Masalah pluralisme agama di Indonesia begitu kompleks. Semua lapisan masyarakat gagal memahaminya. Apalagi mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan Kapolri, Jenderal Sutarman terkait pengerusakan rumah milik orang Katolik di Yogyakarta semakin mempertajam kegagalan tersebut.Pluralisme agama tidak bisa diartikan sebagai sikap tolerasi atau saling menghargai. Istilah tersebut menunjuk pada bagaimana cara pandang seseorang atau sekelompok orang terhadap agama-agama yang ada. Cara pandang ini luas, termasuk di dalamnya adalah soal peribadatan masing-masing agama.
Indonesia yang memiliki beragam agama, pada dirinya sendiri plural dari segi agama. Bahkan telah menjadi identitas Indonesia, sebagai sebuah proses panjang selama berabad-abad. Oleh karena itu, sewajarnya, selayaknya, seharusnya, minimal sekali para pemimpin bangsa ini sudah memiliki pengetahuan soal pluralisme agama.
Hal tersebut menjadi tuntutan karena seorang pemimpin adalah teladan bagi semua orang. Tidak hanya orang yang menjadi bawahannya, tetapi juga masyarakat Indonesia. Satu saja kesalahan pemahaman atas suatu peristiwa akan membuat "kekacauan," mulai dari kekacauan berpikir, kekacauan hati (keresahan), sampai pada akhirnya berpotensi untuk sampai pada kekacauan anarkis.
Atas landasan berpikir inilah, saya melihat pernyataan Sutarman mencerminkan kegagalan dalam memahami pluralisme agama. Karena yang berbicara seorang pemimpin di negara ini, maka munculah "kekacauan-kekacauan" tersebut. Paling tidak sayalah yang mengalaminya, saat pikiran dan hati saya kacau.
Teman-teman saya di FB pun melontarkan "kekacauannya," seperti: "Bener-bener gagal paham dg pernyataan Kapolri ini .... ckckckck"; "Sehat pak?" ; "Bagus tuH! Bsk ibu2 pengajian loe usiR aje ye! Dasar werenk cokLat t***L!"
Inilah pernyataan Sutarman yang dikutip Berita Satu, "Pelakunya tentu harus ditangkap. Satu kejadian (di YKPN) satu pelakunya sudah ditangkap. Untuk mencegah kejadian serupa saya menghimbau agar rumah tidak digunakan sebagai tempat ibadah. Pengawasannya sulit," kata Sutarman.
Kalau rumah tidak boleh dibuat ibadah bagaimana dengan mayoritas di masyarakat muslim yang menggelar pengajian dirumah-rumah?
Sutarman menjawab,"Yang saya maksud rumah tidak boleh dijadikan tempat ibadah itu adalah jika rumah berfungsi sebagai tempat ibadah rutin. Seperti misalnya salat jumat rutin, kebaktian rutin, itu yang tidak boleh."
Seperti diketahui, Rumah Direktur Penerbitan Galang Press Julius Felicianus diserang dan dirusak oleh sekelompok orang, Kamis (29/5/2014) malam. Penyerangan terjadi ketika rumah tersebut dipakai untuk ibadat doa rosario.
Doa rosario adalah doa yang dilakukan umat katolik untuk menghormati Bunda Maria. Dan bulan Mei, adalah bulan yang dikhususkan untuk Bunda Maria. Biasanya doa ini dilakukan secara bersama seminggu sekali di rumah umat secara bergiliran.
Ke depan, saya berharap para pemimpin negara ini, untuk selalu menyadari bahwa kalian tidak bisa mengatakan "ini pendapat pribadi saya." Tidak pernah bisa dibenarkan kalau seorang tokoh atau pemimpin melepaskan statusnya sehingga pernyataan yang keluar bersifat pribadi. Apa yang dikatakan pemimpin telah menyatu dalam dirinya sebagai pribadi, institusi, dan jabatannya.
Pernyataan Sutarman kembali membuat kita belajar bagaimana kita memilih dan menilai para pemimpin bangsa ini. Kita juga belajar bagaimana menyikapi bagaimana kita sendiri sebagai rakyat untuk bersikap. Tidak baik kalau kita terus-terusan mengalami kekacauan pikiran dan hati. Lebih tidak baik lagi kalau kita sampai pada kekacauan anarkis.
Kalau kita memilih untuk mengambil sikap kekacauan anarkis, itu artinya kita memiliki kualitas yang sama dan sederajat dengan para kaum berjubah yang "bertamu" ke rumah Julius!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H