Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Belajar "Tanpa Guru" di Masa Pandemi, Apa Hasilnya?

21 April 2020   17:13 Diperbarui: 22 April 2020   05:22 1893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pandemi Covid-19 membuat perkuliahan dialihkan menjadi via online (Foto: KOMPAS.com/Jawahir Gustav Rizal)

Kata pepatah tua, "Pengalaman adalah guru terbaik". Berarti, tanpa dasar pengalaman, seseorang tidak dapat belajar dengan efisien dan efektif.

Contoh klasik, jari anak kecil harus tersayat dulu, barulah dia paham bermain pisau itu bahaya. Atau, pinggul kakek mesti keserempet motor dulu, barulah sadar perlunya mengenakan alat bantu dengar.

Ya, seringkali pengalaman pahitlah yang menjadi guru terbaik. Tapi bagaimana kalau tak punya pengalaman?

***
Pada paruh pertama 1970-an, marak penjualan buku-buku beladiri dengan judul senada. Antara lain "Karate Tanpa Guru", "Jiujitsu Tanpa Guru", dan "Kung Fu Tanpa Guru".

Nah, tersebutlah tokoh fenomenal kita, Poltak, yang di usia remajanya ingin menguasai bela diri tanpa guru. Waktu itu dia masih murid SMP Seminari Pematang Siantar. Tinggal di asrama.

Poltak memutuskan untuk belajar ilmu bela diri Kung Fu. Pasalnya dia pengagum berat Bruce Lee. Di samping juga fans aktor Kung Fu Hongkong lainnya seperti Ti Lung, David Chiang, Fu Shen, Wang Tao, dan Lo Lieh.

Poltak tak tertarik belajar karate, meski teman-temannya tergila-gila. Sedemikian gilanya sehingga baru sabuk putih latihan tiga kali, gayanya sudah serasa pemegang sabuk hitam. Lagi pula dalam pilem "Enter the Dragon" Bruce Lee mempecundangi jago-jago karate. Begitu pun dalam pilem "The Way of the Dragon", dia menaklukkan juara karate Amerika Chuck Norris.

Poltak lalu membeli sebuah buku "Belajar Kung Fu Tanpa Guru" di sebuah toko buku kecil, di belakang Bioskop Riang, Pematang Siantar.

Targetnya, menjadi Bruce Lee dalam tempo satu triwulan. Cita-citanya menaklukkan Tigor, teman sekelasnya, mengaku pemegang sabuk coklat karate.

Ini adalah misi rahasia. Karena itu, curi-curi waktu, Poltak dengan tuntunan buku, berlatih Kung Fu diam-diam. Tempatnya bisa di gudang, di kebun, bahkan di kamar mandi. Di mana saja yang tersembunyi.

Genap satu triwulan, Poltak sudah menguasai semua gerak dasar dan jurus Kung Fu yang diajarkan buku. Karena itu kepalanya menjadi besar, merasa sudah setara Bruce Lee.

Sebuah tantangan lalu dilayangkan kepada Tigor. Tantangan diterima. Sepakat tanding suatu Rabu sore di Kebun Seminari, selepas kerja bakti rutin.

Terjadilah tanding beladiri Poltak versus Tigor. Di bawah sorak-sorai teman-teman sekelas.

Hasilnya? Hanya dalam tiga jurus, salah seorang sudah takluk dengan gigi seri goyah, hidung berdarah, plus rasa malu tak terperi. Orang itu adalah Poltak.

***
Februari-Maret 2020 di Jakarta, masa awal pandemi Covid-29 di Indonesia. Kebijakan "belajar di rumah" diterapkan pemerintah. Tujuannya mencegah tertular Covid-19, sekaligus memutus rantai penularan.

Kali ini giliran Tiur, anak perempuan Poltak, yang "belajar tanpa guru di rumah". Atau tepatnya "kuliah tanpa dosen" sebab Tiur sudah mahasiswa.

Tidak sepenuhnya tanpa guru sebenarnya. Sebab perkuliahan masih tetap dilangsungkan secara online. Begitupun tugas-tugas kuliah dan ulangan mata kuliah.

Kemajuan teknologi komunikasi digital memang telah memungkinkan kuliah berlangsung tanpa kehadiran fisik mahasiswa dan dosen dalam satu ruangan.

Poltak takjub tapi juga risau. Sebab dia teringat perbedaan "berguru" dan "belajar".

Berguru mengandaikan komunikasi primer antara murid dan guru. Komunikasi dua arah yang akrab.

Komunikasi itu, jika merujuk Habermas, berujung pada kesatu-pahaman yang produktif. Kesatu-pahaman yang membuahkan lagi pemahaman dan kesatu-pahaman baru. Begitulah sains tumbuh dan berbuah.

Sedangkan belajar tidak mengharuskan kehadiran fisik seorang guru dan komunikasi primer dengan murid. Pengajaran secara online itu adalah bentuk nyata belajar.

Bukan kesatu-pahaman yang menjadi hasil utama dalam belajar melainkan pengetahuan. Ada akumulasi pengetahuan pada murid tetapi sifatnya repetitif, bukan produktif. Tahu tapi tak menghasilkan sesuatu yang baru, kecuali hanya "menjadi tahu".

***
Mengapa Poltak kalah tarung kendati sudah menguasai semua gerakan dasar Kung Fu yang dilalapnya dari buku?

Jawabnya gampang. Karena dia tidak punya pengalaman latih-tanding. 

Akibatnya dia tidak tahu kekemahan dirinya. Juga tidak terlatih membaca keunggulan dan celah kelemahan lawan. Poltak hanya tahu tapi dia tidak paham. Latih-tandinglah yang membuahkan prmahaman akan kemampuan diri dan lawan. Jadi hidung berdarah dan gigi seri goyah plus rasa malu memang adalah upah yang sepantasnya untuk Poltak.

Berkaca pada pengalamannya, Poltak risau, khawatir anaknya Tiur akan bernasib sama dengannya. Hanya tahu tapi tidak paham. Karena tidak ada "latih-tanding" lewat diskusi intensif dengan sesama mahasiswa dan dosennya.

Poltak cemas, jangan sampai anaknya menjadi pintar tapi tidak cerdas melalui perkuliahan online. Jika itu terjadi, maka perguruan tinggi hanya berfungsi sekadar pengalih pengetahuan, bukan pembentuk sains.

Semua itu memang gara-gara Covid-19. Maka tidak ada cara lain untuk memupus kecemasan Poltak kecuali patuh "di rumah aja". Agar rantai pandemi Covid-19 secepatnya terputus, sehingga anaknya bisa kuliah normal lagi.

Semoga!(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun