Perkins kemudian mengajak pacarnya Cliff Obrecht untuk mengembangkan alat desain yang bisa digunakan semua orang, tanpa harus menjadi desainer grafis profesional.
Dari ruang tamu rumah ibunya, Melanie Perkins dan Cliff Obrecht mulai membuat Fusion Books, sebuah alat desain online yang memudahkan siswa dan guru untuk membuat buku tahunan mereka sendiri.
Fusion Books sukses, tetapi Melanie dan Cliff menyadari bahwa teknologi yang mereka kembangkan dapat digunakan secara lebih luas. Mereka lalu merekrut Cameron Adams, yang didapuk sebagai salah satu pendiri teknologi Canva. Pada 2013, mereka bertiga mulai membangun Canva.
Awalnya, mereka hanya membuat Canva untuk para profesional terpilih. Seiring dengan semakin banyaknya permintaan hingga mencapai 150.000 pengguna, pada Januari 2014 Canva dibuka untuk umum.
Tapi, untuk meluncurkan produk yang hebat dan bisa digunakan banyak orang bukan perkara mudah. Melanie, Cliff dan Cameron Adams butuh umpan balik serta pengujian berulangkali.
Melanie dan timnya mengembangkan produk yang bagus tetapi mereka menunda peluncuran Canva ke publik sampai mereka memiliki produk yang benar-benar hebat.
Setelah berbulan-bulan terus menerus memperbaiki, meningkatkan dan menguji alat, mereka menyadari itu semua bukan tentang sebuah alat digital, tetapi juga tentang bagaimana memberdayakan para pengguna.
Dalam artikelnya, Melanie Perkins melukiskan momen tersebut:
Menjadi jelas dan cepat bahwa bukan hanya alat itu sendiri yang mencegah orang membuat desain yang hebat, tetapi juga keyakinan orang sendiri bahwa mereka tidak bisa mendesain.
Agar Canva lepas landas - kami harus membuat setiap orang yang datang ke produk kami memiliki pengalaman hebat dalam beberapa menit.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!