Mohon tunggu...
mentas maning
mentas maning Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Film

Estetika Wayang, Ahmadun Yosi Herfanda

31 Agustus 2018   17:02 Diperbarui: 31 Agustus 2018   17:17 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Kritik social dan pesan kemanusiaan yang disampaikannya pada akhirnya tetap tersembunyi berada di balik peristiwa yang digambarkannya, meski ia berhadapan dengan tembok besi kekuasaan Orde Baru atau dengan kebebasan yang banyak dimanfaatkan sastrawan kontemporer kita dewasa ini. Lihatlah, dari 15 cerpen yang terhimpun dalam antologi ini, hanya dua yang dihasilkannya pasca-Orde Baru, yaitu cerpen "Perempuan yang Menghunus Pisau" dan "Masjid Terakhir". 

Jadi, dalam hal ini, tarikh penulisan dapat kita gunakan sebagai salah satu sarana mencermati potret yang hendak ditampilkannya berikut caranya memasang potret itu. Secara sosiologis ia penting untuk melihat fenomena sosial masyarakat dan semangat zaman. Tarikh menjadi signifikan dalam membangun potret zaman dan fenomena sosial.

Dari sudut itu, Ahmadun menyajikan potret itu dalam dua warna yang secara laten terkesan paradoksal. Ia menampilkan dua sisi karakter manusia yang saling berlawanan, dan keduanya bersemayam dalam satu jiwa. 

Maka, kita akan berhadapan dengan tokoh-tokoh yang mengeluarkan dan sekaligus juga menyembunyikan sesuatu. Bagaimana dalam satu jiwa muncul dua karakter yang saling menentang, kontradiktif, dan paradoksal. Uniknya, bipolarisasi itu tak hadir dalam konteks saling melengkapi dan komplementer, melainkan saling menyembunyikan. Keberpihakan pada tokoh tertentu, misalnya, sekaligus berarti ketidakberpihakan; sebagai bentuk perlawanan atau penentangan.

Contoh lain dapat pula dikemukakan. Bagaimana misalnya, kesucian berselimut kekotoran atau sebaliknya ("Pertobatan Aryati"). Bagaimana pula nilai-nilai kepahlawanan memendam pengkhianatan ("Ombak Berdansa di Liquisa"), solidaritas menyatu dengan egoisitas ("Perempuan yang Menghunus Pisau"). Selalu ada dua sisi; positif---negatif, kekayaan---kemiskinan, atau kelemahan---keunggulan. Semuanya menyatu dalam satu jiwa. Yang dihadirkan bukanlah tokoh hitam---putih, melainkan hitam dan putih sekaligus.

Bagaimana pula harapan---kecemasan, teror dan pengayoman dapat hadir secara bersamaan, serempak---sekaligus. Seperti sebuah senyum ketika tertimpa derita atau tertawa saat menghadap maut. Hampir semua tokoh yang digambarkan Ahmadun dalam antologi cerpen ini memperlihatkan karakter yang bipolar seperti itu. 

Niscaya penghadiran dua kutub karakter yang berlawanan yang mendiami satu tokoh itu, tidak berarti inkonsistensi dalam membangun karakter tokoh. Justru lewat cara itulah, ia telah menyerap estetika wayang dan coba mengangkatnya dalam bentuk cerpen.

Bipolarisasi itu tentu saja menuntut kita menyediakan perangkatnya yang sesuai dan tepat. Tanpa itu, sangat mungkin kita akan menuju pemaknaan yang sesat. Oleh karena itu, tidak dapat lain, antologi ini mesti didekati melalui perspektif estetika wayang. Lihatlah tokoh-tokoh wayang yang mencitrakan prototipe karakter tertentu. Tokoh Bima, misalnya, selalu akan tampil dengan sosok tubuhnya yang tinggi besar, gagah, dan berangasan. 

Menghadapi musuh-musuhnya, Bima akan bertindak telengas dan cenderung kejam. Tetapi, ia juga bisa menjadi tokoh yang penurut, loyal, setia, jujur, dan lemah manakala ia menghadapi siapa pun yang tindakan dan tutur sapanya halus, penuh dengan tipu muslihat, dan bujuk rayu. Bima bisa menjadi sosok yang menjunjung tinggi solidaritas dan kesetiakawanan yang kadangkala berlebihan, tetapi juga bisa menjadi tokoh yang sangat pragmatis dan tidak taktis.

Demikian juga tokoh Durna, misalnya, yang kerap dicitrakan sebagai sosok pengadu domba, licik, dan culas, pada saat yang sama, bisa pula menjadi tokoh yang arif bijaksana dan berjiwa besar ketika tokoh lain tak mampu melahirkan gagasan-gagasan cemerlang dan tidak ada yang mau berkorban. 

Lihat juga para tokoh punakawan yang muncul dalam goro-goro. Mereka menghadapi dan menyikapi apa pun dengan cara santai, guyon, banyol, dan penuh kelakar. Seolah-olah hidup ini tidak perlu disikapi dengan cara berkerut kening, kaku, dan penuh perhitungan kalkulasi untung---rugi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun