Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Agama Berselingkuh dengan Politik

11 Mei 2017   17:46 Diperbarui: 11 Mei 2017   20:27 1314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsili Vatikan II dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuositatem, no. 14 menyatakan: “Terdorong oleh cinta akan bangsanya dan oleh rasa tanggungjawab akan tugas-tugas sebagai warga negara, orang Katolik harus merasa dirinya bertanggungjawab untuk memajukan kesejahteraan bersama dalam arti kata yang sebenarnya. Mereka berusaha memperbesar pengaruh mereka, supaya perundang-undangan sejalan dengan hukum-hukum kesusilaan dan dengan kesejahteraan bersama…Hendaknya orang-orang Katolik, yang mahir dalam bidang politik, dan sebagaimana wajarnya berdiri teguh dalam iman serta ajaran kristiani, jangan menolak untuk menjalankan urusan-urusan umum”.

Dekrit ini dengan jelas mengatakan bahwa semua orang Katolik didorong terlibat dalam politik atas dasar cinta dan tanggung jawab pada bangsa, demi memajukan masyarakat yang adil dan makmur. Bagi orang Katolik yang terjun ke dunia politik diharuskan untuk memastikan bahwa undang-undang yang dibuat tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal seperti keadilan, perlakuan dan perlindungan terhadap semua golongan, penghormatan terhadap martabat dan hidup manusia, serta jaminan terhadap mereka yang lemah.

Kalimat di atas harus menjadi pegangan bagi para politisi Katolik. Cukup banyak orang Katolik berkecimpung di partai politik bahkan menjadi pejabat. Bahkan ada foto yang viral di media sosial yang menunjukkan ada politisi Katolik yang sedang merayakan dipenjarakannya Ahok dengan tumpengan. Apakah orang ini sejalah dengan ajaran Gereja Katolik sebagaimana tertuang dalam  Dekrit tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuositatem?

Meskipun semua orang Katolik diwajibkan terjun ke dunia politik, namun porsi keterlibatannya berbeda antara kaum klerus dan kaum religius (diakon, imam/ pastor, uskup, biarawan (bruder dan frater) dan biarawati (suster) dengan kaum awam (umat Katolik pada umumnya). Bentuk keterlibatan kaum awam dalam dunia politik lebih leluasa dibandingkan dengan klerus dan kaum religius. Mereka bisa terjun ke politik praktis misalnya mask dalam organisasi  RT atau RW, organisasi kemasyarakatan, terlibat dalam partai politik, bahkan menjadi pejabat publik. Kaum awam dipanggil Allah untuk dijiwai semangat kristiani, ibarat ragi, menunaikan kerasulan mereka di dunia.

Namun di pihak, Gereja melarang keterlibatan kaum klerus dan kaum religius masuk ke politik praktis. “Para klerikus hendaknya selalu memupuk damai dan kerukunan sekuat tenaga berdasarkan keadilan yang harus dipelihara di antara sesama manusia. Janganlah mereka turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum,” tulis Kitab Hukum Kanonik 287.

Ditambahkan, Konferensi Wali Gereja Indonesia (2008) membuat pernyataan bahwa demi menjaga objektivitas dan netralitas pelayanan gerejawi, maka pimpinan Gereja tidak dapat merangkap sebagai pengurus partai politik. “Larangan ini dibuat atas pertimbangan bahwa para kaum klerus dan kaum religius merupakan simbol dan kekuatan yang mempersatukan komunitas umat beriman. Karena itu, apabila terlibat dalam politik praktis dan pada suatu ketika harus berseberangan dengan umat beriman katolik lainnya karena tuntutan politik partisan, maka hal ini akan memperlemah otoritas pengajaran serta posisi mereka sebagai penyatu, pelindung dan pembimbing umat beriman,” kata I Ketut Adi Hardana, MSF, seorang imam.

Contoh pelarangan ini terjadi pada diri Uskup Fernando Armindo Lugo Méndez yang status imamat dan uskupnya dicabut oleh Paus karena masuk ke dunia politik setelah rakyat Paraguay memintanya untuk maju menjadi calon presiden. Lugo pada akhirnya terpilih menjadi presiden pada 15 Agustus 2008 dan kemenangannya mengakhiri 61 tahun kekuasaan Partai Coloradodan berhasil mempersatukan para pemilih untuk menentang korupsi dan kekacauan ekonomi.

Apakah ajaran Gereja tentang kehidupan politik ini terkesan lembek? Terkesan kita diam saja saat terjadi ketidakadilan dalam kehidupan politik? TIDAK! Jika terjadi praktik ketidakadilan dan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan, Gereja mengajak seluruh umat beriman untuk mulai bertindak. Adalah saatnya tiba untuk bertindak dan beraksi, bukan berbicara dan berwacana saja. Tindakan dan aksi itu, secara khusus menyasar pada dunia politik dengan komitmen untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama. Hal itu ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam sambutannya pada tgl 1 Januari 1985: “Sudah saatnya kita mengubah kata-kata menjadi tindakan. Tiap individu, masyarakat dan keluarga, penganut agama, organisasi-organisasi nasional dan internasional, hendaknya mengakui bahwa mereka terpanggil untuk memperbaharui komitmen mereka: bekerja bagi perdamaian”.

Saya rasa revolusi bunga, revolusi lilin, revolusi balon, atau gerakan sejenis yang kita liat di berbagai media adalah gerekan kaum mayoritas yang selama ini diam. Mereka seolah didorong oleh semangat Gereja untuk berhenti diam, inilah saatnya bertindak. Saatnya untuk bersuara membawa perdamaian, bukan anarkis. Caranya adalah melalui bunga, balon, lilin, nyanyi-nyanyian dan deraian air mata.

Inilah kesaksian nyata di mana Gereja harus membawa perdamaian. Gereja harus mengajak semua orang untuk merubah dunia agar lebih damai. Inilah seruan politik dari pemimpin Gereja Katolik bagi dunia, seruan suci yang terdengar dari luar sistem politik.

(Pendapat pribadi dan diambil dari blog pribadi di sini)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun