Lutfi ayu damayantiÂ
222111167Â
Sosiologi hukumÂ
Saat ini Indonesia masih menggunakan hukum peninggalan kolonial Belanda, khususnya pada hukum pidana yang mempunyai karakteristik adanya sistem kodifikasi. Hakim menjadikan undang-undang sebagai rujukan hukumnya yang utama dan sistem peradilan bersifat inkuisitoral. Begitu banyak hal yang sebenarnya sudah tidak relevan untuk terus digunakan. Masyarakat sendiri senantiasa bergerak. Oleh sebab itu, ada sebuah kontradiksi didalam konsep hukum negara kita di mana hukum yang memiliki sistem layaknya mesin tetapi mengatur dan berusaha mengubah pola masyarakat yang pada hakikatnya bersifat dinamis. Hal ini menyebabkan sebuah keadaan yang dinamakan kekacauan dalam konsep hukum Indonesia.
Sebagai contoh dalam Kasus Korupsi E-KTP. Kasus e-KTP Setya Novanto merupakan salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia yang melibatkan dana proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). Kasus ini mengguncang publik karena melibatkan banyak tokoh politik, termasuk Setya Novanto, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Proyek e-KTP ini menggunakan anggaran senilai Rp5,9 triliun. Dalam pelaksanaannya, sebagian besar dana tersebut diselewengkan melalui praktik korupsi oleh pejabat pemerintah dan anggota DPR, termasuk Setya Novanto. Akibat dari tindak pidana korupsi ini, negara diperkirakan mengalami kerugian sekitar Rp2,3 triliun.
Setya Novanto didakwa melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001). Ia dituduh menerima suap dan berperan dalam memfasilitasi aliran dana kepada sejumlah pihak melalui manipulasi proyek e-KTP. Pengadilan menyatakan Novanto bersalah, dan ia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, denda, dan kewajiban mengembalikan uang hasil korupsinya. Kasus e-KTP menimbulkan kemarahan publik terhadap sistem politik dan pemerintahan yang dinilai penuh dengan korupsi. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan, khususnya DPR dan sistem penegakan hukum, menurun drastis. Masyarakat beranggapan Setya Nova harus dihukum seumur hidup karena telah merugikan negara.
ANALISIS HUKUM POSITIVISMEÂ
Hukum mazhab positivisme dalam konteks ini adalah hukum yang ditetapkan oleh otoritas yang sah dan diakui, yang berfokus pada kepastian dan kejelasan dalam penegakan hukum. Dalam kasus e-KTP, hukum yang diterapkan adalah undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi, yang memberikan dasar hukum untuk menuntut para pelaku.
MADZHAB HUKUM POSITIVISMEÂ
Dari perspektif positivisme hukum, kasus korupsi e-KTP Setya Novanto dianalisis dengan fokus pada penerapan undang-undang yang berlaku tanpa memperhitungkan nilai moral pribadi atau kepentingan sosial di luar aturan hukum tertulis
KESIMPULANÂ
Analisis kasus korupsi e-KTP menggunakan pandangan hukum positivisme yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun hukum positif memberikan kepastian dan legitimasi, ada tantangan dalam penerapannya, terutama terkait dengan aspek moral dan keadilan. Positivisme hukum penting dalam memberikan kerangka kerja yang jelas, tetapi perlu diimbangi dengan pertimbangan moral dan sosial untuk mencapai keadilan yang lebih substansial dalam masyarakat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H