Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Cara Mensejahterakan Petani?

22 April 2019   14:35 Diperbarui: 27 April 2019   15:30 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi diambil dari id.techinasia.com/ Petani sedang mengakut padi hasil panen

Dengan tidak berimbangnya pemerintah dengan nasib petani, ditambah regulasi bisnis melalui tengkulak-tengkulak dalam jual-beli gabah petani masih dilakukan. Secara teori pasar, tengkulak  dijualnya kepada bulog? Ketetapan harga dari bulog saja belum mensejahterakan petani ditambah harus dikurangi nilai harganya oleh tengkulak? Bagaimana ini? Petani riwayatmu kini, mengapa hanya terus Listrik dan BBM yang disubsidi? Sedangakan engaku petani yang sangat membutuhkan subsidi.

Listrik dan BBM jelas mensubsidi yang sudah mapan secara ekonomi. Mengapa yang rentan miskin seperti petani justru tidak tersubsidi oleh negara? Mungkin beras juga dipolitisir oleh negara, dimana para pemegang kuasa adalah mereka para tengkulak beras dan politikus busuk yang bermain harga beras melalui lembaga bulog.

Ketika produksi gabah dalam negri melimpah, tengkulak/bulog membeli murah pada petani, lalu ditimbun. Stok mulai menipis diakar rumput, ia melepaskan sedikit demi seditik stok berasnya karna harga mulai naik. Begitu beras langka, semakin mahal harganya, mereka impor membeli dengan harga murah di luar negri, lalu dijual mahal di dalam negri dengan dalih mensetabilkan harga beras. "Petani malang nian nasibmu, sulit sekali negri ini mensejahterakanmu".

Cara keluarga petani mensejahterakan dirinya sendiri

Ketergantungan ekonomi petani pada gabah itu sendiri secara tidak langsung membuat ketidakpastian. Harga yang berubah-ubah karena mekanisme pasar membuat mereka "petani" bukan hanya harus pandai melihat pasar tetapi juga diperbanyak bersabar menunggu harga gabah naik.

"Jika Bapakmu seorang petani dan kamu bekerja di sektor industri yang setiap bulan gajian, subsidi-lah ekonominya sementara menunggu harga gabah naik, karena hanya dengan harga gabah tinggi mereka dapat sejahtera"

Mensubsidi "petani" bukan berarti sepenuhnya mencukupi kebutuhannya. Dalam ranah ekonomi keluarga, hanya petani yang hidupnya sangat efisien. Kebanyakan orang desa lainnya, keluarga saya pun terbilang efisen dalam menjangkau kebutuhan sehari-hari. Sayuran mengambil tanaman sendiri, padi juga menanam sendiri, hanya kebutuhan akan bumbu dapur, buah, daging itu yang harus dibeli.

Perkara buah dan daging tidaklah terlalu sering untuk dibeli, sesekali jika ada uang lebih baru membeli. Yang menjadi kebutuhan dasar itu dalam rumah tangga seorang petani adalah bumbu dapur, listrik, air PDAM dan kondangan di Desa. Masih terjaganya tradisi hajatan masyarakat desa sendiri membuat, "untuk kodangan seorang petani harus menyiapkan uang sebagai sumbangan yang sudah menjadi rutinitas setiap tahun secara turun-temurun dalam tatanan masyarakat desa".

Untuk itu jika tidak ada subsidi lebih dahulu dari anggota keluaraga petani, memungkinkan gabah akan terjual habis untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Belum lagi kebutuhan pupuk, biaya jasa traktor, dan tenaga jika sawah tidak terkelola sendiri oleh petani, dimana untuk mengerjakan sawah harus mempekerjakan buruh tani. Menjadi mending ketika dari semuanya digarap tenaga sendiri oleh petani, "biaya oprasional tidak begitu membengkak".

Seperti kebanyak petani di desa lainnya, bapak saya pun seorang petani yang tidak punya lahan. Lahannya sendiri didapat dari mengontrak lahan tergantung kesepakatan berapa lama sewa antara penyewa dan yang menyewakan. Disini kita dapat menyimak, untuk sewa lahannya saja dibutukan biaya yang tidak sedikit, maka dari itu bapak saya lebih suka sewa lahan dalam bentuk "gadai" lahan, "dapat menggarap sawah, uang balik".

"Namun untuk mengadai lahan dibutuhkan biaya yang berkali-kali lipat dari biaya sewa, inilah masalahnya. Juga tidak setiap yang punya lahan mengandaikan lahannya, tergantung ada kebutuhan mendesak, uang dalam jumlah besar. Biasanya yang punya lahan mengadaikan sawahnya karena himpitan biaya sekolah anak yang besar biayanya" mau tidak mau mereka harus menggadaikan sawahnya untuk menutup biaya sekolah anaknnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun