Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ingin Punya Rumah, Malah Dipecat!

17 Oktober 2017   14:59 Diperbarui: 17 Oktober 2017   15:04 1632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kebutuhan primer, sekunder dan tersier adalah 3 hal yang tidak asing bagi kita. Khususnya bagi  kita yang hidup dalam pendidikan di era Orde Baru. Di usia Sekolah Dasar, kita dituntut untuk memahami bahwa manusia memiliki 3 kebutuhan primer yang harus dipenuhi, yakni pangan, sandang, dan papan.

Dulu saya berpikir, untuk menjadi manusia yang seutuhnya, maka harus bisa makan, berpakaian dan memiliki rumah. Namun pada kenyataannya, tidak semua teman-teman saya memenuhi ketiganya. Termasuk saya. Tentunya ada banyak yang bisa makan. Untuk berpakaian, itu sudah pasti. Tapi untuk memiliki rumah sendiri, jelas tidak dengan sendirinya. Keluarga saya pun waktu itu masih numpang di rumah pakde.

Entah pikiran dari mana, saya mengambil kesimpulan kalau ada teman yang bisa memenuhi pangan, sandang dan papan berarti dia adalah orang kaya. Pemikiran yang sangat sederhana dari seorang bocah SD. Padahal, ini baru membicarakan kebutuhan primer. Kalau primer beres saja sudah dibilang orang kaya, bagaimana dengan mereka yang telah mencicipi ragam fasilitas tersier?

Kini, setelah 20an tahun berlalu, ternyata apa yang saya pikirkan itu masih relevan. Untuk batasan tertentu, mereka yang berhasil punya rumah sendiri masuk dalam kriteria orang kaya. Saya katakan relevan, karena masih banyak penduduk Indonesia yang tidak memiliki rumah.

Data Kementerian Keuangan tahun 2017 sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, hanya 40 persen dari 250 juta penduduk Indonesia yang mampu membeli rumah tanpa bantuan pemerintah. Lalu, 40 persen lainnya mampu membeli tetapi mendapat bantuan dari pemerintah. Dan sisanya, 20 persen atau sebanyak  50 juta lainnya tidak dapat membeli rumah sekalipun ada subsidi.

Menurut Sri, kita setidaknya membutuhkan perumahan 800 ribu hingga satu juta unit per tahun. Namun, dari jumlah tersebut, yang bisa terpenuhi hanya 60 persen. Artinya, terjadi backlog atau kekurangan pasokan sekitar 400 ribu per tahun. APBN untuk memenuhi kebutuhan itu terbatas.

Bagaimana dengan di Jakarta? Ternyata data dari BPS tahun 2016 menunjukkan, separuh penduduk DKI Jakarta atau 48,91 persen penduduk tidak mempunyai bangunan atau rumah atau tempat tinggal milik sendiri. Inilah realitas yang dialami negara kita sekalipun sudah 72 tahun merdeka. Rumah atau papan yang harusnya menjadi kebutuhan dasar tetapi kenyataannya menjadi barang yang mewah, bahkan untuk rumah sederhana.

Melihat realitas ini tampaknya kita sepakat kalau rumah menjadi persoalan bersama yang patut disikapi serius. Pemerintah sendiri sudah menunjukkan usahanya untuk mengatasi kekurangan perumahan melalui program 1 juta rumah. Selain itu, pemerintah menggandeng swasta untuk bersama-sama mengatasi persoalan ini. Berikutnya yang harus turun tangan adalah diri kita sendiri. Kita harus punya tekad dan usaha lebih untuk melecut diri sendiri supaya memiliki rumah.

Usaha swasta sangat jelas terlihat dari berbagai perhelatan pameran rumah. Ada banyak program menarik ditawarkan supaya banyak masyarakat berminat membeli rumah dan dibantu untuk memilikinya. Salah satu lini swasta yang memberikan bantuan bagi masyarakat Indonesia untuk memiliki rumah adalah Maybank.

Sebagai salah satu bank terbesar di Indonesia dan memiliki jaringan di luar negeri, Maybank memiliki layanan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Fasilitas ini memungkinkan kita untuk dibantu dalam membiayai pembelian ragam properti, seperti rumah, apartemen, kavling, ruko, rukan, konstruksi sampai renovasi rumah.  

Ada banyak produk Maybank KPR yang ditawarkan sebagaimana tercantum di dalam websitenya www.maybank.co.id. Pertama, KPR Floating Rate yang memberikan bunga fair dan transparan dari awal kredit berdasarkan SBI 12 bulan + 3,25 persen. Bebas penalti, bebas iuran tahunan Maybank Kartu Kredit selama masa kredit.   

Kedua, Maybank KPR tenor hingga 30 tahun yang membuat cicilan KPR kita menjadi lebih ringan. Pihak Maybank juga menyediakan berbagai skema pilihan bunga. Ketiga, Maybank KPR Bebas Bunga. Hal ini memungkinkan karena Maybank KPR dibundling dengan Tabungan Maybank, dimana bunga tabungan bisa mengurangi beban bunga KPR hingga bebas bunga.

Keempat, KPR Take Over. Jika kita merasa terbebani dengan sistem KPR dari bank lain, dan mengalihkan KPR ke Maybak KPR, maka kita akan mendapatkan tambahan dana untuk berbagai kebutuhan. Terkait hal ini kita dibebaskan dari biaya provisi dan biaya administrasi kredit.

Kelima, Maybank KPR Plus yang menawarkan sistem pembayaran cicilan dan rekening koran dalam satu fasilitas. Sistem ini menjadikan porsi rekening koran bisa dilunasi dan digunakan kapan saja. Keenam, Rumah Syariah iB. Dengan ini kita bisa memilih jenis angsuran tetap atau tidak tetap yang menyesuaikan dengan kondisi pasar, semuanya tersedia untuk memberikan rasa nyaman dan tenang.

Ketujuh, Rumah Syariah Multiguna, yakni fasilitas pembiayaan yang dapat digunakan untuk beragam kebutuhan konsumsi dan take over. Kedelapan, Maybank KPR Bunga Special yang dapat digunakan untuk membiayai pembelian rumah, apartemen, kavling, ruko, rukan, konstruksi atau renovasi rumah. Pembelian rumah dapat melalui developer, agen properti bahkan perorangan.

Terakhir adalah fasilitas yang multiguna untuk membiayai berbagai kebutuhan kita. Fasilitas kredit ini bisa untuk membiayai biaya pendidikan, pembelian mobil, pernikahan dengan jaminan rumah, apartemen, atau ruko.

Kuncinya Ada Pada Diri Sendiri  

Sedari awal kita sudah sadar kebutuhan akan papan adalah kebutuhan dasar. Pada kasus saya, berkat tekanan kehidupan, dari usia belia sudah terpikirkan bahwa memiliki rumah sendiri adalah sesuatu yang "mewah." Ternyata, pemerintah pun menyadarinya. Untuk itu, pemerintah saat ini menggelontorkan program 1 juta rumah. Namun, pemerintah tidak mampu menanggung amanah ini sendirian, maka digandenglah swasta. Berkaca pada Maybank dari sektor swasta, ternyata dari 1 bank saja memiliki banyak sekali fasilitas kredit, utamanya Maybank KPR, yang memungkinkan kita untuk bisa punya rumah. Nah menurut saya, sekarang tergantung dari diri sendiri apakah punya kemauan dan tekad yang kuat untuk mewujudkan kebutuhan primer: pangan, sandang, dan papan.

Pengalaman saya mengatakan bahwa punya rumah itu menuntut perjuangan ekstra. Di masa awal mulai bekerja, saya numpang di 2 tempat. Pertama di rumah  teman di daerah Parung, lalu numpang di rumah saudara sepupu di Bogor. Kala itu, saya sudah bertekad, sebelum 5 tahun kerja saya harus sudah punya rumah sendiri.

Untuk hemat waktu dan biaya transportasi maka saya ngekos di dekat kantor di Jakarta. Yang dulunya Bogor-Jakarta PP, sekarang bisa jalan kaki ke kantor. Ongkos bisa ditabung untuk beli rumah. Cita-cita mulia, tetapi apa daya, baru setahun kerja saya dipecat.

Saat itu, saya sempat kecewa dan drop. Namun keinginan punya rumah, membangkitkan kembali semangat kerja. Saya langsung direkrut untuk bekerja di perusahaan komunikasi sampai saat ini. Rumah yang menjadi impian saya adalah rumah tapak, bukan apartemen. Pengalaman saya menginap di apartemen, justru menguatkan saya untuk memiliki rumah tapak.

Seperti namanya, rumah tapak membuat saya benar-benar merasakan menapak bumi. Kaki dan tangan merasakan kehangatan tanah di saat saya bercocok tanam. Pori-pori dan hidung merasakan kesegaran yang dikeluarkan berbagai pohon yang saya tanam di pekarangan. Pertimbangan ini membuat saya harus menerima keadaan bahwa saya tidak akan mungkin punya rumah di Jakarta. Saya pasti tidak mampu membeli rumah tapak idaman di Jakarta karena mahal. Paling mungkin adalah apartemen, jika ingin menetap di Jakarta. Tetapi itu bukan pilihan saya.

Memasuki tahun ketiga, hal yang tidak terduga datang. Saya mendapat tawaran dari saudara sepupu saya untuk over kredit rumahnya di daerah Cimahpar, Kota Bogor. Tidak mau lama-lama untuk kaget, kurang dari 1 bulan, saya langsung mengamini tawaran tersebut.

Apakah saya tergolong orang kaya, sebagaimana saya gambarkan saat masih SD? Tidak! Gaji saya hanya sedikit di atas UMR. Saya punya bonus di akhir tahun yang besarnya tergantung dari performa kerja dan proyek yang saya kerjakan. Jadi bonus sama sekali tidak bisa dipegang. Namun yang menjadi dasar berpikir saya kala itu, sampai kapan saya harus ngekos? Apalagi biaya kos terus naik tiap tahunnya. Pernah dalam 6 bulan, naik 2 kali. Lalu, buat apa saya terus berhemat dan mengeraskan hati untuk tidak mengikuti gaya hidup di Jakarta yang benar-benar menggoda?

Dari pertimbangan itulah, saya memutuskan menguras tabungan untuk membayar semua biaya yang telah dikeluarkan saudara saya. Mulai dari proses kredit, uang muka, jumlah cicilan yang dibayar, sampai IPL (iuran pemeliharaan lingkungan). Setelah itu meneruskan kredit per bulan.

Uniknya, bank yang mengeluarkan KPR adalah Bank Internasional Indonesia (BII). Yakni bank yang pada 23 September 2015, melalui persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), berubah nama menjadi Bank Maybank Indonesia. Untuk membayar angsuran pun mudah karena kantor saya hanya beda blok dengan BII cabang Grand Wijaya Center, Jakarta Selatan.

Kala itu, pilihan kredit adalah yang paling rasional. Kalau punya uang banyak, pasti saya memilih tunai keras. Karena saya tidak suka menyicil, walaupun banyak orang keuangan menyarankan kalau bisa menyicil sebaiknya menyicil. Saya bukan orang ekonomi, jadi pertimbangannya sebatas mau hidup tenang tanpa terbebani utang. Tapi untuk urusan rumah, tentu beda. Nilainya yang bagi saya mewah, membuat saya memilih kredit. Dan sistem KPR yang menurut saya cukup membantu adalah Maybank KPR. Walau meneruskan dari saudara, karena memberikan manfaat maka saya tidak pindah KPR bank lain.

Orang bilang, untuk membeli rumah memang harus nekat, kalau tidak maka tidak akan pernah punya. Saya pun nekat, tetapi tetap rasional supaya tidak mudah melepasnya kembali. Kalau tidak nekat, mungkin tidak akan bisa membeli rumah. Rumah saya yang awalnya "hanya" Rp. 250 juta, kurang dari 5 tahun harganya sudah menyentuh Rp. 400an juta.

Saya sangat bersyukur bisa memenuhi kebutuhan primer. Pengalaman masa kecil yang diperkaya dengan banyak perjumpaan semakin meyakinkan pentingnya bagi manusia berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kalau tidak mampu, maka ada pihak lain, entah itu pemerintah, swasta atau siapa saja, dan masih ada Tuhan. Satu yang pasti, kita pribadi punya tekad yang bulat dan kuat.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun