Mohon tunggu...
Lisa Noor Humaidah
Lisa Noor Humaidah Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat buku dan tulisan

Tertarik pada ilmu sosial, sejarah, sastra dan cerita kehidupan. Bisa juga dijumpai di https://lisanoorhumaidah.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buku Referensi Penting tentang Kekristenan di Tanah Papua

13 Desember 2019   16:01 Diperbarui: 14 Desember 2019   07:54 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika tiba di depan pintu, saya seperti sedang berkunjung di salah satu rumah yang pernah saya jumpai di desa windmills/kincir angin di lokasi wisata yang wajib dikunjungi jika ke Belanda, Zaanse Schans. Rumah yang kami kunjungi ini berdinding kayu, dengan portico pada pintu masuk utama sebagai pengganti teras dan pilar yang kerap ada di rumah berarsitektur Belanda.

Masuk ke dalam rumah kita akan menjumpai ruang tamu utama yang tidak terlalu luas, namun terasa lapang dan menenangkan karena jendela kaca tembus pandang mengelilingi  hampir seluruh bagian tembok ruang tamu. Dari ruang tamu kita dapat memandang halaman luar, yang luas, dengan rumput yang rapi disiangi, pohon-pohon pinus dan ilalang yang rindang menaungi. Terlihat beberapa bunga paku dan sejenis krisan tertanam rapi sepanjang dan menandai jalan setapak kecil. Ruang tamu dilengkapi dengan perapian dan mini bar. Seluruh ruangan terlihat berlantai kayu, begitu juga dinding dengan kombinasi batu kali dan batu bata merah.

Rumah yang kami kunjungi tersebut, rumah salah satu keluarga misionaris asal Belanda di salah satu district di Wamena, Jayawijaya, Papua, kurang lebih 30 menit dengan mobil dari kota Kabupaten. Mereka terbang jauh ribuan kilometer dari negara asalnya untuk misi dan tugas mulia dalam kerangka meneguhkan misi ketuhanan, misi kekristenan di tanah Papua.

Misionaris dan kekristenan memegang peran sangat penting dalam membangun identitas orang asli Papua disamping identitas kesukuan mereka, sampai sekarang. Dinamika selalu ada terutama dalam kerangka politik di bawah pemerintahan Indonesia, namun memahami Papua harus juga memahami konteks bagaimana kesadaran akan diri bangsa Papua tumbuh dan terbentuk.

Saya sedang membaca buku A History of Christianity in Indonesia, sebagaimana cover tulisan ini, yang diedit oleh Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbirk. Buku ini diterbitkan oleh Brill, Leiden, Belanda tahun 2008 dan secara gratis dapat diakses online di sini. Karena memiliki ketertarikan khusus tentang Papua, salah satu chapter/bagian yang langsung dibaca adalah tentang Kekristenan di Papua.  Bagian tersebut dapat dibaca dan diunduh di sini.

Dari beberapa referensi yang pernah saya baca, buku ini komprehensif mengulas  bagaimana agama Kristen masuk ke Papua. Bahkan detil tentang periode, masuk dan tumbuhnya gereja, kongregasi, tokoh yang berperan penting, dinamika politik sampai angka- angka disajikan. Buku yang sangat pas kita di baca di bulan Desember ini.

Tulisan ini sedikit mengulas isi dari chapter Kekristenan di Papua. Tentu tidak  semua, agar Anda juga turut membacanya:-)
 
Awal Mula Kekristenan di Papua: Sebuah Ringkasan

Misi kekristenan mulai di Papua pada tahun 1855, hampir setengah abad sebelum pemerintah kolonial/penjajah Belanda memasuki tertori ini untuk membangun post pemerintahan. Tidak ada bukti kongkrit misi kekristenan ke Papua sebelum abad 19. Namun demikian, kekristenan di Indonesia Timur secara tidak langsung mempengaruhi agama Kristen sebagai agama mayoritas yang dipeluk orang Papua. Misionaris dari Portugis, Spanyol Perancis dan juga yang lain dari tahun 1520 dan seterusnya terbukti telah memasuki Maluku dan mendirikan pos di Tidore, Ternate, Seram, Ambon, dan Banda (Neira). Semua wilayah tersebut memilki hubungan dagang dengan kepulaan  Raja Ampat dan wilayah di Kepala Burung Papua. Yesuit Spanyol, di waktu yang sama, aktif di Filipina dan mencoba untuk menjangkau Maluku dan wilayah West New Guinea (lihat hal. 348-349).

Di awal abad 17 pengaruh Portugis dan Spanyol digantikan oleh Belanda dengan masuknya Dutch East India Company (VOC atau Kompeni)  ke wilayah Indonesia Timur. Belanda tidak memprioritaskan misi kekristenan sebagaimana yang dilakukan oleh Spanyol dan Portugis.  Namun demikian,  sangat dimungkinkan, melalui hubungan perdagangan dan pertemuan dalam perjalanan, mereka saling berbagi informasi tentang kekristenan. Dan ini secara tidak langsung  mempengaruhi transformasi pada mitos-mitos yang masih dipercayai. Biak, Raja Ampat dan wilayah -- wilayah di Teluk Cendrawasih mempercaya tentang juru selamat yang pergi atau telah mangkat namun ia akan kembali setelah seribu tahun untuk membawa masa keemasan, kejayaan surga/kerajaan yang bertahta di bumi sebelum masa akhir penghakiman tiba (konsep millennium/millenarian).

Orang Biak menyebut sosok yang dinantikan ini sebagai Koreri. Yang kemudian secara umum dikenal sebagai messiah, nabi, konor. Figur kenabian ini disebut di Biak dan Numfor, Mansere Mangundi. Suku Me di Paniai, wilayah Tenggara Nabire juga mempercayai mitos yang kurang lebih sama, tentang kembalinya Koyeidaba yang akan mengorbankan hidupnya untuk kehidupan yang baru untuk membantu manusia dalam hal yang lebih konkrit seperti bercocok tanam panen untuk hasil dan sumber makanan yang lebih baik. Buku ini mengutip pendapat ahli antropologi dan juga pemimpin gereja yang cukup kita kenal, Dr Benny Giay yang berpendapat suku Me di Paniai menganggap mitos atau kepercayaan ini sama dengan kepercayaan mereka terhadap gereja dan kekristenan. Ini yang membantu penerimaan terhadap Gospel/Injil di Papua.

Upaya misi sistematis di West Papua merupakan inisiatif dari minister Jerman Johannes Evangelist Gossner (1773-1858). Dia didukung oleh minister Belanda Otto G. Heldring yang juga pendiri institute for destitute women and girls  (institute untuk perempuan dan anak remaja miskin) pada tahun 1848. Heldring juga pedukung kebangkitan gereja di Belanda dimana mereka percaya Belanda adalah wilayah yang terpilih oleh Tuhan. Misi kekristenan di Papua terkait dengan misi millenarian juga. Mereka percaya kebangkitan Yesus akan terjadi seiring dengan Gospel/Injil mencapai akhir/ujung dari Bumi ini. Tidak banyak wilayah di bumi yang terpencil seperti halnya Papua. Untuk itulah Papua terpilih (lihat hal. 350).

Hingga pada akhirnya Injil masuk Papua pada 5 Februari 1855 ketika Carl Ottow dan Johann Geissler menginjakkan kakinya pertama kali di Mansinam, pulau kecil di Manokwari. Mereka bersujud di pantai dan berdoa, dan menyatakan seluruh pulau dan Papua telah dibaptis. Hari masuknya mereka berdua ini, tanggal 5 Februari, ditetapkan menjadi hari libur resmi di Papua dan (Papua Barat) pada tahun 2001.  

Tidak mudah menyebarkan agama Kristen di wilayah ini karena mereka tidak disiapkan untuk mengubah kebiasaan masyarakat. Ottow dan Giessler memulai belajar Bahasa serta mengumpulkan kata-kata dan tata Bahasa/grammar dalam Bahasa Numfor. Sebagai bentuk pengakuan, pemerintah Belanda memberikan dukungan pendanaan termasuk mengirim petani dari Jawa yang ahli menanam tembakau.

Tahun 1863, the Utrecht Mission Society (Utrechtse Zendings Vereniging, UZV) bergabung dengan minister Heldring dan memulai misi di West Papua dengan mengirimkan misionaris, teologist  yang juga artisan, J.L. van Hasslet dengan istrinya S. Hulstaert, Th.F. Klaassen dengan istrinya C. Aarsen dan juga W. Otterspoor. Melalui mereka, masyarakat diperkenalkan dengan perdagangan. Walaupun upaya ini tidak mudah dilakukan. Mereka lebih fokus bagaimana anak-anak bersekolah. Hasslet kemudian menghentikan cara-cara yang dilakukan para misionaris sebelumnya yang menyediakan rokok, gambir dan sirih untuk menarik jemaat datang ke gereja. Ada juga semacam cara yang diperdebatkan saat itu yaitu membeli (anak) budak untuk dijadikan anak piara yang kemudian mengabdi dan disekolahkan oleh misionaris sebagai bentuk pembebasannya.

Karena upaya yang tidak mudah, tahun 1880, 25 tahun setelah kedatangan para pioneer, hanya 20 orang yang dibaptis termasuk anak-anak Papua yang diadopsi oleh para misionaris. Sepuluh tahun kemudian, 1890 di Mansiman terdapat 42 keanggotaan tetap, 44 anak yang dibaptis, rata-rata jemaat gereja 175. Kehadiran sekolah 60 siswa dan 32 siswa katesis (kateksasi).  Tahun 1892, misi mengirimkan dua orang siswa asli Papua,  Petrus Kafiar dan Timotheus Awendu ke sekolah Seminari di Depok yang kemudian mereka berdua menjadi guru.  

Masa Pemerintahan Indonesia

Buku ini menggambarkan dinamika yang lengkap dari mulai masuknya Injil di Papua; masa pendudukan Belanda; jaman dan paska perang dunia kedua; sampai kemudian adaptasi ketika Papua menjadi bagian Indonesia; perkembangan kongregasi di wilayah-wilayah di Papua termasuk juga gereja Katolik; misionaris yang pro-Indonesia; termasuk kerja sama antar gereja untuk bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintahan Indonesia.  

Agustus 1962 melalui New York Agreement, Pemerintah Belanda menyerahkan wilayah Papua ke Indonesia karena Papua adalah wilayah koloni Hindia Belanda yang tersisa. 1 Oktober 1962, Belanda menyerahkan secara administrasi wilayah Papua ke Majelis Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). PBB lalu kemudian menyerahkannya kepada Indonesia pada 1 Mei 1963 yang tidak lama kemudian tahun 1969 orang Papua diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya untuk integrasi ke Indonesia yang dikenal dengan "Act of Free Choice" di bawah pengawasan PBB.

Buku ini menggambarkan, di awal Oktober 1962 Indonesia mengerahkan kekuatan militer dan seolah-olah ini merupakan upaya memerdekakan Papua dari kekuatan koloni yang menindas. Militer mengklaim bahwa tanah dan orang-orang yang tinggal di dalamnya adalah hasil dari penundukan. Mereka mulai melenyapkan jejak-jejak keberadaan Belanda di pemerintahan dan juga pendidikan. Seluruh sekolah harus memusnahkan buku -- buku berbahasa Belanda dan menggantinya dengan Bahasa Indonesia yang digunakan di wilayah Indonesia lain. Orang Papua diperkenalkan dengan nama-nama seperti Ahmad serta gambaran lain dimana dalam banyak hal tidak sesuai dengan kebudayaan dan kondisi di Papua. Orang Papua yang terpelajar di gereja sekolah, perdagangan dan pemerintah dicurigai pro-Belanda dan implikasinya anti-Indonesia.

Gereja Kristen Injili di Nederlandsch Nieuw-Guinea (GKI) yang diresmikan tahun 1956, setelah masa perang, merupakan komitmen misionaris Belanda untuk memberikan tanggung jawab lebih kepada orang Papua asli. Misionaris Rev. Izaak Samuel Kijne yang mendirikan sekolah teologi di Seru pada tahun 1956 sangat berjasa menyiapkan sumber daya orang Papua asli untuk menjadi minister (anak gembala, pendeta) di tanah mereka sendiri (lihat hal. 360-361).

GKI menjadi gereja terbesar di Papua. Terjadi dinamika selama periode awal-awal integrasi Indonesia. Mereka mengembangkan teologi untuk beradaptasi dan bekerja sama dalam rangka untuk bertahan. Salah satu perdebatan yang mengemuka adalah untuk penerimaan ideologi negara Pancasila sebagai asas tunggal. Campur tangan militer besar. Dalam hal ini gereja diposisikan sebagai cabang dari negara. Masyarakat dimiliki oleh pemerintah bukan sebaliknya.  Buku ini menggambarkan para pemimpin gereja yang pro-pemerintah dan juga yang tetap kritis dan berpegang teguh pada cita-cita pembebasan. Dalam setiap sikap yang diambil, mereka menggunakan pendekatan teologis sebagai bagian dari strategi dan seperti disinggung di atas, upaya bertahan.

Sebagai bagian bentuk sikap, gereja-gereja independent terbentuk pada masa ini. Dari masyarakat grass root teologi pembebasan lahir dan bertumbuh. Peristiwa-peristiwa politik diterjemahkan menggunakan metafora dari Bible. Orang Papua diidentifikasi sebagai orang Israel sebagaimana di Perjanjian Lama. Sebagaimana kaum Israel berada di padang pasir selama 40 tahun maka bangsa Papua pun kurang lebih sama, berada di padang pendudukan Indonesia selama 40 tahun lebih (dimulai tahun 1962 dan kemudian seterusnya) untuk nantinya masuk pada Promised Land (tanah yang telah dijanjikan) yang dianalogikan sebagai memperoleh kemerdekaan.

Ketika rombongan orang Papua bertemu Presiden B.J. Habibie untuk menuntut kemerdekaan, mereka seperti Moses yang menuntut kemerdekaan bagi bangsa Isreal dari pharaoh (Fir'aun). Bangsa Papua juga seperti Jonah yang ditelan oleh ikan besar dalam hal ini Indonesia. Pada akhirnya ikan besar ini akan memuntahkan Jonah. Yesus adalah Raja bagi orang Papua yang akan membawa mereka dari kehidupan yang penuh ketertindasan kepada kemerdekaan. Tuhan memberikan berkat yang khusus bagi bangsa Papua karena mereka tetap beriman dalam kekristenan di negara mayoritas Muslim (lihat halaman 374-375).  

Sekali lagi, membaca buku ini sangat menarik dan semakin menegaskan gereja dan kekristenan adalah faktor yang sangat penting bagi pembentukan identitas Papua. Gereja membuka wilayah-wilayah yang tak terjangkau dan membangun pendidikan untuk orang Papua di area pendidikan, layanan kesehatan dan juga partisipasi politik. Gereja juga merupakan aktor penting untuk menjaga Papua sebagai tanah damai dan mencegah upaya-upaya kekerasan dan provokasi konflik horizontal seperti yang terjadi di Ambon dan Poso.

Dan saya rasa penting untuk melanjutkan tulisan dari chapter ini untuk masa reformasi dan terutama dalam kerangka Otonomi Khusus. Bagian ini akan menjadi sangat menarik terutama untuk melihat dan mendiskusikan untuk pendekatan terbaik bagi Tanah Papua ke depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun