Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Kepergian Artidjo Alkostar, Sang Algojo Koruptor yang Patut Diteladani

1 Maret 2021   01:05 Diperbarui: 2 Maret 2021   18:56 1862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hakim Agung Artidjo Alkostar. | (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)

Innalillahi wa innaillaihi rojiun. Kabar duka menyelimuti harapan warga Tanah Air dalam memberantas korupsi. Artidjo Alkostar meninggal dunia pada Ahad, 28 Februari 2021.  Artidjo meninggal karena sakit jantung dan paru-paru.

Sebelum wafat, Artidjo Alkostar menjabat sebagai anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) untuk periode 2019-2023. Pria yang dikenal memiliki integritas tinggi dalam memberangus berbagai kasus korupsi itu saat ini harus benar-benar "purnatugas".

Artidjo Alkostar meninggalkan sederet warisan dan catatan prestasi yang harus diteladani serta ditiru oleh setiap individu demi terciptanya pemerintahan yang bersih.

Artidjo menjadi oase di tengah padang gersang kepercayaan rakyat terhadap institusi hukum di Nusantara. Ia seolah menjadi obat bagi rasa putus asa publik terhadap maraknya korupsi di negeri ini.

Ketokan Palu Sang Algojo Koruptor

Sejak didapuk sebagai Hakim Agung, Artidjo telah mengetok palu berbagai perkara di MA sebanyak 19.708 kasus.

Jika dirata-rata selama 18 tahun masa jabatannya, pria kelahiran Situbondo 22 Mei 1948 silam ini sudah memutus 1.095 kasus setiap tahunnya. Dari angka itu, ada sekitar 842 perkara korupsi yang telah ia tangani. Angka yang sangat mencengangkan!

Semasa hidup, Artidjo menjelma sebagai mimpi buruk bagi para koruptor. Ia tidak pernah pandang bulu dalam memutus perkara, mulai dari kasus yang menyeret nama Presiden Soeharto hingga kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir.

Melalui ketokan palunya, Artidjo sering kali membuat para koruptor ciut nyali. Betapa tidak, koruptor yang mengajukan kasasi ke MA justru kerap diganjar "hadiah" tambahan masa hukuman oleh Artidjo.

Karena "naluri kejam" itulah, banyak koruptor yang justru mencabut perkara di MA ketika tahu bahwa Artidjo yang akan menangani kasusnya.

Ketika memutus perkara korupsi Bank Bali dengan terdakwa Joko Tjandra, Juni 2001 silam, berbeda dengan koleganya, Artidjo secara tegas menolak untuk membebaskan Joko. Ia berpendapat, Joko harus dihukum 20 tahun penjara.

Ia juga pernah memperberat vonis bekas Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, dalam kasus korupsi Hambalang, yang semula tujuh tahun menjadi 14 tahun.

Anas juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57 miliar kepada negara. Artidjo juga memberi "bonus" berupa pencabutan hak dipilih untuk menduduki jabatan publik.

Demikian pula dengan sang kompatriot di partai berlogo biru. Ia memperberat hukuman Angelina Sondakh, dari semula empat tahun menjadi 12 tahun. Angie pun diwajibkan untuk mengembalikan uang negara yang dikorupsinya sebesar Rp12,5 miliar.

Hal senada juga diterapkan oleh Artidjo ketika menghukum bekas Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq. Ia menambah vonis Luthfi menjadi 18 tahun penjara setelah menolak kasasinya di meja MA.

Terpidana kasus suap impor daging dan pencucian uang itu sebelumnya divonis 16 tahun dan denda Rp 1 miliar. Sama seperti Anis, Artidjo juga mencabut hak politik Luthfi.

Kisah "kekejaman" Artidjo masih terus berlanjut. Alih-alih mendapatkan "diskon" ketika mengajukan kasasi ke MA, hukuman mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, justru ditambah, dari yang semula hanya empat tahun menjadi tujuh tahun. Hak politiknya turut dicabut.

Artidjo juga pernah menolak kasasi dari mantan Ketua MK Akil Mochtar sehingga vonisnya tetap hukuman seumur hidup. Permohonan itu ditolak mentah-mentah dengan pertimbangan Akil Mochtar ialah seorang hakim di MK yang seyogyanya menjadi sosok negarawan sejati yang steril dari segala tindak korupsi.

Tidak hanya berhenti sampai di situ. Artidjo juga memberikan bonus vonis kepada sosok advokat kondang, OC Kaligis, dari tujuh tahun menjadi 10 tahun. Ia juga memperberat hukuman dua bekas pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto, yang tersandung perkara mega korupsi proyek e-KTP.

Dari sederet kasus mega korupsi itulah Artidjo menyandang sebuah predikat prestisius sekaligus paling ditakuti oleh para maling terbesar di Nusantara, yakni "algojo koruptor".

Keteladanan Sang Putra Asem Bagus

Artidjo dilantik menjadi Hakim Agung RI pada September 2000 meski setelahnya ia harus terbang ke AS untuk "sekolah" di Northwestern University Illinois selama sembilan bulan.

Lantas, saat pulang ke Indonesia, ia mendapatkan gaji selama sembilan bulan yang belum diambilnya. Namun, ia menolak lantaran merasa gaji itu bukanlah haknya.

Keputusan Artidjo itu dikhawatirkan bisa berimbas pada hakim agung lain. Ia pun akhirnya mengambilnya. Uniknya, alih-alih mengantonginya sendiri, ia justru menyumbangkan gajinya tersebut demi keperluan pembangunan masjid di MA. Sebagian dari gajinya juga dibagikan ke masjid di kampung halaman Artidjo di Situbondo dan Madura.

Pria lulusan FH UII Yogyakarta tahun 1976 itu mengungkapkan bahwa resep dari raihan prestasi briliannya semasa menjabat sebagai Hakim Agung adalah kerja ikhlas.

Artidjo mengaku bahwa bekerja ikhlas bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, upaya itu harus dilakukan karena keikhlasan merupakan nutrisi utama dari batin manusia.

"Saya bisa bekerja sampai larut malam, pulang pun membawa berkas, besok sudah habis, tetapi jika kita tidak ihklas itu energi kita menjadi racun dalam tubuh, menjadi penyakit," ucapnya.

Selama 18 tahun menjabat, ia mengaku tak pernah mengambil cuti. Artidjo juga selalu menolak diajak plesiran ke luar negeri karena akan ada implikasi besar bagi tugasnya. Sikap yang tampak sangat kontras dengan pejabat dan wakil rakyat kita yang doyan plesiran.

Menjadi Hakim Agung tak membuatnya tinggi hati. Saat ia ditanya awak media mengenai keinginannya pasca pensiun, Artidjo bahkan lebih memilih pulang kampung dan memelihara kambing.

Ketokan palu Artidjo mampu membuat koruptor terkencing-kencing di popok. Para terdakwa yang awalnya masih bisa tersenyum atas vonis ringan, dibuatnya menangis dan depresi karena ia justru melipatgandakan hukumannya di level kasasi. Hingga pensiun pada Mei 2018 lalu, ia selalu konsisten garang kepada setiap koruptor yang ia tangani.

Artidjo tidak pernah ragu menjatuhkan hukuman berat terhadap para terdakwa korupsi tanpa memandang peta kekuatan serta sepektrum politiknya. Ia juga tidak mengenal kompromi yang terbukti dari sejumlah perkara kakap dan hukuman berat yang pernah ia jatuhkan.

Hukum diciptakan bukan untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk kemanusiaan dan peradaban. Begitu menurutnya. Oleh sebab itu, semua anak manusia harus diperlakukan sama dan setara. Keadilan itu, kata Artidjo, tidak mengenal batas.

Bagi Artidjo, tidak ada satu profesi pun yang boleh ditempatkan lebih tinggi dari hukum. Hal itu sama saja dengan oligarki. Pandangan semacam itulah yang patut ditiru oleh seluruh pejabat di Indonesia.

"Di dalam negara demokrasi yang berkeadaban, tak boleh ada orang yang berada di atas hukum," tegas Artidjo seperti dinukil dari Kompas.

Artidjo merupakan teladan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Dirinya memiliki karakter yang amat tegas dan teguh dalam menjaga kehormatan. Ia tak sedikitpun tergoda untuk mencecap uang haram. Ia juga tidak gentar mengganjar para penghianat negeri ini dengan vonis hukuman seberat-beratnya. Justru pihak yang pernah ia hukum lah yang merasa gentar dan ciut nyali.

Tidak hanya bagi para hakim, Polri, dan lembaga antirasuah yang saat ini tengah bertugas, seluruh generasi penerus bangsa juga harus meneladani kejujuran dan integritas beliau.

Agaknya, akan sulit menemukan sosok aparat penegak hukum yang jujur dan konsisten dalam menjaga integritasnya seperti Artidjo Alkostar.

Pria kelahiran Asem Bagus, Situbondo, itu menjadi "harta" yang sangat langka di Indonesia. Mungkin kita sudah sangat muak mengetahui aparat penegak hukum yang justru terjerat berbagai kasus hukum, khususnya perkara korupsi.

Mudah-mudahan saja ada sosok baru yang memiliki keberanian dan integritas tinggi yang mampu melanjutkan semua upayanya dalam "menjagal" koruptur.

Seandainya saja saya diijinkan untuk menambah satu tokoh dalam bait humor Gus Dur mengenai "tiga polisi jujur", saya akan menambahkan nama beliau.

"Ada empat penegak hukum jujur di Indonesia, yaitu polisi tidur, patung polisi, Jenderal Hoegeng, serta Hakim Agung Artidjo Alkostar"

Selamat jalan Hakim Agung Artidjo Alkostar. Allahumma firlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun