Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Merawat "Anak Perdamaian" dari Papua

20 Agustus 2019   11:55 Diperbarui: 21 Agustus 2019   17:53 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi "Anak Perdamaian". Disalin dari : vancechristie.com

Lagipula, bukankah Gubernur Jawa Timur, Khofifah, sudah menyampaikan permintaan maafnya kepada gubernur dan masyarakat Papua Barat? Kalau begitu, demonstrasi-demonstrasi lanjutan untuk mengekspresikan dominasi sektoral tidak dapat dibenarkan.

Dalam pemahaman psikologis konflik secara general, ungkapan permohonan maaf dapat membuka pintu rekonsiliasi. Namun, dalam kultur masyarakat yang berbeda, permohonan maaf saja tidak cukup. Konten itu harus disampaikan dengan konteks yang tepat.

Mari saya menjelaskan maksud saya. Ini bukan konsep yang alien.

Dalam kultur modern, misalnya, kita berjabat tangan ketika menyapa orang yang belum dikenal. Namun, pada Suku Dani, tuan rumah mengucapkan "Wah" berulang kali ketika menyambut seorang tamu.

Demikian pula, rekonsiliasi diekspresikan dengan cara yang berbeda dalam masyarakat Papua. Dalam hal ini, para misionaris Kristen memiliki pemahaman yang unggul. Untuk itu, kita perlu belajar dari mereka.

Rekonsiliasi Melalui Anak Perdamaian
Pada tahun 1962, sesudah menyelesaikan kursus linguistik, Don Richardson dan istrinya, Carol, berlayar menuju New Guinea. Organisasi misi mereka menugaskan mereka melayani Suku Sawi. Ini adalah salah satu suku di Papua yang masih mewarisi budaya kanibalisme dan potong kepala!

Kecemasan mereka bertambah mengingat mereka belum menguasai bahasa suku tersebut. Sembari Don mempelajari bahasa dan semakin mengenal penduduk Sawi, dia mulai menyadari sebuah jurang besar dalam memperkenalkan Injil:

Bagaimana cerita tentang Juruselamat maha kasih, yang rela mati bagi umat manusia, dapat mereka pahami?

Jurang itu tampaknya begitu sulit diatasi sampai Don menemukan konsepsi dalam budaya Suku Sawi mengenai Penebusan.

Suku Sawi memiliki caranya sendiri untuk membuktikan ketulusan niat dan komitmen menciptakan rekonsiliasi. Segala ungkapan untuk menjalin persaudaraan diragukan, kecuali melalui satu perbuatan.

Iktikad rekonsiliasi antar-suku dimulai ketika seorang pria menyerahkan bayi laki-lakinya kepada musuhnya. Jika ia bersedia menyerahkan anaknya, maka ia dapat dipercaya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun