondisi kualitas air yang buruk. Limbah rumah tangga dan industri menjadi momok mengerikan bagi keberlangsungan ikan-ikan di Sungai Ciliwung. Bagitu juga dengan beragam vegetasi khas di sungai yang membelah Jakarta ini.
Kondisi yang dialami Sungai Ciliwung juga dirasakan oleh Salak Condet (Salacca edulis cognita) dan Elang Bondol (Haliastur indus). Padahal keduanya adalah maskot Provinsi DKI Jakarta dan Bus Transjakarta, yang seharusnya menjadi tumbuhan dan hewan yang paling lestari. Namun kondisinya cukup memprihatinkan.
Salak condet sendiri memiliki nama belakang Condet karena banyak tumbuh dan tersebar di daerah Condet seperti Kelurahan Balekambang, Kelurahan Batu Ampar dan Kelurahan Gedong, Jakarta Timur. Kini tumbuhan yang dulu tumbuh di pekarangan tiap rumah, kalah bersaing dengan permukiman. Penduduk di tiga kelurahan tersebut sudah semakin padat.
Hal yang sama juga dialami Elang Bondol atau juga dikenal dengan Lang Lang Merah atau Elang Tembikar. Sang Maskot juga sudah semakin sulit untuk dijumpai. Habitat utama burung Elang bondol adalah daerah pesisir pantai, hutan mangrove, rawa-rawa, dan danau di daerah dataran rendah hingga ketinggian 3000 meter dpl. Di Jakarta sendiri Elang Bondol dapat ditemui di gugusan Kepulauan Seribu yang merupakan wilayah Kabupaten Administratif dari Jakarta
Yang kita butuhkan sekarang adalah langkah konkret. Kerja dan bekerja secara bersama dengan seluruh elemen untuk mewujudkan sebuah kota yang benar-benar nyaman untuk semua makhluk hidup. Sudah tidak zamannya lagi melihat kemajuan kota dari banyaknya asap yang mengepul dari aktivitas kendaraan bermotor dan beragam pabrik.
Hal tersebut adalah pendekatan kuno. Sudah menjadi negara yang belum maju, eh lingkungannya malah kotor. Tingkat kesejahteraan masyarakat belum tinggi tetapi tempat tinggalnya juga tidak nyaman. Hal ini membuat kita menjadi tidak sehat secara jasmani dan rohani, fisik dan jiwa.
*Tulisan ini juga ada di Blog Pribadi, ONEtimes.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H