Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Work From Destination, Antara Harapan dan Kenyataan

7 Januari 2021   14:39 Diperbarui: 7 Januari 2021   19:33 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: unsplash.com/Ali Yahya

Sebelum Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno mencetuskan konsep wisata dengan label work from destination alias WFD, saya sudah melakukannya dengan kota tujuan Bandung. Saya dan beberapa rekan kerja menyambangi Bandung pada Desember 2020 lalu, selisih dua pekan sebelum Sandiaga Uno dilantik jadi Menparekraf.

Konsepnya sih mengusung kerjaan di luar kota dengan maksud agar tercipta suasana baru dan menghilangkan kepenatan akibat pandemi. Kami pun memilih hotel yang lokasinya strategis dengan berbagai destinasi menarik di Bandung. Selain itu hotelnya juga oke dalam menerapkan protokol kesehatan.

Namun, tentu saja kegiatan WFD ini tidak mudah dilakukan dan tidak selalu enak seperti yang dibayangkan. Faktor pertama yang mesti dipertimbangkan adalah ketersediaan biaya atau anggaran. Okelah kegiatan itu bisa dibiayai oleh perusahaan atau kantor, tapi tentunya tidak semua perusahaan atau instansi mau dan mampu menyediakannya.

Mungkin bagi pekerja yang independen lebih bisa menerapkan WFD dengan catatan mampu menanggung biaya akomodasinya sendiri. Lha kalau si pekerja masih di level nyari uang demi bertahan hidup dan supaya bisa bayar sekolah anak, kan rada mubazir kalau sok-sokan WFD di luar kota?

Lha wong yang diharapkan Pak Menteri Sandiaga Uno tuh agar para pekerja juga ikut berperan memutarkan roda perekonomian serta menggeliatkan kegiatan wisata. Ya jadi harus keluar duit dong biar WFD sukses ngefek ke pelaku ekonomi di daerah destinasi. Semakin banyak duit keluar, semakin bagus tentunya.

Jadi seperti saya waktu ke Bandung itu termasuk beruntung bisa makan dan tidur gratis, berikut transportasinya dibayari semua. Konsekuensinya tentu kerjaan harus selesai.

Masalahnya, jika dikaitkan dengan pencegahan Covid-19 yang masih merajalela, agak-agak susah untuk tetap berada di koridor yang benar dalam penerapan protokol kesehatan. Sebutlah keinginan untuk nyambi berwisata kuliner saat WFD.

Bosan dengan sajian makanan di hotel, bisa jadi membuat seseorang ngiler untuk menyambangi warung atau rumah makan yang khas di destinasi tersebut. Ini yang terjadi dengan rekan-rekan saya. Kepengen makan bakso yang paling ngetop di Bandung akhirnya berujung nekat mendatangi sebuah warung bakso di salah satu sudut kota.

Warung baksonya ramai walau ada embel-embel harus cuci tangan, jaga jarak dan sebagainya. Tapi kan makan tetap harus buka mulut, masak iya mulutnya masih pakai masker pas mau melahap bakso?

Namanya juga mumpung lagi di Bandung, ya pada akhirnya makan-makan di tempat sambil "ha ha hi hi" pun dijalani. Padahal di kota asal, makan di luar sambil nongkrong adalah hal yang dihindari selama pandemi. WFD ternyata bisa bikin lupa diri. Itu baru bakso, belum yang lain seperti kepengen ngopi, batagor, mie kocok dan lain-lain.

Godaan lain adalah lari ke objek wisata setempat. Meski jaraknya dekat, meski sambil lewat, pada akhirnya malah bisa membuyarkan fokus kerjaan.

"Ah nyantai dulu lah mumpung di Bandung, kapan lagi bisa main ke sini?" nah kalau sudah begini ujung-ujungnya terjadi persekongkolan untuk agak mengabaikan kerjaan. Fokus terhadap pekerjaan jelas terganggu.

Sampai di obyek wisata, ujung-ujungnya apa? Yak benar, apalagi kalau bukan foto bersama dan selfie-selfie.

Foto bersama ini adalah momen kerap diabaikan orang untuk jaga jarak dan pakai masker. Alasannya tentu saja karena foto bersama dengan orang yang sudah dikenal. Jadi aman lah (dan corona tertawa sambil menyeringai melihat prinsip orang-orang ini).

"Yak mepet dikit, ayo satu, dua... tiii...." Itulah aba-aba si fotografer amatir yang tak pernah menyelesaikan kata "ga" setelah menyebut "tiii..." selama beberapa detik.

"Nah sekarang lepas maskernya sambil gaya bebas, bentar aja nggak papa biar kelihatan senyumnya, yuk satu, dua, tiii...." Hmm, gaya bebas yang kebablasan. Emangnya dari awal gayanya enggak bebas? Kok baru sekarang bilang gaya bebas?

Itulah fenomena yang terjadi di banyak destinasi wisata. Protokol kesehatan sih ada dan tersedia, tapi kembali lagi ke manusianya. Masih kerap abai dan lupa diri.

Gagasan WFD memang sah-sah saja dan ide bagus yang solutif jika dipandang dari sisi pelaku ekonomi dan pelaku kegiatan wisata. Geliat wisata serta potensi keuntungan menjadi berkah yang selama ini diganggu oleh pandemi.

Hanya saja bagi pelaku WFD, perlu kesiapan mental untuk bisa menjalani WFD dengan baik, dan itu tidak mudah. Indikator keberhasilan WFD dari sisi pekerja adalah saat pekerjaan sukses terselesaikan dan unsur refresing juga tergapai.

WFD hanyalah sebuah kegagalan dan kerugian jika malah sepulangnya dari destinasi si pekerja jadi kelelahan atau malah sakit. Belum lagi nengok dompet malah stress gara-gara lupa diri belanja oleh-oleh, main sana-sini dan sebagainya. Udah gitu dijutekin keluarga di rumah yang nggak diajak berwisata. Duh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun