Mohon tunggu...
Lisa Noor Humaidah
Lisa Noor Humaidah Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat buku dan tulisan

Tertarik pada ilmu sosial, sejarah, sastra dan cerita kehidupan. Bisa juga dijumpai di https://lisanoorhumaidah.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buku Referensi Penting tentang Kekristenan di Tanah Papua

13 Desember 2019   16:01 Diperbarui: 14 Desember 2019   07:54 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak mudah menyebarkan agama Kristen di wilayah ini karena mereka tidak disiapkan untuk mengubah kebiasaan masyarakat. Ottow dan Giessler memulai belajar Bahasa serta mengumpulkan kata-kata dan tata Bahasa/grammar dalam Bahasa Numfor. Sebagai bentuk pengakuan, pemerintah Belanda memberikan dukungan pendanaan termasuk mengirim petani dari Jawa yang ahli menanam tembakau.

Tahun 1863, the Utrecht Mission Society (Utrechtse Zendings Vereniging, UZV) bergabung dengan minister Heldring dan memulai misi di West Papua dengan mengirimkan misionaris, teologist  yang juga artisan, J.L. van Hasslet dengan istrinya S. Hulstaert, Th.F. Klaassen dengan istrinya C. Aarsen dan juga W. Otterspoor. Melalui mereka, masyarakat diperkenalkan dengan perdagangan. Walaupun upaya ini tidak mudah dilakukan. Mereka lebih fokus bagaimana anak-anak bersekolah. Hasslet kemudian menghentikan cara-cara yang dilakukan para misionaris sebelumnya yang menyediakan rokok, gambir dan sirih untuk menarik jemaat datang ke gereja. Ada juga semacam cara yang diperdebatkan saat itu yaitu membeli (anak) budak untuk dijadikan anak piara yang kemudian mengabdi dan disekolahkan oleh misionaris sebagai bentuk pembebasannya.

Karena upaya yang tidak mudah, tahun 1880, 25 tahun setelah kedatangan para pioneer, hanya 20 orang yang dibaptis termasuk anak-anak Papua yang diadopsi oleh para misionaris. Sepuluh tahun kemudian, 1890 di Mansiman terdapat 42 keanggotaan tetap, 44 anak yang dibaptis, rata-rata jemaat gereja 175. Kehadiran sekolah 60 siswa dan 32 siswa katesis (kateksasi).  Tahun 1892, misi mengirimkan dua orang siswa asli Papua,  Petrus Kafiar dan Timotheus Awendu ke sekolah Seminari di Depok yang kemudian mereka berdua menjadi guru.  

Masa Pemerintahan Indonesia

Buku ini menggambarkan dinamika yang lengkap dari mulai masuknya Injil di Papua; masa pendudukan Belanda; jaman dan paska perang dunia kedua; sampai kemudian adaptasi ketika Papua menjadi bagian Indonesia; perkembangan kongregasi di wilayah-wilayah di Papua termasuk juga gereja Katolik; misionaris yang pro-Indonesia; termasuk kerja sama antar gereja untuk bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintahan Indonesia.  

Agustus 1962 melalui New York Agreement, Pemerintah Belanda menyerahkan wilayah Papua ke Indonesia karena Papua adalah wilayah koloni Hindia Belanda yang tersisa. 1 Oktober 1962, Belanda menyerahkan secara administrasi wilayah Papua ke Majelis Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). PBB lalu kemudian menyerahkannya kepada Indonesia pada 1 Mei 1963 yang tidak lama kemudian tahun 1969 orang Papua diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya untuk integrasi ke Indonesia yang dikenal dengan "Act of Free Choice" di bawah pengawasan PBB.

Buku ini menggambarkan, di awal Oktober 1962 Indonesia mengerahkan kekuatan militer dan seolah-olah ini merupakan upaya memerdekakan Papua dari kekuatan koloni yang menindas. Militer mengklaim bahwa tanah dan orang-orang yang tinggal di dalamnya adalah hasil dari penundukan. Mereka mulai melenyapkan jejak-jejak keberadaan Belanda di pemerintahan dan juga pendidikan. Seluruh sekolah harus memusnahkan buku -- buku berbahasa Belanda dan menggantinya dengan Bahasa Indonesia yang digunakan di wilayah Indonesia lain. Orang Papua diperkenalkan dengan nama-nama seperti Ahmad serta gambaran lain dimana dalam banyak hal tidak sesuai dengan kebudayaan dan kondisi di Papua. Orang Papua yang terpelajar di gereja sekolah, perdagangan dan pemerintah dicurigai pro-Belanda dan implikasinya anti-Indonesia.

Gereja Kristen Injili di Nederlandsch Nieuw-Guinea (GKI) yang diresmikan tahun 1956, setelah masa perang, merupakan komitmen misionaris Belanda untuk memberikan tanggung jawab lebih kepada orang Papua asli. Misionaris Rev. Izaak Samuel Kijne yang mendirikan sekolah teologi di Seru pada tahun 1956 sangat berjasa menyiapkan sumber daya orang Papua asli untuk menjadi minister (anak gembala, pendeta) di tanah mereka sendiri (lihat hal. 360-361).

GKI menjadi gereja terbesar di Papua. Terjadi dinamika selama periode awal-awal integrasi Indonesia. Mereka mengembangkan teologi untuk beradaptasi dan bekerja sama dalam rangka untuk bertahan. Salah satu perdebatan yang mengemuka adalah untuk penerimaan ideologi negara Pancasila sebagai asas tunggal. Campur tangan militer besar. Dalam hal ini gereja diposisikan sebagai cabang dari negara. Masyarakat dimiliki oleh pemerintah bukan sebaliknya.  Buku ini menggambarkan para pemimpin gereja yang pro-pemerintah dan juga yang tetap kritis dan berpegang teguh pada cita-cita pembebasan. Dalam setiap sikap yang diambil, mereka menggunakan pendekatan teologis sebagai bagian dari strategi dan seperti disinggung di atas, upaya bertahan.

Sebagai bagian bentuk sikap, gereja-gereja independent terbentuk pada masa ini. Dari masyarakat grass root teologi pembebasan lahir dan bertumbuh. Peristiwa-peristiwa politik diterjemahkan menggunakan metafora dari Bible. Orang Papua diidentifikasi sebagai orang Israel sebagaimana di Perjanjian Lama. Sebagaimana kaum Israel berada di padang pasir selama 40 tahun maka bangsa Papua pun kurang lebih sama, berada di padang pendudukan Indonesia selama 40 tahun lebih (dimulai tahun 1962 dan kemudian seterusnya) untuk nantinya masuk pada Promised Land (tanah yang telah dijanjikan) yang dianalogikan sebagai memperoleh kemerdekaan.

Ketika rombongan orang Papua bertemu Presiden B.J. Habibie untuk menuntut kemerdekaan, mereka seperti Moses yang menuntut kemerdekaan bagi bangsa Isreal dari pharaoh (Fir'aun). Bangsa Papua juga seperti Jonah yang ditelan oleh ikan besar dalam hal ini Indonesia. Pada akhirnya ikan besar ini akan memuntahkan Jonah. Yesus adalah Raja bagi orang Papua yang akan membawa mereka dari kehidupan yang penuh ketertindasan kepada kemerdekaan. Tuhan memberikan berkat yang khusus bagi bangsa Papua karena mereka tetap beriman dalam kekristenan di negara mayoritas Muslim (lihat halaman 374-375).  

Sekali lagi, membaca buku ini sangat menarik dan semakin menegaskan gereja dan kekristenan adalah faktor yang sangat penting bagi pembentukan identitas Papua. Gereja membuka wilayah-wilayah yang tak terjangkau dan membangun pendidikan untuk orang Papua di area pendidikan, layanan kesehatan dan juga partisipasi politik. Gereja juga merupakan aktor penting untuk menjaga Papua sebagai tanah damai dan mencegah upaya-upaya kekerasan dan provokasi konflik horizontal seperti yang terjadi di Ambon dan Poso.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun