Memasuki tahun ketiga, hal yang tidak terduga datang. Saya mendapat tawaran dari saudara sepupu saya untuk over kredit rumahnya di daerah Cimahpar, Kota Bogor. Tidak mau lama-lama untuk kaget, kurang dari 1 bulan, saya langsung mengamini tawaran tersebut.
Apakah saya tergolong orang kaya, sebagaimana saya gambarkan saat masih SD? Tidak! Gaji saya hanya sedikit di atas UMR. Saya punya bonus di akhir tahun yang besarnya tergantung dari performa kerja dan proyek yang saya kerjakan. Jadi bonus sama sekali tidak bisa dipegang. Namun yang menjadi dasar berpikir saya kala itu, sampai kapan saya harus ngekos? Apalagi biaya kos terus naik tiap tahunnya. Pernah dalam 6 bulan, naik 2 kali. Lalu, buat apa saya terus berhemat dan mengeraskan hati untuk tidak mengikuti gaya hidup di Jakarta yang benar-benar menggoda?
Dari pertimbangan itulah, saya memutuskan menguras tabungan untuk membayar semua biaya yang telah dikeluarkan saudara saya. Mulai dari proses kredit, uang muka, jumlah cicilan yang dibayar, sampai IPL (iuran pemeliharaan lingkungan). Setelah itu meneruskan kredit per bulan.
Uniknya, bank yang mengeluarkan KPR adalah Bank Internasional Indonesia (BII). Yakni bank yang pada 23 September 2015, melalui persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), berubah nama menjadi Bank Maybank Indonesia. Untuk membayar angsuran pun mudah karena kantor saya hanya beda blok dengan BII cabang Grand Wijaya Center, Jakarta Selatan.
Kala itu, pilihan kredit adalah yang paling rasional. Kalau punya uang banyak, pasti saya memilih tunai keras. Karena saya tidak suka menyicil, walaupun banyak orang keuangan menyarankan kalau bisa menyicil sebaiknya menyicil. Saya bukan orang ekonomi, jadi pertimbangannya sebatas mau hidup tenang tanpa terbebani utang. Tapi untuk urusan rumah, tentu beda. Nilainya yang bagi saya mewah, membuat saya memilih kredit. Dan sistem KPR yang menurut saya cukup membantu adalah Maybank KPR. Walau meneruskan dari saudara, karena memberikan manfaat maka saya tidak pindah KPR bank lain.
Orang bilang, untuk membeli rumah memang harus nekat, kalau tidak maka tidak akan pernah punya. Saya pun nekat, tetapi tetap rasional supaya tidak mudah melepasnya kembali. Kalau tidak nekat, mungkin tidak akan bisa membeli rumah. Rumah saya yang awalnya "hanya" Rp. 250 juta, kurang dari 5 tahun harganya sudah menyentuh Rp. 400an juta.
Saya sangat bersyukur bisa memenuhi kebutuhan primer. Pengalaman masa kecil yang diperkaya dengan banyak perjumpaan semakin meyakinkan pentingnya bagi manusia berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kalau tidak mampu, maka ada pihak lain, entah itu pemerintah, swasta atau siapa saja, dan masih ada Tuhan. Satu yang pasti, kita pribadi punya tekad yang bulat dan kuat. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H