Adalah Raden Ngabehi Ranggawarsita ( 1802-1873), seorang pujangga besar pada masa Kasunanan Surakarta.
Beliau menyusun "Serat  Witaradya." yang salah satunya memuat pupuh kinanti (semacam puisi).
Dalam pupuh itulah ada dua deret kalimat yang seperti tak pernah sepi menjadi paugeran (pedoman hidup) masyarakat kita.Â
Tidak lain bunyinya: Surodiro Jayaningrat lebur dening Pangastuti. Artinya bahwa keberanian, kekuatan, kejayaan dan kedudukan, apabila diterapkan dengan niat jahat akan kalah dengan do'a dan kesabaran.
Ada kisah yang melengkapi isi pupuh kinanti itu, salah satunya kisah peperangan Prabu Salya dengan Sri Puntodewa.
Di sini penulis telah mengembangkan cerita tersebut menjadi begini:
Satu lagi kisah yang menginspirasi kita dalam panggung kehidupan manusia yang penuh fenomena.
Kali ini yang ingin saya tampilkan adalah epos pewayangan dalam kisah Mahabarata.
Saat itu hari ke-18 yang juga hari terakhir dalam perang Bharatayuda.Â
Para Kurawa tinggal beberapa orang saja yang masih hidup. Hampir semua para senopati andalan "ludhes khewes" gugur dalam perang dunia ke-4 (versi wayang Ki Narta Sabda).
Namun justru di hari-hari terakhir ini sang penasehat agung Pandhawa yang tak ada lain adalah Sri Kresna berkali-kali menarik nafas panjang.Â
Sinyal-sinyal kewisnuannya seperti membisikkan tentang beratnya perjuangan para satriya utama Pandhawa.
Buru-buru lelaki pilihan ini segera mencari tempat yang agak teduh dan dengan naluri linuwihnya Sri Kresna memejamkan mata terhubung dengan Sang Pencipta.
Ternyata benar, Kurawa telah menabuh genderang perang lagi. Kali ini mereka mengangkat seorang senopati baru yang maha sakti, ialah Prabu Salya, raja Mandaraka yang tak lain adalah mertua Sang Duryudana sendiri.
Sebagaimana diketahui bahwa Salya muda yang saat itu bernama Raden Narasoma telah mewarisi aji candrabirawa dari mertuanya mendiang begawan Bagaspati.
Begitulah, hari itu mataharipun sudah agak condong ke barat.Â
Di padang kurusetra sang Arjuna dan Wrekudara sudah hampir berputus asa, melayani daya kesaktian Aji Candrabirawa yang digelar oleh sang Salyapati.Â
Sudah hampir seratus kali rasanya buta-buta bajang itu jatuh terkapar, namun sesaat itu juga justru jumlah mereka semakin berlipat.Â
Maka setangguh apapun kedua satriya itu dalam berperang akhirnya tenaganya kian susut pula.
Bersambung ke link: