Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Santri Perennial, Revitalisasi Genealogi Intelektual Pesantren

22 Oktober 2019   10:11 Diperbarui: 21 Oktober 2020   13:38 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Kompas.com)

Persoalannya, pesantren saat ini lebih cenderung memodernisasi dirinya, bahkan hampir dipastikan modernitas menjadi bagian tak terpisahkan dari lingkungan pesantren. 

Modernitas tentu saja bukan hanya wujud penggunaan teknologi, tetapi bagaimana pola pendidikan pesantren seringkali mengadopsi cara-cara modern dengan meninggalkan sedikit demi sedikit aspek kesakralan tradisi yang bahkan dianggap ketinggalan zaman. 

Diakui maupun tidak, banyak persepsi yang terbangun di mana pesantren tradisional sudah tak lagi diminati, karena aspek tradisional seringkali dipahami secara negatif sebagai kekolotan dan keterbelakangan oleh sementara pecandu modernitas.

Di sisi lain, santri juga sebagian telah bertransformasi sebagai sosok intelektual modern---dalam pengertian pejoratif---bagaimana kemudian nilai-nilai Barat diadopsi secara intelektual dan bahkan cenderung mengagungkannya dibanding harus kembali kepada tradisi masa lalu dengan merangkai kembali epistemologi pemikiran Islam yang mengabadi dalam suatu "Tradisi Ketimuran". 

Istilah "ketimuran" bukan berarti kita mencontoh manusia-manusia yang hidup di negeri-negeri Timur, tetapi "Timur" merupakan analogi tempat di mana cahaya matahari pertama kali menyebarkan terangnya. 

Transformasi santri menjadi sosok intelek-modern, tidak seharusnya memilih cara-cara Barat, baik ideologi, pemikiran, atau metodologi, tetapi bagaimana nilai-nilai Ketimuran tetap dipertahankan sebagai tradisi sakral yang abadi.

Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa kecenderungan terhadap ide-ide Barat-Sekuler juga mulai diadopsi para santri modern, dan di sisi lain, memutuskan hubungan dengan genealogi tradisi sakralnya di masa lalu, sehingga tampak sangat kering nilai-nilai spiritualitas. 

Barangkali sebagai contoh, ketika ide-ide Barat, seperti multikulturalisme disuarakan, banyak yang ditelan mentah-mentah para santri dan bahkan "disakralisasi" menjadi hal yang harus diperjuangkan sebagai nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai doktrin keagamaan. 

Padahal, beberapa negara Barat justru menyesal karena ide multikulturalisme telah mengasingkan tradisi dan budaya lokal mereka sendiri, sedangkan di sisi lain hanyalah memperluas ideologi liberal yang justru berasal dari tradisi luar masyarakat lokal. 

Disadari maupun tidak, ide multikulturalisme di negeri kita seolah menemukan tempatnya dan bukan tidak mungkin diperjuangkan oleh mereka yang mengaku sebagai pewaris genealogi intelektual para ulama yang sangat kuat memegang tradisi sakral di masa lalu.

Padahal, santri merupakan penjaga tradisi sakral epistemologi Islam yang telah hadir dari sejak zaman Nabi Muhammad yang dihidupkan secara perennial dari generasi ke generasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun