Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bulan Tertib Trotoar Itu Cara Jadul untuk Tertibkan Masyarakat

2 Agustus 2017   14:10 Diperbarui: 7 Agustus 2017   09:38 1243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Percaya atau tidak, Negara Indonesia itu penuh dengan kegiatan kampanye, gerakan ini, program itu, yang di baliknya terselip anggaran. Memang tujuannya baik, yang rata-rata ingin mewujudkan masyarakat Indonesia yang tertib dan teratur. Tapi senyatanya ada cara lain yang efektif dan efisien, artinya tepat sasaran dan tidak membutuhkan banyak duit.

Gerakan masyarakat tertib yang terbaru keluar dari Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat yang menginisasi kegiatan Bulan Tertib Trotoar selama Agustus 2017. Tujuannya adalah ingin mengembalikan fungsi trotoar untuk pejalan kaki, bebas dari "jajahan" pemotor, pedagang kaki lima, maupun tempat parkir.

Sebelumnya ada kampanye "Bersatu Keselamatan Nomor 1" dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang sudah berjalan beberapa tahun. Kampanye ini senada dengan kegiatan serupa yang rutin dilakukan tiap tahun seperti "Operasi Patuh," "Operasi Simpatik," "Operasi Zebra," dan berbagai kampanye yang disosialisasikan di berbagai media. Apakah ini efektif? Jika ada hasilnya, apakah sebanding dengan biaya yang dikeluarkan?

Menurut saya, sudah saatnya bagi kita untuk mencoba pendekatan baru dalam melakukan kampanye. Tidak cukup hanya dengan menyajikan tontonan "86" atau "OK-JEK." Karena apa yang kita temui di jalanan jauh dari apa yang ditayangkan. Mari kita melakukan pendekatan kampanye dengan melibatkan transportasi online, khususnya ojek.

Kenapa ojek, karena mereka jumlahnya banyak dan memiliki karakter yang kuat. Siapa yang tidak mengenal para pemotor berseragam hijau atau hitam-jingga? Inilah modal bagi kita untuk menempelkan pesan kampanye kepada para pengguna jalan lain. Caranya adalah dengan menggunakan kekuatan simbol. Seragam ojek online adalah simbol yang sangat kuat.

Kekuatan Simbol
Pada dirinya sendiri, simbol itu netral. Pesan yang dibawa simbol, entah netral-positif-negatif tergantung dari siapa yang menyematkan padanya dan tergantung pribadi yang menafsirkannya. Itulah mengapa Professor Ernst Cassirer, penulis buku seri The Phylospohy of Symbolic Forms, menyebut manusia adalah animal symbolicum.

Ada banyak contoh kekuatan-kekuatan simbol dalam kehidupan manusia, karena simbol masuk ke seluruh sendi kehidupan. Sedikit saja gerakan kita sudah menjadi simbol tertentu dan saat kita berucap maka kata atau bahasa kita pun adalah juga simbol. Namun yang ingin saya soroti adalah simbol yang berkorelasi dengan gerak horizontal dan vertikal dalam masyarakat, karena simbol juga berhubungan erat dengan kekuasaan dan berhubungan dengan Yang Di Atas.

Secara horizontal bisa dilihat bagaimana kerasnya reaksi aparat atau penguasa terhadap simbol-simbol tertentu seperti lambang palu arit, bendera bintang kejora, bendera RMS, atau sesuatu yang menunjukkan Gerakan Aceh Merdeka. Secara vertikal juga tidak kalah "seram." Dalam kaitannya dengan ke-Tuhan-an, simbol diartikan sebagai tanda kehadiran Tuhan. Kertas yang ada lafadz Allah jika dibakar oleh seseorang berpotensi menggerakkan massa untuk menggelar aksi protes. Atas nama simbol, aparat bisa mengerahkan kekuatannya untuk menangkap orang. Dan seseorang atau kelompok masyarakat bisa menyerahkan nyawanya untuk membela simbol tertentu.  

Bisa dikatakan, kekuatan simbol pada dasarnya memiliki sifat emotif yang mampu menggerakkan seseorang untuk bertindak. Semakin simbol tersebut disakralkan maka dayanya akan semakin besar, tinggal diarahkan oleh "pemberi makna simbol," mau ke arah konstruktif atau destruktif. Hal ini bisa terjadi karena kita terjebak dalam memahami simbol. Sebagian besar dari kita menganggap bahwa simbol adalah substansi, padahal dia hanyalah entitas fisik.

Ojek Online Sebagai Simbol
Namun demikian, kita bisa memanfaatkan kekuatan simbol ini untuk menertibkan masyarakat Indonesia. Salah satu caranya adalah menggandeng semua perusahaan transportasi online, terutama ojek. Pemerintah, dalam hal ini bisa Polri dan Kementerian Perhubungan, bisa mewajibkan semua mitra ojeknya untuk menaati seluruh peraturan lalu lintas. Jika melanggar maka akan diberi sanksi, jika patuh akan dapat apresiasi yang bentuknya tergantung dari perusahaannya. Untuk mengikat, sanksi bisa diberi dari perusahaan bisa juga dari penengak hukum. Penegak hukum bisa memberi sanksi lebih karena mereka membawa simbol yang harusnya memberi contoh bagi pengguna jalan yang lain. Tentu, hal ini diimbangi dengan apresiasi yang sepadan.

Saya percaya kalau semua pemotor seragam ini kompak menaati peraturan, maka pengendara lain akan segan. Saat ini kenapa pelanggaraan begitu masif, karena mereka inilah yang sebagian besar memenuhi bahu jalan, yang berhenti di atas zebra cross saat lampu merah, yang melawan arus, yang mengangkangi trotoar. Yang tidak setuju pasti bilang, "Itu kan oknum." Bagi saya, oknum kok "banyak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun