Kasus Ahok dalam penistaan agama yang berbuntut putusan penjara 2 tahun telah menarik perhatian dunia. Rasionalitas dan emosi saling menarik dan meremas satu sama lain. Berbagai orang dengan latar belakang sibuk membuat anasir dan memposisikan diri pada anasir tertentu. Fenomena tersebut akhirnya menggiring saya pada satu fakta, bahwa di balik kasus ini ada hubungan yang sangat erat antara agama dan politik. Ada apa dengan hubungan keduanya?
Salah satu acara televisi yang menarik pasca vonis Ahok adalah Mata Najwa. Seperti biasa, di akhir acara Najwa merajut sebuah simpul. Pada bagian akhir dikatakannya, “Bisakah kita berpolitik dan beragama, tanpa memusuhi perbedaan dan mengorbankan persatuan?” dalam Mata Najwa bertajuk “Setelah Vonis Ahok”di Metro TV, Rabu, 10 Mei 2017.
Kalimat dengan nada bertanya tersebut melempar saya pada pengalaman Gereja Katolik bagaimana rasanya, dampaknya, dan konsekuensinya jika agama berselingkuh dengan (sistem) politik. Gereja Katolik yang berikutnya saya tulis Gereja (dengan huruf G besar), mewajibkan semua Umat Katolik untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan sosial politik kemasyarakatan, di manapun mereka berada. Umat di sini adalah semuanya, mulai dari awam, kaum religius (mereka yang hidup membiara atau memilih jalan hidup bakti seperti suster, bruder, frater) sampai kaum klerus (diakon, pastor, dan uskup). Namun demikian, ada batasan bagi kaum religius dan klerus. Mereka dilarang terjun ke politik praktis. Artinya, jangan menjadi presiden atau masuk ke partai politik, untuk jadi ketua RT saja tidak boleh. Kenapa?
Keputusan Gereja itu dilandasakan dari pembelajaran hidup menggereja, khususnya pada masa abad pertengahan. Abad pertengahan bermula dari runtuhnya imperium Romawi pada 395, sampai jatuhnya Konstatinopel ke tangan Turki pada 1453. Dalam sejarah Gereja dan Eropa, masa ini dikenal dengan Zaman Kelam (Dark Ages). Ironisnya, pada masa ini Gereja sangat mendominasi dalam seluruh kehidupan masyarakat.
Selama Abad Pertengahan, Gereja yang dipimpin oleh Paus memegang kekuasaan penuh. Semua masyarakat Eropa termasuk para rajanya tunduk pada Paus. Seorang raja (sebutlah Raja Jerman atau Raja Inggris, atau lainnya) hanya akan diakui kekuasaannya jika dia mendapat restu dari Paus. Gereja memegang kekuasaan mutlak. Dia dipandang sebagai lembaga yang menjamin seseorang bisa masuk surga atau tidak, bisa berkuasa atau tidak, benar atau salah, bahkan menjadi lembaga yang paling benar.
Wajah Gereja tampak sangat angkuh dan arogan. Berkat genggamannya yang sangat kuat di segala sendi kehidupan, Kitab Suci tidak menjadi jalan menuju keselamatan tetapi menjadi landasan pembenaran bagi pemimpin Gereja untuk berbagai praktik korupsi, membunuh banyak orang karena dianggap sesat atau menodai ajaran Gereja, bahkan menghukum ilmuwan hanya karena ia menyampaikan sebuah teori yang tidak sesuai dengan Kitab Suci.
Saya kasih contoh sedikit soal ilmuwan yang disingkirkan oleh Gereja karena memegang prinsip kebenaran ilmu pasti. Pernah dengar Galileo Galilei (1564-1642)? Ia harus berurusan dengan Gereja karena meyakini kebenaran prinsip heliosentris pada astronomi, yakni matahari sebagai pusat yang statis, sedangkan bumi, bulan dan planet-planet berputar mengelilingi matahari. Prinsip ini bertentangan dengan Kitab Suci yang menyatakan bahwa bumi-lah yang menjadi pusatnya (geosentris). Hal tersebut didasarkan pada Mzm 93:1, 96:10 dan 1 Taw 16:30 yang mengatakan, “Sungguh tegak dunia (bumi), tidak bergoyang” (lihat juga ayat Mzm 104:5, Pkh 1:5). Ada banyak kasus seperti Galileo karena Gereja juga memegang kebenaran mutlak atas ilmu pengetahuan, yang sayangnya bukan berdasarkan scientia tapi berlandas Kitab Suci.
Para pemimpin Gereja yang berselingkuh dengan politik pada akhirnya mencatatkan sejarah kelam penuh darah dan warisan kebencian berkat perang salib. Dari tahun 1095 sampai 1204 para Paus mendukung serangkaian perang salib yang berdarah dan mahal dalam usaha untuk mengusir kaum kaum Muslimin dan membebaskan Yerusalem.
Catatan sejarah kelam Gereja yang sebenarnya sudah amat sangat lama terjadi, senyatanya bukanlah pengalaman yang sangat jauh dari kehidupan kita. Seolah tidak belajar dari pengalaman, di negara kita tercinta ini, jamak kita temui beragam praktik kekerasan dan pembungkaman orang lain yang berbeda dengan landasan ayat-ayat suci dari tukilan Kitab Suci. Beragam praktik korupsi di negara ini dengan kerugian total sampai triliunan dimaklumi karena yang melakukan adalah “kaum suci.” Dan yang terbaru, melalui kasus Ahok kita pun bisa melihat dengan terang benderang, agama dipakai menjadi alat politik untuk mendepak orang benar yang menjadi lawan politiknya. Inilah wajah nyata di mana politik berselingkuh dengan agama, di mana para politisi bermain mata dengan kaum agamawan.
Apakah hubungan keduanya memang wajar seperti itu? Berkaca pada sejarah Gereja, praktik ini menjadi wajah memalukan bagi Gereja! Gejolah ketidakpuasan dengan sistem Gereja disuarakan berbagai tokoh seperti Martin Luther, Yohanes Calvin sampai John Knox mulai dari periode 1517 sampai 1600. Inilah awal mula terjadi Reformasi Gereja. Ada banyak gejolak agama, politik dan sosial budaya yang terjadi. Kita tidak usah sampai jauh ke sana, intinya ujung dari gerakan ini adalah kaum reformis menjadi tonggak berdirinya agama Gereja Protestan yang lepas dari Gereja Katolik Roma. Sedangkan bagi Gereja, peristiwa ini menjadi awal untuk mereformasi diri. Gereja mengkaji lagi hubungan Agama dengan Politik.
Melalui Konsili Vatikan II (1962-1965) Gereja Katolik dengan tegas memisahkan praktik Agama dengan Politik. Kaum awam didorong untuk terlibat dalam Politik dengan membawa nilai dan norma kristiani. Sedangkan kaum religius dan klerus dengan tegas dilarang masuk ke dunia politik praktis.
Konsili Vatikan II dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuositatem, no. 14 menyatakan: “Terdorong oleh cinta akan bangsanya dan oleh rasa tanggungjawab akan tugas-tugas sebagai warga negara, orang Katolik harus merasa dirinya bertanggungjawab untuk memajukan kesejahteraan bersama dalam arti kata yang sebenarnya. Mereka berusaha memperbesar pengaruh mereka, supaya perundang-undangan sejalan dengan hukum-hukum kesusilaan dan dengan kesejahteraan bersama…Hendaknya orang-orang Katolik, yang mahir dalam bidang politik, dan sebagaimana wajarnya berdiri teguh dalam iman serta ajaran kristiani, jangan menolak untuk menjalankan urusan-urusan umum”.
Dekrit ini dengan jelas mengatakan bahwa semua orang Katolik didorong terlibat dalam politik atas dasar cinta dan tanggung jawab pada bangsa, demi memajukan masyarakat yang adil dan makmur. Bagi orang Katolik yang terjun ke dunia politik diharuskan untuk memastikan bahwa undang-undang yang dibuat tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal seperti keadilan, perlakuan dan perlindungan terhadap semua golongan, penghormatan terhadap martabat dan hidup manusia, serta jaminan terhadap mereka yang lemah.
Kalimat di atas harus menjadi pegangan bagi para politisi Katolik. Cukup banyak orang Katolik berkecimpung di partai politik bahkan menjadi pejabat. Bahkan ada foto yang viral di media sosial yang menunjukkan ada politisi Katolik yang sedang merayakan dipenjarakannya Ahok dengan tumpengan. Apakah orang ini sejalah dengan ajaran Gereja Katolik sebagaimana tertuang dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuositatem?
Meskipun semua orang Katolik diwajibkan terjun ke dunia politik, namun porsi keterlibatannya berbeda antara kaum klerus dan kaum religius (diakon, imam/ pastor, uskup, biarawan (bruder dan frater) dan biarawati (suster) dengan kaum awam (umat Katolik pada umumnya). Bentuk keterlibatan kaum awam dalam dunia politik lebih leluasa dibandingkan dengan klerus dan kaum religius. Mereka bisa terjun ke politik praktis misalnya mask dalam organisasi RT atau RW, organisasi kemasyarakatan, terlibat dalam partai politik, bahkan menjadi pejabat publik. Kaum awam dipanggil Allah untuk dijiwai semangat kristiani, ibarat ragi, menunaikan kerasulan mereka di dunia.
Namun di pihak, Gereja melarang keterlibatan kaum klerus dan kaum religius masuk ke politik praktis. “Para klerikus hendaknya selalu memupuk damai dan kerukunan sekuat tenaga berdasarkan keadilan yang harus dipelihara di antara sesama manusia. Janganlah mereka turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum,” tulis Kitab Hukum Kanonik 287.
Ditambahkan, Konferensi Wali Gereja Indonesia (2008) membuat pernyataan bahwa demi menjaga objektivitas dan netralitas pelayanan gerejawi, maka pimpinan Gereja tidak dapat merangkap sebagai pengurus partai politik. “Larangan ini dibuat atas pertimbangan bahwa para kaum klerus dan kaum religius merupakan simbol dan kekuatan yang mempersatukan komunitas umat beriman. Karena itu, apabila terlibat dalam politik praktis dan pada suatu ketika harus berseberangan dengan umat beriman katolik lainnya karena tuntutan politik partisan, maka hal ini akan memperlemah otoritas pengajaran serta posisi mereka sebagai penyatu, pelindung dan pembimbing umat beriman,” kata I Ketut Adi Hardana, MSF, seorang imam.
Contoh pelarangan ini terjadi pada diri Uskup Fernando Armindo Lugo Méndez yang status imamat dan uskupnya dicabut oleh Paus karena masuk ke dunia politik setelah rakyat Paraguay memintanya untuk maju menjadi calon presiden. Lugo pada akhirnya terpilih menjadi presiden pada 15 Agustus 2008 dan kemenangannya mengakhiri 61 tahun kekuasaan Partai Coloradodan berhasil mempersatukan para pemilih untuk menentang korupsi dan kekacauan ekonomi.
Apakah ajaran Gereja tentang kehidupan politik ini terkesan lembek? Terkesan kita diam saja saat terjadi ketidakadilan dalam kehidupan politik? TIDAK! Jika terjadi praktik ketidakadilan dan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan, Gereja mengajak seluruh umat beriman untuk mulai bertindak. Adalah saatnya tiba untuk bertindak dan beraksi, bukan berbicara dan berwacana saja. Tindakan dan aksi itu, secara khusus menyasar pada dunia politik dengan komitmen untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama. Hal itu ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam sambutannya pada tgl 1 Januari 1985: “Sudah saatnya kita mengubah kata-kata menjadi tindakan. Tiap individu, masyarakat dan keluarga, penganut agama, organisasi-organisasi nasional dan internasional, hendaknya mengakui bahwa mereka terpanggil untuk memperbaharui komitmen mereka: bekerja bagi perdamaian”.
Saya rasa revolusi bunga, revolusi lilin, revolusi balon, atau gerakan sejenis yang kita liat di berbagai media adalah gerekan kaum mayoritas yang selama ini diam. Mereka seolah didorong oleh semangat Gereja untuk berhenti diam, inilah saatnya bertindak. Saatnya untuk bersuara membawa perdamaian, bukan anarkis. Caranya adalah melalui bunga, balon, lilin, nyanyi-nyanyian dan deraian air mata.
Inilah kesaksian nyata di mana Gereja harus membawa perdamaian. Gereja harus mengajak semua orang untuk merubah dunia agar lebih damai. Inilah seruan politik dari pemimpin Gereja Katolik bagi dunia, seruan suci yang terdengar dari luar sistem politik.
(Pendapat pribadi dan diambil dari blog pribadi di sini)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H