Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

5 Alasan untuk Menolak Ajakan Buka Bersama

19 Mei 2018   12:23 Diperbarui: 19 Mei 2018   21:06 5261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengalaman buka puasa bersama saya kali pertama terjadi saat SMA sekian tahun lalu. Nggak usah disebut tahunnya, ntar ketahuan umur hehehe. Dikarenakan saya aktif di organisasi sekolah dan juga ekstrakulikuler (Paskibra), setiap Ramadan tiba, setidaknya kami mengadakan acara buka bersama yang dilanjutkan dengan sahur bersama.

"Hah, sampai sahur?"

Iya. Jadinya kami menginap di rumah salah satu anggota ekskul yang lain. Pasca buka puasa dan tarawih biasanya langsung diadakan sesi curhat, sesi "buka-bukaan" tentang aktivitas ekskul setahun sebelumnya yang sudah kami jalani. Ya semacam acara kontemplasi bersama gitu yang biasanya berlangsung hingga lewat tengah malam, tidur sebentar lalu bangun lagi untuk mempersiapkan sahur.

Tiga tahun duduk di bangku SMA, ya aktivitasnya setiap tahun sama. Saat kuliah, kegiatan buka bersama ini terus berlanjut dengan teman-teman baru. Untuk saya yang berkuliah di kampus yang heterogen (di angkatan saya, lengkap ada 5 agama), saya beruntung memiliki teman yang kompak. Walau mereka tidak berpuasa, namun mereka tetap hadir di acara buka puasa bersama ini demi ngumpul-ngumpul dan memupuk kenangan, tsah.

Begitu lulus dan bekerja, lagi-lagi acara buka bersama ini berlanjut. Yang tadinya bareng teman kuliah saja, kini ditambah bareng bos-bos besar yang walau begitu gak bikin makannya jadi gratis juga sih. Tetap bayar sendiri-sendiri kecuali kantor yang mengadakan acara hehehe.

Pasca memutuskan resign dan menjadi pedagang, saya masih menjalankan acara buka bersama ini sesekali dengan teman komunitas. Namun, setidaknya, sudah 3 tahun belakangan ini saya mampu menolak semua. Iya, SEMUA ajakan buka bersama dikarenakan beberapa alasan di bawah ini. Apa saja sih? Ini dia.

1. Intensitas ajakan buka Bersama yang terlalu tinggi

Pernah lihat meme yang isinya jadwal buka bersama dari hari pertama hingga hari terakhir nggak? Yang hari pertama buka puasa bareng alumni teman TK, hari kedua alumni SD, dst. Hehe, nggak kebayang ya jika ada orang yang sedemikian sibuknya buka puasa bersama di luar sampai lupa rasanya buka bersama dengan keluarga sendiri.

Buka puasa bersama terakhirku beberapa tahun lalu bersama Komunitas Postcossing Palembang. Foto milik pribadi.
Buka puasa bersama terakhirku beberapa tahun lalu bersama Komunitas Postcossing Palembang. Foto milik pribadi.
Di sosial media, beberapa teman saya membuat status, "Puasa aja belom, tapi jadwal buka bersama udah banyak aja." Di satu posisi sih baik, artinya dia di lingkungan pertemanan oke. --ya kalau kamu orangnya nyebelin, pasti gak akan diajak, kan? Hahaha. Tapi di sisi lain, pertimbangkan juga apakah buka puasa bareng di luarnya harus sesering itu?

Solusinya, pilah-pilih acara buka bersama. Jangan semua diambil. Sesuaikan dengan waktu dan budget yang ada. Jika memang diwajibkan kantor, atau acaranya sekalian reuni buat kangen-kangenan, ya sesekali nggak apa-apa. Asal jangan sampai terbeban dengan banyaknya undangan, ya!

2. Buka puasa bersama keluarga itu nikmat tiada tanding

Seperti yang saya singgung di tulisan sebelumnya, di keluarga kami, makan bersama satu meja itu termasuk momen langka. Maklum, masing-masing sibuk dan kalau udah pulang ke rumah sore hari, jika lapar ya langsung makan duluan tanpa menunggu yang lain semua pulang.

Kami baru rutin makan bersama saat Ramadan yakni saat sahur dan berbuka. Saya tidak tahu momen seperti ini akan bertahan seberapa lama. --you know what I mean. Jadi, selama kesempatan ini masih ada, saya selalu berusaha menikmati setiap momen tersebut.

Walaupun lesehan beralaskan tikar, jika dilakukan sama keluarga jadinya nikmat. Foto milik pribadi
Walaupun lesehan beralaskan tikar, jika dilakukan sama keluarga jadinya nikmat. Foto milik pribadi
Jika yang jauh dari keluarga (misalnya saja kerja/kuliah di luar kota, atau sudah hidup sendiri karena semua anggota keluarga sudah tidak ada) ya poin yang ini tidak berlaku sehingga mungkin buka bersama teman jadinya lebih menyenangkan. Namun, ada baiknya perhatikan poin selanjutnya ini.

3. Akui saja, buka bersama bikin pengeluaranmu jadi membengkak

Yang namanya buka bersama zaman now, biasanya dilakukan di restoran atau tempat makan di pusat perbelanjaan, bukan? Udah jarang yang ngadain buka puasanya di satu rumah.

Jika makan di luar, minimal banget, untuk menuju ke sana kita butuh biaya transportasi walaupun punya kendaraan sendiri ya minimal kudu keluar uang untuk beli bensin. Belum lagi jika ada biaya parkir yang progresif. Kadang biaya parkirnya aja udah bisa buat beli nasi padang sebungkus hehe.

Lalu, kita harus kembali mengeluarkan uang untuk membayar makanan. Padahal, di saat yang bersamaan, orang tua di rumah sudah mengeluarkan uang untuk berbelanja di pasar demi menyiapkan makanan di rumah. Jangan lupa, ada sosok ibu sudah capek memasak untuk kita sehingga makanan yang sudah dipersiapkan untuk sekian orang jadinya mubazir.

Sekali lagi, kalau sesekali buka puasa di luar ya silakan saja. Tapi jika lebih banyak di luar ketimbang makan di rumah, ya kasihan sama orang tua. Lagian, makan bersama keluarga itu hitungannya jauh lebih hemat, loh.

Katakanlah saya pelit. Namun, saya tidak habis pikir dengan restoran yang mematok harga sedemikian mahal hanya untuk sekadar minuman serupa es teh atau es jeruk. Belum lagi makanannya.

Sesekali makan di luar kayak gini sih boleh saja. Foto milik pribadi.
Sesekali makan di luar kayak gini sih boleh saja. Foto milik pribadi.
Biaya "sosial" zaman sekarang sedemikian tinggi. Sungguh. Apalagi juga sudah mengarah ke gengsi. Saya masih kok sesekali makan di luar, yang beli es jeruk saja bisa 20 ribu atau mie goreng jadi 40 ribu misalnya. Tapi itu sangat jarang. Jikapun makan di luar, saya lebih memilih ke restoran sederhana namun bisa dinikmati ramai-ramai bersama seluruh lapisan pertemanan dan keluarga.

4. Buka bersama di luar itu ribet. Mau tarawih di mana, coba?

Saya jadi ingat, dulu saat buka bersama teman kuliah, kami tiba di restoran jam 17:30. Masih ada waktu setengah jam sebelum berbuka puasa. Namun, karena pengunjung yang membludak, makanan kami baru tiba pukul 8 malam! Hari gini, mau buka puasa bersama mesti pesan tempat jauh-jauh hari. Itupun tidak menjamin makanan dapat dihidangkan tepat waktu.

Jika akhir pekan, lebih susah lagi. Kadang restoran pada penuh dan jadi PR banget untuk menuju lokasi buka bersama karena jalanan macet, nyari parkir susah, dsb. Dan, yang jadi concern saya selanjutnya adalah keterbatasan tempat ibadah atau bahkan tidak ada sama sekali (ya, kayak kami yang makan di warung tenda di sekitaran Jalan Kampus Palembang yang makanannya telat datang itu).

Lalu gimana dengan target shalat tarawih berjamaah yang sudah saya canangkan? Mau gak mau harus dilewati. Terlewat juga kesempatan mencicil baca Alquran karena saya biasanya ngaji di masjid sembari menunggu waktu Isya. Ya mau gimana, kalau makan di luar, lha wong makanannya aja telat datang. Jika tetap mau pulang ke rumah sehabis berbuka, juga butuh waktu khusus. Jika tempat kumpulnya jauh bisa-bisa sampai masjid sudah jalan proses shalat tarawihnya.

5. Waktu istirahat jadi berkurang

Namanya juga jalan sama temen, kan. Sehabis buka puasa biasanya nggak langsung pulang. Ada aja gitu yang ngajak jalan dulu. Ibaratnya nih "cuci mata" sekalian. Apalagi kalau makannya di area pusat perbelanjaan. Dengan alasan, "Udah lama gak ketemu, mumpung kumpul" juga kadang secara mendadak ada agenda tambahan. Ngopi-ngopi dululah di cafe, atau pernah tuh ada yang ngajak karaokean. Oalah.

Coba kalau buka puasa di rumah. Begitu buka puasa selesai, bisa langsung bersiap ke masjid. Bisa ngaji dulu sambil nunggu waktu Isya tiba. Shalat tarawih juga paling lama 1 jam (kalau 11 rakaat), sampai rumah masih bisa leyeh-leyeh kumpul dengan keluarga. Begitu capek langsung masuk kamar dan tidur demi mempersiapkan diri sahur keesokan harinya. Nikmat bukan?

Tarawihan di masjid jauh lebih nikmat. Foto milik pribadi.
Tarawihan di masjid jauh lebih nikmat. Foto milik pribadi.
* * *

Saya tahu, tidak semua orang akan sepakat dengan poin-poin yang saya utarakan di atas. Namun, setidaknya itulah yang menjadikan saya berhasil menolak ajakan buka puasa bersama di luar 4 tahun belakangan ini. Saya memang sudah tidak bekerja kantoran, namun tetap aktif di beberapa komunitas yang rutin mengadakan acara buka bersama setiap tahun. Biar kata sekelas gubernur yang ngajak, saya tetap keukeuh. Mungkin pertahanan saya akan goyah kalau yang mengundang presiden hehehe.

Bagi yang masih rutin buka puasa bareng, silakan saja. Selama dilakukan dengan bahagia dan tidak menghambat kegiatan yang lain, apalagi sampai mengganggu orang lain, ya monggo. "Wong duit-duit saya sendiri, kok!" gitu kali pikir kalian hahaha. Intinya, apapun kegiatan yang kalian lakukan selama ramadan ini semata-mata mengharapkan ridha-Nya.

Kompasiana Palembang
Kompasiana Palembang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun