Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjebak Guru dalam Birokrasi: Membongkar Miskonsepsi Perubahan Kurikulum

27 April 2024   09:52 Diperbarui: 27 April 2024   10:29 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.canva.com/newmarants

Merdeka Belajar membawa janji revolusioner untuk membebaskan guru dan murid dari belenggu kurikulum yang kaku dan penuh tekanan. Konsep ini menggugah semangat inovasi dan kreativitas dalam proses belajar-mengajar, memungkinkan fleksibilitas dan adaptabilitas dalam pendekatan pembelajaran. Namun, di tengah gegap gempita implementasi, tercium aroma miskonsepsi yang berbahaya. Beberapa pihak mungkin menganggap Merdeka Belajar sebagai kesempatan untuk mengurangi standar pendidikan atau bahkan menghindari tanggung jawab dalam memberikan materi yang esensial bagi siswa.

Tahun ajaran 2024/2025 menandai era baru pendidikan Indonesia dengan diberlakukannya Kurikulum Merdeka secara nasional. Sebuah langkah berani ini membuka peluang transformasi yang luar biasa, namun juga mengundang berbagai pertanyaan dan kekhawatiran. Perubahan kurikulum memang bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, dapat menjadi alat transformasi pendidikan yang luar biasa, membuka pintu bagi kreativitas, eksplorasi, dan penemuan. Guru dapat menyesuaikan materi pembelajaran dengan kebutuhan dan minat siswa, menciptakan pengalaman belajar yang lebih bermakna dan relevan. Namun, di sisi lain, perubahan ini juga membawa risiko menjebak guru dalam labirin birokrasi yang tak berujung. Proses implementasi yang kompleks dan persyaratan administratif yang rumit dapat mengalihkan fokus dari inti pendidikan yang seharusnya, yakni meningkatkan pemahaman dan keterampilan siswa.

Dalam menghadapi dinamika Merdeka Belajar, penting bagi pemerintah, sekolah, dan masyarakat untuk memahami secara menyeluruh visi dan tujuan dari konsep ini. Merdeka Belajar harus diterapkan dengan bijak dan bertanggung jawab, dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang pendidikan nasional dan kesejahteraan siswa. Dengan demikian, perubahan kurikulum dapat menjadi sarana positif untuk meningkatkan mutu pendidikan dan membawa dampak positif bagi perkembangan generasi masa depan.

Miskonsepsi Pertama: Mengubah Format, Bukan Esensi

Perubahan kurikulum sering disalahartikan sebagai perombakan format dokumen dan administratif. Guru disibukkan dengan pembuatan Modul Ajar, asesmen baru, dan berbagai format laporan, tanpa menyelami esensi kurikulum itu sendiri.

Kurikulum, bukan sekadar dokumen! Ia adalah filosofi, panduan, dan kompas yang menuntun proses belajar mengajar. Lebih dari itu, kurikulum adalah alat untuk membebaskan guru dan murid dari belenggu sistem pendidikan yang kaku dan penuh tekanan. Tanpa memahami filosofi di baliknya, guru terjebak dalam rutinitas administratif, tak mampu menavigasi perubahan dengan makna dan tujuan yang jelas.

Kurikulum Merdeka bukan sekadar mengubah format dokumen, melainkan mengubah cara pandang dan praktik pembelajaran. Ia menekankan pada kemerdekaan belajar, kebutuhan murid, dan transformasi profesi guru.

Miskonsepsi ini dapat berakibat fatal jika dibiarkan. Guru akan terjebak dalam labirin birokrasi, tak mampu mengimplementasikan kurikulum baru dengan efektif. Murid pun akan kehilangan kesempatan untuk belajar dengan cara yang lebih bermakna dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Untuk itu, penting bagi kita semua untuk memahami esensi Kurikulum Merdeka dan mempersiapkan diri dengan baik.

Miskonsepsi Kedua: Melupakan Kebutuhan Murid

Melupakan Kebutuhan Murid merupakan pernyataan yang mencolok dan penting dalam diskursus tentang Kurikulum Merdeka. Miskonsepsi ini, jika dibiarkan, dapat menghambat efektivitas implementasi kurikulum baru dan menggagalkan tujuannya untuk membangun pendidikan yang lebih berpusat pada murid.

Pertama, Kurikulum Merdeka menekankan pada kemerdekaan belajar. Kemerdekaan belajar ini bukan berarti murid dibiarkan bebas tanpa arahan. Justru, guru harus berperan sebagai fasilitator yang membantu murid untuk menemukan potensi dan minatnya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun