Mohon tunggu...
Fauzan Ammar Fata Yusuf
Fauzan Ammar Fata Yusuf Mohon Tunggu... Freelancer - Amateur Writer | A Longlife Learner

Masih butuh belajar.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Permasalahan ABK Indonesia di Kapal Asing

8 Mei 2020   00:35 Diperbarui: 11 Mei 2020   23:32 1674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ABK. (Foto: AP Photo/Dita Alangkara via kompas.com)

Akhir-akhir ini beredar berita mengenai pelanggaran HAM kepada WNI yang menjadi ABK Asing. Berita itu awalnya viral terlebih dahulu di Korea dan menjadi trending di Youtube Korea. 

Berita mengenai permasalah tersebut bukan lah yang baru, yang mana ini sudah jadi permasalahan sejak lama. Permasalahan seperti ini yang terjadi secara terus-menerus, menunjukan kurangnya pengawasan langsung dari Pemerintah dan regulasi yang ada masih kurang optimal untuk melindungi WNI yang bekerja sebagai ABK Asing. 

Permasalahan ini juga seharusnya menjadi fokus utama Pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah-langkah yang lebih baik dalam peningkatan perlindungan kepada WNI yang menjadi ABK Asing.

Nelayan yang bekerja di Kawasan Asia Tenggara merupakan pekerjaan yang beresiko tinggi menjadi korban perdagangan manusia, eksploitasi tenaga kerja dan perbudakan. Pemerintah Indonesia harus berkomitmen untuk melindungi hak asasi manusia (HAM) nelayan, secara legal maupun dalam praktik di lapangan.

Pelanggaran HAM yang dialami oleh pelaut seperti kekerasan, jam kerja yang tidak sesuai, ketidaksesuaian gaji yang diterima, ketidaksesuaian jobdesc, tidak mendapat makanan/minuman yang layak, intimidasi, pengancaman, penindasan, penganinyaan baik fisik maupun mental.

Saat ini regulasi yang mencakup ada tiga undang-undang, yaitu UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No.17/2008 tentang Pelayaran, dan UU No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Selain itu, ada juga Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan.

Undang-undang 18 tahun 2017 berisikan tentang Pemerintah memberikan perlindungan penuh kepada pekerja migrannya, yang mana tidak terkecualii terhadap WNI yang menjadi ABK Asing pun hak-haknya juga harus dilindungi. 

Kewajiban Pemerintah untuk memastikan pemenuhan hak-hak terhadap pekerja baik mereka yang pergi melalui agen penempatan maupun secara mandiri, mengawasi pelaksanaan penempatan calon pekerja, membangun dan mengembangkan sistem informasi tentang penempatan calon pekerja di negara tujuan.

Selain itu, perlu juga melakukan upaya diplomasi untuk memastikan kepatuhan hak, perlindungan pekerja secara optimal di negara tujuan, dan melindungi pekerja selama periode pra-keberangkatan sampai pasca penempatan.

Penulis setelah membaca peraturan Menteri Perhubungan no.84/2013, mengambil kesimpulan bahwa peran Pemerintah terkait pengawasan langsung masih kurang. 

Justru Pemerintah memberikan tanggung jawab sepenuhnya mengenai pengawasan terhadap WNI yang bekerja menjadi ABK Asing kepada Agen Tenaga Kerja. Ini menjadi bukti bahwasanya banyak sekali kejadian-kejadian pelanggaran HAM yang dilakukan oleh perusahaan perikanan kepada WNI yang mejadi ABK Asing.

Salah satu pemicu permasalahan-permasalahan WNI yang bekerja sebagai pelaut Asing adalah agen tenaga kerja, yang mana sekarang berkembang pesat di seluruh wilayah Indonesia.

Menjamurnya agen tenaga kerja, didasari regulasi UU No.40/2007 tentang perseroan terbatas dan peraturan Menteri Perhubungan No.84/2013 tentang perekrutan dan penempatan awak kapal.

Belum adanya penertiban aturan pelaksanaan yang baru yang menjadi turunan dari UU No.18/2007, membuat agen tenaga kerja yang bisa berdiri atas izin Pemerintah, berpotensi semakin lemah pada pengawasan operasioanl dan pendataan ABK di luar negeri. Perlindungan penuh bisa dilakukan kepada para ABK dan memberikan kekuatan hukum bagi Indonesia saat sedang menghadapi kasus yang berkaitan dengan ABK dan juga bisa langsung ke akar persoalan.

Pendekatan hak asasi manusia (HAM) yang terus-menerus digaungkan oleh Pemerintah seolah-olah hanya di atas kertas. Di lapangan, perusahaan tidak mengetahui berbagai kebijakan terkait dengan sertifikasi hak asasi manusia untuk usaha perikanan.

Perusahaan juga tidak dalam pandangan yang sama untuk menerapkan prinsip HAM dalam melakukan kegiatan usaha perikanan dengan menghormati dan melindungi hak asasi ABK nelayan. 

Minimnya implementasi dan pengawasan lapangan dari peraturan, menjadi salah satu masalah yang menunjukkan ketiadaan inovasi implementasi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah di lapangan.

Dari hasil laporan investigasi Tempo dan Greenpeace yang penulis baca, adanya prosedur yang seharusnya diajalani oleh calon WNI yang menjadi ABK Asing, tetapi tidak dilaksanakan. 

Pembuatan buku pelaut adalah salah satu contohnya, yang mana seharusnya dibuat di kantor syahbandar , tetapi banyak pelaut mengaku tidak pergi ke kantor syahbandar dan hanya melakukan foto di agen, lalu besoknya langsung jadi.

Penulis meyakini bahwa terdapat terdapat mafia-mafia dibalik semua ini. Banyak laporan dokumen yang lancung, membuat para WNI yang menjadi ABK Asing tak dicatat sebagai tenaga kerja migran oleh Pemerintah Indonesia dan negara tempat WNI yang menjadi ABK Asing bekerja, Ini yang menjadi alasan bahwa mereka rentan terhadap pelanggaran HAM.

Jika mengacu terhadap peraturan Menteri Perhubungan No.84/2013, seharusnya ABK yang bekerja di luar negeri memiliki visa kerja, buku pelaut, dan keterampilan melaut.

Dalam peraturan Menteri Perhubungan No.84 /2003 pasal 21 ayat 2 menjelaskan yang intinya perjanjian kerja laut wajib ditandatangani oleh pelaut dan agen kapal yang diketahui oleh pejabat yang ditunjuk.

ABK yang bekerja di luar negeri juga mesti diberangkatkan oleh agen resmi yang memiliki surat izin perektrutan dan penempatan awak kapal. Tetapi, beberapa kasus tidak sesuai realita dan peraturan. Kebanyakan WNI yang menjadi ABK Asing, meneken kontrak dengan perusahaan tak berizin dan tidak mengikuti pelatihan.

Oleh sebab mereka tidak tercatat sebagai pelaut resmi, banyak WNI yang menjadi ABK Asing tidak terpayungi hukum mengenai tenaga kerja. Mereka tidak dapat asuransi kesehatan dan kartu identitas bagi warga Asing. Bagi yang menempuh jalur illegal, mereka kurang kuat untuk berhadapan dengan agen, yang mana mereka menerima perlakuan buruk dari agen.

Perekrutan awak kapal ikan ke luar negeri di Indonesia terbilang sederhana, yang mana terdapat pihak di luar agen "Calo" yang bertugas membantu perekrutan.

Cara perekrutannya menganut sistem "rumah ke rumah" untuk menawarkan pekerjaan menjadi awak kapal di luar negeri dengan iming-iming gaji yang besar. Sebelum itu, calo mendekati kepala desa untuk meyakinkan bahwa perusahannya legal dan juga agar masyarakat lebih percaya karena sudah di dukung Kepala Desa.

Kurangnya kesadaran masyarakat terkait perekrutan menjadi masalah utama. Mereka terpikat oleh janji-janji palsu yang ditawarkan Agen Tenaga Kerja berupa upah yang tinggi.

WNI yang menjadi ABK Asing harus membayar uang jaminan dan biaya pemrosesan, selama beberapa bulan pertama dari pekerjaan mereka. Akibatnya, mereka bekerja dengan jam yang tidak manusiawi di salah satu industri paling berbahaya di dunia, bahkan dengan bayaran yang sedikit atau tanpa bayaran.

Perbudakan modern sering dialami oleh WNI yang menjadi ABK Asing dengan masalah yang seragam. Isolasi di laut berbulan-bulan, bahkan tidak dipungkiri bertahun-tahun juga, kemungkinan untuk melarikan diri sangatlah susah. 

Operasi penangkapan ikan dilakukan di tengah laut, kapal tidak pernah bersandar di pelabuhan. Segala kebutuhan logistik dan pengangkutan ikan ke pelabuhan di lakukan di laut, dengan kapal yang berbeda. 

Nasib para WNI yang menjadi ABK Asing tetap tidak pasti karena kejahatan yang mereka tuduhkan dilakukan terhadap mereka biasanya terjadi di laut lepas, jauh dari pengawasan para regulator yang mungkin memastikan kondisi dan keselamatan kerja yang tepat.

Banyak kasus yang telah terungkap dan dibawa ke pengadilan, tetapi masih ada juga yang kasus yang belom terselesaikan. Tenaga kerja yang murah dimanfaatkan orang-orang kaya yang berkuasa di perikanan. 

Mencari keuntungan yang lebih besar dengan cara merusak ekosistem laut, penangkapan ikan illegal berlebihan, praktik penangkapan illegal, dan tidak dilaporkan.

Kesenjangan hukum nasional dan internasioanal ditambah kurangnya pengawasan otoritas yang terkait, membuat IUU Memancing dan perbudakan modern di bidang perikanan masih tetap bertahan sampai sekarang,

Perlunya Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi ILO tahun 2007 No.188. ILO menggagas pembuatan konvensi khusus yang mengatur tentang hubungan industrial di kapal perikanan, yaitu Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 " Work in Fishing Convention".

Konvensi 188 adalah alat penting yang akan menentukan jumlah minimum jam istirahat, langkah keamanan yang lebih baik, cakupan untuk penyakit akibat bekerja sebagai pelaut perikanan, perawatan medis di kapal, upah kru dan perbaikan dalam akomodasi dan makanan.

Orang-orang Indonesia yang bekerja sebagai ABK Asing meninggalkan rumah mereka yang miskin bertahun-tahun yang lalu dengan penuh harapan dan pergi ke negara lain, berjanji untuk mengirim uang kembali dari pekerjaan bergaji baik. Sebaliknya, mereka ditipu, dijual atau bahkan diculik dan dimasukkan ke kapal yang menjadi penjara terapung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun