Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Santri Perennial, Revitalisasi Genealogi Intelektual Pesantren

22 Oktober 2019   10:11 Diperbarui: 21 Oktober 2020   13:38 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Kompas.com)

Jika dulu Al-Kindi adalah maha guru para filosof muslim yang diikuti oleh para muridnya, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, sampai Ibnu Khaldun hingga kemudian lahir para pemikir tasawuf yang mensintesakan filsafat dan tradisi, menyebar ke seluruh dunia dan dikomodifikasi oleh para ulama diterima para kiai dan sampai kepada para santri, seolah hubungan-hubungan ini menjadi jejaring unik yang hampir tak pernah mati karena bersifat perennial.

Salah satu tokoh yang menghidupkan kembali perennialisme yang paling berpengaruh di dunia Islam kontemporer adalah Seyyed Hossein Nasr. 

Teorinya tentang tradisi sangat menarik, di mana ia ingin menghidupkan kembali tradisi yang "sakral" yang sejauh ini justru banyak disimpangkan atau bahkan ditutup oleh berbagai realitas modern. 

Menurutnya, tradisi merupakan suatu pengetahuan suci (scientia sacra) yang menjadi pusat dan meliputi seluruh lingkaran pemikiran suatu tradisi asal itu sendiri.

Ketika diajukan suatu pertanyaan, "dari mana pengetahuan itu berasal?", maka secara tradisional, pengetahuan berasal dari dua sumber yang kembar: pewahyuan (revelation) dan "intellection" atau "intellectual intuition" yang menerangi hati dan pikiran manusia, hadir secara langsung, dirasakan dan menjadi sumber pengalaman pribadinya. 

Tradisi ini yang harus terus dihidupkan (perennis) secara genealogikal, yang dalam tradisi Islam dikenal dengan istilah "'ilm al-hudluri" atau "pengetahuan yang hadir dan hidup".

Santri perennial berarti mereka yang senantiasa menghidupkan kembali tradisi pemikiran suci masa lalu, tanpa mengambil atau mengikuti secara membabi-buta alur pemikiran modern yang jelas terputus. 

Dalam tradisi pesantren, para ulama masa lalu memiliki epistemologi pemikiran "sakral"  yang harus diikuti atau minimal dihadirkan kembali oleh para santri dalam rangkaian kenyataan-kenyataan masa kini. Keistimewaan dari prinsip perennis adalah ketaatan terhadap lingkaran tradisi, yang hidup sejak zaman Nabi Muhammad. 

Terdapat nilai-nilai spiritual yang tak pernah kering, sebab tradisi intelektual Islam masa lalu, selalu merasakan dahaga akan "keabadian" yang transenden, yang bersifat ilahiah. 

Modernitas atau postmodernitas memutus dan menutup lingkaran tradisi sakral ini, namun tradisi pesantren berhasil membongkarnya dengan cara membangkitkan dan menghidupkan kembali rangkaian tradisi intelektual "suci" para ulama di masa lalu.

Namun demikian, benarkah santri sejauh ini hadir dalam lanskap pemikiran yang merajut kembali nilai-nilai tradisi sakral yang terputus? Atau minimal, tumbuh kesadaran bahwa tradisi pesantren yang dibangun melalui genealogi intelektual keulamaan---tidak hanya nusantara, tetapi juga transnusantara---tetap menjadi warisan tradisi intelektual yang direspon para santri milenial? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun